Arsyraina || 9

67 28 100
                                    

Welcome back, Arsyraina !!

Written by HasrianiHamz

Sepanjang hari, aku terus memikirkan cara untuk keluar tanpa merasa takut lagi. Jika terus mengurung diri seperti ini, aku bisa mati kelaparan jadinya karena hanya menggulingkan tubuhku di tempat tidur. Aku sudah lapar, bayangkan saja ini hampir maghrib dan perutku hanya terisi bubur saat sarapan tadi. Namun, rasa lapar itu tiba-tiba hilang ketika aku membuka pesan yang baru saja dikirim oleh Rasyad. Isinya bukan apa-apa, hanya daftar nama beserta kode tiket. Ya, akhirnya yang aku akan pulang.

Meski bukan hari ini dan esok, tapi tetap saja aku sudah sangat senang dan merasa lega. Terakhir baru aku sadari, perasaan takut pun ternyata sudah tidak lagi menghantuiku. Rasanya aku lebih berani sekarang. Dan seiring dengan munculnya keberanian itu, rasa laparku pun kembali. Oke. Selagi keberanian itu datang, saatnya aku bersiap untuk keluar. Untuk mempercepat gerakku, aku tidak lagi memikirkan tentang mandi, berdandan dan segala bentuk yang serupa dengan hal itu. Tanganku langsung terulur meraih jilbab instan, memakainya asal lalu menyambar dompet yang memang kusimpan di atas meja kecil samping tempat tidur.

Akan tetapi, belum sempat tanganku meraih gagang pintu, ponselku sudah lebih dulu berdering di atas tempat tidur sana. Ingin kuabaikan, takutnya penting. Jadilah tubuhku kembali dengan pasrah menjawab telepeon yang ternyata dari Rasyad.

"Mm ... kenapa Rasyad?" tanyaku sedikit ketus, kesal saja merasa dihalangi akan pergi.

"E'eh, ketusnya mami ini anak," protesnya tidak terima. "Mentang-mentang maumi pulang. Apa dikerja itu, kah?"

"Mau keluar cari makan, aku lapar dari pagi cuma makan bubur itu nah. Gara-gara si gonrong yang bikin aku takut," gerutuku.

"Siapakah itu gonrong?"Eh, pertanyaan Rasyad baru saja membuatku tersadar, tadi aku kelepasan. Bibirku serasa kaku, tidak tahu ingin menjawab apa sekarang. "Habis diapakan lagi, Sera?"

"Gak diapa-apa," jawabku. "Sudah dulu ya, Rasyad. Aku mau keluar bentar," kataku tidak sabar ingin segera mengakhiri telepon.

"Tunggu dulu! Waktu maghrib, Sera. Jangan biasakan keluar di waktu magrib."

Aku hanya mendengkus kesal. Ya iyalah waktu magrib, kalau tadi ia tidak menelepon pasti aku sudah pergi dan mungkin sudah di jalan pulang lagi. Aku terus mengembuskan napas kasar dengan sedikit gusar.

"Sekalian sholat magrib dulu baru keluar," pesannya sebelum mengakhiri sambungan telepon tanpa pamit.

Dia marah? Sepertinya tidak mungkin, tapi sikapnya barusan. Aduh, perutku semakin lapar saja dibuatnya. Dari pada keluarnya malam hari, aku rasa tidak apa-apa keluar sekarang. Rasyad juga tidak bisa melihatku. Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya kembali dengan singkat seraya meyakinkan diri untuk keluar sekarang juga. Aku hanya mengambil dompet, sengaja meninggalkan ponsel di dalam kamar agar aku bisa belajar pergi dengan tenang tanpa gangguan benda persegi itu.

Kulangkahkan kaki dengan santai menuju ke lift, berdiri menunggu kotak ajaib ini mengantarkanku hingga ke lantai bawah. Jarak pintu keluar dari lift tidak begitu jauh, hanya perlu beberapa langkah aku sudah bisa melihat pesona langit jingga di kota besar seperti ini. Beberapa hari di sini langitnya selalu tertutupi, entah kabut atau polusi dari kendaraan yang membuat macet jalanan tetapi hari ini sepertinya aku hanya sedang beruntung. Di tempatku, saat masuk waktu maghrib seperti ini suasanaya sudah cukup sunyi dari bisingnya kendaraan dan keadaan juga sudah menjadi gelap dan dingin. Berbeda dengan di sini, suasananya masih cukup hangat dan terang. Benar-benar perbedaan kehidupan di desa dan kota, satu lagi keberuntungan yang aku dapatkan sore ini.

