Intro -- Arsyraina

517 56 118
                                    

Assalamu'alaikum wr. wb.

Selamat Datang 🍭

Akhirnya ... naskah yang pernah kita diskusikan tempo hari terealisasi.

Happy Reading ✌️

Written by HasrianiHamz

💼💼💼

"Apa yang membuatmu menunggu sampai sejauh ini?" tanyanya tiba-tiba.

Mendengar kalimat itu membuat perutku seketika ngilu, mataku bahkan tak berani menatap lelaki yang berdiri di samping. Memilih diam karena tak ada satu pun jawaban yang kusiapkan, pun tak ingin menunjukkan kebodohan di depannya dengan melakukan pembelaan yang sia-sia.

Perlahan kuberanikan diri untuk menatap eksistensinya, mencoba tersenyum dan menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengunci tepat pada netranya, bersiap mengeja kalimat berisikan sedikit dusta di dalamnya. Namun, seolah semesta tak mengijinkan suatu kebohongan, gawai berdering mendahului kata yang hendak kulontarkan. Menampilkan sederet nomor dengan nama seseorang yang tengah kurindukan, meski di sisi lain aku sedang berusaha menghapusnya dari harapan.

"Sera."

Kudengar sapaannya di seberang setelah tahu telepon tersambung, suara yang tak pernah alfa menyapa gendang telingaku. Suara yang selalu menyebut namaku hanya dengan empat huruf, menjadi pengantar tidur yang mengisi kekosongan malam-malam panjang nan sepi milikku. Suara yang kurindukan sebab beberapa tahun terakhir tak pernah lagi akrab dalam obrolanku, suara milik dia yang entah mengapa masih menjadi kandidat utama perasaan ini.

"Halo. Sera ... di sana, kan?" ujarnya mencoba memastikan keberadaanku.

"Iya."

Apa yang harus kukatakan? batinku.

Sedikit melirik ke samping, arah lelaki yang masih setia berdiri sembari menatapku. Aku tahu dia tidak sedang menunggu jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan beberapa menit lalu, tetapi justru menungguku mengakhiri sambungan telepon ini.

"Eh, ada temanku mau ikut kegiatan di sana. Boleh titip dia sama Sera?" tanyanya kemudian, "namanya Tiara."

Kalimatnya telah berhasil memancing intuisiku untuk bekerja dengan cepat, rasanya pembicaraan kali ini akan sangat berbeda dari biasa. Bukan lagi obrolan yang dapat kujadikan penawar rindu, tetapi sepertinya ia datang karena ada maksud dan tujuan tertentu.

Perempuan. Benarkah dia hanya teman? batinku.

Ingin sekali kukatakan dengan jelas pertanyaan itu, sialnya lidah terasa kelu setiap berbicara dengannya. Dia terlalu pandai membuai anganku, terlebih setiap kali menyebut namaku yang menggunakan panggilan berbeda.

Benar saja, selebihnya aku hanya menjadi pendengar segala narasi padat yang dibawanya. Hingga panggilan berakhir, lelaki yang menatap tulus itu masih berdiri di sampingku. Gemuruh rasa bersalah tiba-tiba menggebu, aku takut untuk sekedar melukainya bahkan mungkin menyakitinya.

"Semoga kamu bisa segera membedakan mana yang benar tulus kepadamu," ujarnya sebelum pergi meninggalkanku yang masih terdiam.

Kuperhatikan jejaknya dengan iba, semakin jauh langkah itu diambil maka semakin aku takut dia akan tersesat lebih lama. Tak ada yang bisa kulakukan pada harapannya, harap yang lebih kepadaku dan justru tak bisa kusambut dengan paksa. Bukankah memang perasaan tak bisa dipaksakan?

Harusnya kamu kembali ke tempat di mana dia menjadi kosong tanpamu, batinku.

Hukum dalam RasaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt