Adelita || 13

58 32 146
                                    

🤸‍♂🤸‍♂🤸‍♂🤸‍♂

Setibanya di rumah, kak Zio dengan sigap membawa semua belanjaan ke dapur. Ia memintaku duduk di kursi pantri, melihatnya berkutat tanpa ingin sedikitpun diganggu karena dia sudah berjanji akan memberikan hidangan makan siang khas olahan tangannya. Aku duduk dengan tenang, kak Zio meletakkan sebotol minuman berperisa anggur di depanku sebelum melanjutkan menguasai dapur seolah itu sudah menjadi tempatnya.

Mengecek gawai yang sejak di kampus tidak kuhiraukan lagi, ternyata ada panggilan tak terjawab dari Syahib. Beberapa spam pesannya terlihat dikirim sejak satu jam lalu, sedikit heran karena tidak merasa memiliki pembahasan yang mengharuskanku membalasnya. Aku membuka ruang obrolan itu, ternyata dia menanyakan keberadaanku dan aktivitas yang kulakukan hari ini.

Bisa biasa aja gak, sih? Nggak usah semanis ini, batinku.

Kemarin dia menghilang, hari ini dia kembali seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Menyenangkan, hanya saja kadang aku takut pada harapan sendiri yang bisa saja berbeda dengan maksudnya. Siapa yang tahu kalau ternyata di sana dia sudah menyimpan satu nama, bahkan mungkin sedang berjuang untuk memasuki hubungan serius. Terlalu dini memang, tapi semua kemungkinan itu tidak pernah mustahil.

"Ada apa sih sampai senyum-senyum gitu?"

Suara kak Zio menarikku kembali, aku segera meletakkan gawai setelah membalas pesan Syahib secara singkat dan jelas. Berjalan ke arah rak, membantu menyiapkan beberapa piring yang pasti dibutuhkan nanti. Untung aku sudah memasak nasi sejak pagi, jadi setelah lauk yang sedang kak Zio olah matang maka kami sudah bisa segera mencicipinya.

"Biasanya masak?" tanya kak Zio.

Aku mengangkat wajah dan memperhatikannya yang tengah serius. "Nggak, Kak. Lebih sering beli di luar kalau untuk lauk, masak paling cuma weekend atau pas lagi males keluar aja."

Kadang ada yang menyarankan delivery jika aku sedang malas keluar, tapi untuk masalah lauk sepertinya aku tidak bisa seperti itu. Bukan tipe orang pemilih, hanya saja aku lebih suka datang ke tempat penjual dan melihat menu apa yang tersedia di sana. Beberapa orang mungkin sudah memiliki tujuan saat berangkat dari rumah, tapi tidak sedikit juga yang berubah pikiran saat sampai di penjual lauk yang menyediakan beberapa macam lauk.

Meja pantri sudah terisi, aku meletakkan nasi di tengah seolah sedang menjadi asisten kak Zio yang akan menjamu tamu penting.

"Berdua aja, nih. Kalau rame lebih enak kali, ya, Kak?" tanyaku saat sudah duduk kembali bersebelahan dengan senior ini.

"Sekarang berdua aja dulu, kalau manggil yang lain takutnya nggak cukup, nih."

Untuk pertama kali, aku makan siang dengan orang lain di rumah. Wajah cool sosok di samping membuatku tiba-tiba merasa aneh, dilihat dari dekat ukiran wajah ini tidak bisa dianggap biasa saja seperti yang lain. Segera kualihkan tatapan saat kak Zio bergerak mengambil air minum, dia tersenyum singkat tapi bagi perasaanku yang mudah baper tentu saja senyuman itu berbeda.

"Cobain, kamu yang jadi jurinya." Kak Zio meletakkan dua iris ikan yang sudah dipisah dari tulangnya, juga beberapa sendok sayur wortel dari mangkuk berbeda.

Tentu saja aku tidak bisa membantah rasanya, masakan ini bahkan lebih enak dari yang pernah kubeli selama ini. Kak Zio benar-benar tahu cara memasak, aku yang perempuan jadi sedikit minder melihatnya.

"Enak, Kak. Kenapa nggak buka warung makan aja?" ujarku melontarkan candaan.

"Boleh kali, ya. Nanti kamu yang jadi kurirnya."

Aku tergelak, entah itu hanya candaan atau sesuatu yang serius intinya kak Zio juga ikut tertawa. Makan siang yang menyenangkan, begini rupanya jika memiliki teman berbicara. Sangat berbeda denganku yang biasa sendiri, makan pun sambil melihat gawai hingga waktu untuk menghabiskan sepiring nasi kadang terlalu lama.

"Kak, biar aku aja nggak apa-apa," ujarku saat melihat kak Zio bergerak mencuci piring.