Jarak 20 meter dari taman hotel tempatku menginap, terdapat sebuah alfamart tetapi bukan itu yang membuatku senang. Melainkan, aku bertemu seseorang yang akhirnya menemaniku sepanjang jalan.

"Jadi, kamu kapan balik ke Kalimantan?" tanya perempuan cantik nan lembut yang bernama Aira.

"Tiketnya, besok malam Insya Allah, Kak," jawabku menoleh ke arahnya sebentar.

Wajahnya benar-benar tidak hanya cantik, tetapi juga manis dan berseri. Aura positif terpancar dari sorot matanya, tatapan yang penuh ketulusan itu membuat siapa saja yang mengenalnya akan merasa nyaman dan betah. Ditambah lagi dengan caranya berbicara yang begitu ramah. Aku jadi penasaran ingin mengenalnya lebih dekat, yang kutahu sekarang ia satu tingkat di atasku.

"Oh besok juga? Berarti kita sama, saya jam tujuh malam," katanya dengan mata yang berbinar senang.

"Berangkat ke mana?" tanyaku penasaran dengan alis yang mengerut.

"Tolitoli, Sulawesi Tengah," jawabnya membuatku kaget sekaligus senang.

"Sulawesi Tengah, Palu?" Aira mengangguk sembari tersenyum. "Hah, kak Aira ini orang Sulawesi juga ternyata," kataku dengan girang.

Sulawesi? Sungguh, ini sulit kupercaya. Jujur saja, tadinya aku pikir Aira ini asli Surabaya. Mengapa semuanya seakan sudah diatur serapi ini. Di hari pertama, aku bertemu Rasyad tanpa sengaja dan hari ini aku bertemu Aira pun tanpa disengaja pula. Keduanya orang baik dan sama-sama berasal dari Sulawesi. Penasaran, rasanya tidak sabar ingin sekali menjelajah pulau impianku itu.

Tak terasa, kami sudah berada di dalam Alfa sambil memilih beberapa makanan instan yang akan menjadi persediaan hingga besok. Hanya sebentar, lalu kami kembali bertemu di depan meja kasir, sama-sama melangkah keluar setelah menyelesaikan pembayaran masing-masing. "Eh iya Arsyra ... " sahut kak Aira sedikit kaget.

Aku memutar setengah tubuhku menghadap ke arahnya sambil tetap melangkah, menunggu kalimat apa yang akan ia ucapkan.

"Iya, Kak?"

"Saya masih mau ada yang dibeli, kamu duluan saja."

"Aku tunggu Kakak aja gak papa."

"Oh oke, saya ke sana dulu ee nda lama," katanya seraya berbalik dan setengah berlari menuju ke Alfa tempat kita barusan belanja.

Namun, sepeninggal Kak Aira, seorang lelaki yang agak dewasa menghampiriku dan dengan logat Jawa yang kental ia bertanya.

"Dek, boleh minta tolong? Hpku mati, aku mau minta jemput sama temen."

"Aku gak bawa hp juga," jawabku kasihan sekaligus was-was dengannya.

Di kota besar seperti ini kita memang harus selalu waspada, terutama dengan orang yang baru dikenal. Waspada, tapi tidak harus negatif thinking sama orang lain. Itu pesan Rasyad.

"Tenang, Dek, nanti pulsamu bakal tak gantiin. Aku benar-benar perlu sekarang ini," katanya lagi dengan memasang wajah teduhnya, tetapi senyum di bibir tidak pernah hilang.

"Serius, aku gak bawa hp. Tunggu temanku dulu, ya, mungkin dia bawa," balasku sembari menengok ke belakang menunggu Kak Aira keluar dari pintu kaca sana.

Syukurnya, ia segera datang dan menghampiriku dengan sedikit berlari."Maaf dek, agak lama," ucapnya ngos-ngosan.

"Oh ini temannya?" sahut lelaki yang masih berdiri di depanku itu. "Boleh aku pinjam hpnya, Mbak?"

"Oh iya, tunggu."

Tanpa pikir lama lagi, kak Aira segera mengeluarkan benda pipih itu dari tasnya. Aku menatapnya sebentar, tidak percaya bagaimana mungkin ia bisa percaya secepat itu ke orang lain, lalu pandanganku mengikuti hp itu dari tangannya hingga berpindah ke tangan lelaki yang sama sekali kita tidak kenal. Kekagumanku semakin bertambah saja padanya, perempuan satu ini memang benar-benar baik. Apa ia tidak punya prasangka buruk kepada orang lain? Lelaki itu tidak meninggalkan tempatnya, jemarinya dengan cepat memasukkan nomor yang akan ia hubungi.

"Wa'alaikumsalam, saya ini ... Rachmat."

Oh, namanya Rachmat, kataku dalam hati.

***||***

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now