Arsyraina || 12

61 31 128
                                    

🕊🕊🕊
Written by HasrianiHamz

-----------

"Ya, ga papalah, aku mana mau juga."

Seketika, ia berhenti tertawa di seberang sana. Kenapa? Apa ada yang salah lagi dengan ucapanku barusan? Haiss ... dasar laki-laki ini selalu saja membuatku merasa bersalah.

"Rasyad?"

Beberapa detik, masih juga tak menjawab.

"Syaad?"

Akhirnya aku mengembuskan napas sedikit kasar. Lelah juga jika terus seperti ini, aku tidak pernah tahu salahku di mana. Ingin rasanya mengakhiri sambungan telepon, tapi aku juga tidak pernah bisa. Aku selalu ingin memastikan telepon tertutup tanpa ada perasaan yang terluka, entah itu hanya rasaku terlebih dengan rasanya. Aku terlalu takut jika ia marah, lebih tepatnya jika ia sampai menjauh lalu melupakanku.

"Cemburu ja lihat teman-teman Sera di sana."

'Cemburu?' , batinku

Wajahku seketika menghangat. Apa katanya? Cemburu? Benarkah apa yang kudengar ini.

Pernyataan itu terlalu cepat, bukan? Sebaiknya aku tetap bersikap biasa saja dulu, sampai benar-benar jelas.

"Hahahaa ... cemburu? Seorang Rasyad bilang cemburu?"

Tawaku pecah hingga tak menyadari orang-orang di sekitarku ternyata kompak memandang ke arahku dengan tatapan aneh, terlebih Kak Iman dan Kak Rachmat. Ke mana Kak Adi? Lelaki itu hanya melotot ke arahku sebentar, lalu kembali melanjutkan pembicaraannya.

Tak ada yang tahu bagaimana jantungku sekarang. Kuharap setelah ini ia akan tetap baik-baik saja. Belum lagi jika tiba di Sekret nanti, kakak over protektif ini akan menyidangku bak tersangka yang tertangkap tangan. Padahal aku hanya mencoba bersembunyi di balik tawa, menyembunyikan kegugupanku sembari mengulur waktu untuk sekadar menetralkan kembali degup jantung.

"Iya, cem--"

"Maaf nah, Syad. Aku tutup dulu teleponnya," kataku segera memotong ucapan yang tidak ingin kudengar.

Aku terlalu takut bahagiaku kembali direnggut olehnya. Jangan lupakan kalau dia itu sangat cerdas, bukan hanya merangkai kata manis yang romantis, ilmu filsafat saja bisa ia jelaskan dengan sangat apik.

Dengan gerakan pelan kuletakkan ponsel tepat di sebelah, setelah memastikan sambungan telepon benar-benar terputus. Bersamaan dengan teh panas yang dipesan Kak Iman untukku sudah tiba. Kepulan asap yang bergerak lembut seperti sengaja menari di udara seakan menunjukkan suhu dari benda cair di dalam wadah tersebut dan memberi peringatan agar aku tidak buru-buru meminumnya. Kuseruput sedikit demi sedikit sembari memikirkan kalimat apa yang ingin Rasyad sampaikan tadi, tapi apa pun itu aku tak ingin mendengarnya.

Selesai dengan makanan, Rachmat melirikku sebentar lalu kembali membahas rencana kegiatannya bersama Kak Iman.

"Sudah larut malam ternyata," sahut Kak Adi secara tiba-tiba membuat kedua orang yang tengah bicara serius itu melihat pergelangan tangan masing-masing.

"Eh, ayomi pale kita bergeser," ajak Kak Rachmat seraya mengambil ponsel dan rokoknya.

Kak Adi kini bertugas di bagian administrasi. Sebelum menyusul kami yang mengarah ke parkiran, ia harus menemui kasir terlebih dahulu untuk menyelsaikan semuanya.

***

"Arsyra istirahat aja, Dek," ucap Kak Adi sembari mengusap pelan kepalaku.

Aku memang sudah ngantuk sejak pertama kali roda mobil kembali berputar. Angin malam terlalu lembut menerpa kulit wajahku hingga mata ini terasa semakin berat. Aku tak sempat lagi menanggapi ucapan Kak Adi barusan, langsung saja kusandarkan kepalaku ke samping kiri, tepat di jendela.

Segalanya berubah menjadi gelap, namun semakin aku memaksa menutup mata bayangan Rasyad selalu juga memaksa untuk mengganggu. Mungkin, mereka semua sudah mengira aku tertidur, padahal aku masih bisa mendengar percakapan mereka yang hendak membujukku untuk maju mencalonkan diri sebagai kandidat Ketua dari perwakilan perempuan.