"Udah, sekalian bertanggung jawab. Soalnya aku yang tadi bikin dapur kamu berantakan."

"Yaudah deh, aku bantu, Kak."

Jangan bayangkan seperti dalam drama, prosesi cuci piring ini berlangsung biasa saja. Hanya sempat beberapa kali kak Zio sengaja memercik air dari kran, terakhir setelah menyimpan sarung tangan cuci dia juga sempat menepuk pelan puncak kepalaku.

"Kakak belum mau pulang, 'kan?" tanyaku sembari meletakkan beberapa snack di meja. "Bantuin aku, ini kak Zio beli tadi banyak banget."

"Kan emang buat kamu, biar kalau males ngapa-ngapain bisa ngemil."

"Mau bikin aku over weight, ya?"

Kak Zio kembali tertawa, dia pasti terhibur melihat tatapan sinis dan bibir mengerucut ala orang ngambek. Sebelum pulang dari pasar, kak Zio memang sempat mampir sebentar di salah satu swalayan yang menyediakan banyak makanan ringan. Dia memilih sendiri, seolah tahu dengan pasti beberapa camilan yang memang kusukai. Sangat lengkap, ada pedas, asin dan manis yang dia bawakan dalam kantong plastik besar.

"Del, boleh nanya sesuatu nggak?"

Aku sedikit mengernyit, tidak biasanya aura kak Zio seperti ini. Mungkin memang baru sekarang aku memiliki waktu untuk berdua dengannya, tidak bisa mengeluarkan suara dan aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya.

"Kamu lagi sama siapa sekarang?"

Jika logika jahilku bereaksi, tentu saja jawabannya aku sedang bersama dia. Namun, sorot mata kak Zio yang menyiratkan keseriusan, mengurungkan niatku untuk menjawab asal.

"Nggak ada, Kak."

"Ada orang yang kamu suka?"

Aku mengigit bibir, bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan tentang Syahib pada senior ini. Sedangkan aku sendiri tidak paham bagaimana lelaki itu terhadapku, gengsi yang tinggi menolak jika kenyataannya aku hanya bertepuk sebelah tangan. Kak Zio yang menunggu jawaban pun menatapku, detik itu juga aku menggeleng pelan.

"Bagus, deh."

Kak Zio mengangguk setelah melihat jawabanku, anehnya ada sesuatu yang merasa tercurangi di dalam hati. Sekali lagi, logika membenarkan pilihanku karena mungkin jika aku mengatakan satu nama maka barisan luka akan siap kuterima ke depannya.

"Mau jalan nggak?" tanya kak Zio.

"Hm? Ke mana, Kak?" ujarku sembari mengernyitkan kening.

"Bukan itu maksudnya, Dinda!"

Terlihat sekali dia gemas dengan otak lemot ini, tapi aku tersenyum karena perlahan mengerti maksud dari ucapannya.

"Kamu mungkin udah sering denger dari Devi ... " tutur kak Zio, "tapi percaya, deh. Rasa suka ke kamu lebih besar dari apa yang bisa mereka gambarkan."

Aku terdiam. Pantas saja ada sedikit aneh dari perasaan sejak tadi, rupanya dia ingin mengatakan ini tanpa ada orang lain yang tahu.

Ini salah gak, ya? Syahib ... maaf. batinku.

Aku kembali menatap ke arah kak Zio, bertanya sendiri tentang apa sebenarnya yang membuat sosok ini bisa menaruh perasaan. Sisi lain mencoba menahanku, terus mengingatkan bayang-bayang Syahib yang berbeda dari yang lain. Namun, satu sisi membenarkan bahwa aku bisa seperti ini. Aku memiliki waktu untuk menerima sosok yang lebih dulu menyukaiku, tapi rasanya tetap saja berat.

"Kak Zio yakin?" tanyaku berharap laki-laki ini yang memberi keputusan.

Dalam benakku, hanya ada dua jawaban yang bisa dia berikan untuk keputusanku. Pertama, dia akan yakin dan menguraikan beberapa hal yang berhasil mematahkan keraguanku. Kedua, dia akan menarik kembali kata-kata tadi dan memintaku melupakannya atau menganggap itu hanya candaan. Jika pilihan kedua dia lakukan, bukan hanya diriku yang ragu tapi juga dia sendiri.

"Nggak ada alasan buat aku nggak yakin soal ini," ucap kak Zio, "dari awal aku nunggu waktu untuk bilang ini ke kamu dan semua itu butuh keberanian."

Kak Zio mengatakan itu sambil terus menatapku, ada getar yang tidak kupahami saat kedua netra kami bertumbuk. Dia benar. Aku juga butuh keberanian untuk memutuskan, membiarkan dia masuk dan tinggal atau menutup pintu karena sedang ambigu dengan sosok lain yang tidak setiap hari kutemui.

°°°~°°°

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now