"Bisa itu, nanti kita bekali saja."

Itu suara Kak Rachmat. Apa lagi yang ingin ia berikan kali ini?

"Tapi anaknya ini keras kepala, Kak," keluh Kak Adi.

Apa maksudnya aku keras kepala? Bukankah selama ini aku selalu menuruti perintah mereka. Namun, mungkin kali ini memang aku harus menunjukkan sifat keras kepala itu. Enak saja mereka ingin menyuruhku mengemban tugas seberat itu, sementara mereka nantinya hanya tinggal duduk dan berceloteh sepanjang malam.

"Nda berlaku kalau si Adi yang bujuk. Arsyra tuh nurut nah sama si Adi ini."

"Mmm, begitu, ya?" balas Kak Rachmat menanggapi ucapan Kak Iman barusan.

"Iya, 'kan Arsyra itu diberangkatkan Musyawarah karena rekomendasi senior dari beberapa kampus yang memang mendengarkan saran dari Adi."

"Maksudnya?"

"Iya, Kak. Sebenarnya bang Adi ini memang sengaja siapkan Arsyra untuk berangkat biar dia bisa melihat langsung dan belajar dari kondisi Himpunan kita di tingkat Nasional. Kita memang bisanya berharap ke anak itu aja buat wakili komisariat di pengurus Cabang," jelas Kak Iman yang membuat kecewaku semakin terpupuk.

Tidak habis pikir dengan mereka yang selama ini kuanggap Kakak, ternyata hanya menjadikanku pendongkrak untuk kepentingannya. Padahal yang mereka janjikan bukanlah seperti ini.

Belum juga selesai dengan ucapan Kak Iman, tambah lagi dengan perkataan Kak Adi yang semakin menyesakkan. Kakak yang selama ini selalu kudengar perintahnya, kuturuti inginnya tanpa ada tapi. Dan, sekarang ini yang harus kuterima.

"Kemarin memang sempat debat sama pengurus Cabang masalah ini. Ya, syukur ada si Dinda yang bisa mengatasi jadi amanlah pergerakan ke depan."

"Ya ya yaa, si Dinda yang tomboy itu, 'kan?" Suara Kak Rachmat kembali terndengar. "Siapa lagi yang mau bersuara kalau sudah lihat Dinda," sambungnya diiringi dengan tawa.

"Siapa lagi kalau bukan dia, Kak?"

"Tapi, kenapa harus Arsyra? Kasian loh dia masih baru, belum matang pola pikirnya menghadapi konflik senior di atas. Harusnya kader semuda dia ini ranahnya masih di seputar kajian aja."

"Tidak, Kak. Kalau bukan sekarang Komisariat kita pasti tertinggal, tidak diperhitungkan lagi. Apalagi kalau yang menjabat di Cabang itu orang dari kubu sebelah. Jadi, kalau tidak dipaksakan malulah kami yang senior-senior ini, Kak. Kalau Arsyra ini dia bisa rangkul juga kubu sebelah, karena terlihat masih polos dan belum tahu apa-apa juga. Tapi nanti tetap kita pantau terus."

Oh, semua hanya karena rasa gengsi mereka yang tak ingin tertinggal. Lantas aku yang tidak tahu apa-apa ini harus dijadikan korban karena keluguan dan kedunguanku.

Huh, andai aku tidak mabuk, ingin sekali kubuka mata ini dan mengatakan penolakan dengan tegas. Tidakkah mereka mengerti, aku ini masih baru, masih butuh banyak waktu untuk mempelajari semuanya. Kenapa akhir-akhir ini aku merasa berada di tempat yang salah. Kenyamanan berorganisasi seakan memudar seiring dengan banyaknya tujuan dari senior yang berbeda arah. Orientasi mereka sepertinya tidak lagi tentang mewujudkan tujuan mulia Himpunan ini, tetapi tergantung pada kepentingan pribadi yang ingin dianggap berkuasa, berwibawa dan bisa melahirkan kader-kader penerus yang cerdas meski dengan cara instan.

Dari awal ditunjuk menjadi perwakilan Cabang untuk menghadiri Musyawarah, aku memang sudah merasa ada kejanggalan. Bagaimana mungkin aku yang masih baru bisa langsung melompati semua pengurus Cabang yang notabenenya sudah jauh berpengalaman dan jelas lebih dulu mendapatkan banyak ilmu. Ternyata ini jawabannya.

Selamat Arsyra, kamu sudah terjebak.

'Rasyad ....', batinku, berharap ingin segera mengadukan semuanya.

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now