Arsyraina || 14

35 28 124
                                    

Written by HasrianiHamz

🍇🍇🍇🍇🍇

Sambil terus melangkah ke parkiran, aku masih menempelkan ponsel disisi kiri kepalaku. Mendengarkan suara yang sepertinya benar-benar menjadi canduku.

Aku tidak peduli pada terik yang kata orang rasanya seperti membakar kulit. Tidak juga peduli dengan tatapan junior maupun senior yang tersebar di berbagai sudut bangunan dan yang tengah berteduh di bawah-bawah pohon. Diriku kini hanya fokus ke Rasyad. Dunia yang menerimaku apa apa adanya, satu-satunya tempat yang tak memaksaku menjalani peran orang lain. Tak pernah menuntut hal-hal di luar kehendakku kecuali jika sesuatu itu membawa manfaat untukku.

Senyum yang terus merekah sepanjang perjalanan menuju ke motor yang jaraknya sudah sangat dekat. Namun, sebelum aku benar-benar sampai di sana, teriakan seseorang berhasil menahanku.

"Arsyra!"

Kepalaku spontan menoleh dan mencari ke sumber suara tersebut. Oh, ternyata dia. Orang yang kini tengah berlari menghampiriku dari lantai atas sana.

Sebenarnya agak malas, tiba-tiba saja mood-ku berubah saat melihatnya. Aku mengembuskan napas sedikit kasar hingga Rasyad di seberang telepon pun menyadari perubahan itu.

"E'eh kenapaki lagi, kah?"

"Malas aku tuh ketemu-ketemu senior."

"Oh senior yang tadi dicerita itu?"

"Bukan. Ini lain lagi, tapi sama aja semuanya."

"Terus? Kenapa pale malas? Siapa tau baikki ini yang satu. Sera nda boleh samakan semua senior nah, karena mereka itu punya watak yang berbeda. Pasti bedaki juga perlakuannya."

Nah, 'kan. Diceramahi lagi hanya karena senior satu ini. Memang mereka semua sama saja, Rasyad hanya tidak tahu bagaimana mereka dididik sejak awal bergabung dengan doktrin "kita adalah Komisariat terbaik" hingga siapa pun yang hidup di wilayahnya akan terus merasa seperti itu tanpa ingin menerima kebenaran dari Komisariat lain.

Rasanya aku semakin kesal kepada mereka, terlebih saat ini ketika Rasyad seolah menyalahkanku karena perasaan yang baru saja kuutarakan. Padahal memang benar, mereka tidak berbeda satu dan yang lainnya. Kesamaan karakter mereka telah terbangun dengan sendirinya di dalam himpunan. Arahan dari satu orang senior yang diagungkan berhasil menundukkan semuanya, secara tidak langsung pun mereka dipaksa untuk menerima dan menjalani syarat yang berubah menjadi kebiasaan. Anehnya itu semua dapat diterima hanya dengan dalih konsekuensi dari tingkat tertinggi dalam sebuah pertemanan.

Ketika mereka berkumpul dan tiba-tiba salah seorang diantaranya izin pamit terlebih dahulu, maka pembahasan selanjutnya adalah orang yang baru saja meninggalkan perkumpulan tanpa pembubaran. Intinya, siapa pun yang tidak hadir dalam perkumpulan saat itu, maka dialah yang akan menjadi topik perbincangan sepanjang malam. Kemunafikan inilah yang selalu mereka tanamkan dalam pola pikir adik-adiknya.

"Begitulah kalau yang namanya saudara, kalau ketemu 'kan kita tetap baik-baik," kata salah seorang senior dengan bangganya.

"Rasyad," sahutku dengan pelan mencoba meredam emosi yang sepertinya hampir meledak.

"Sera, sudah dulu nah. Ini ada panggilannya seniorku juga."

"O-oh iya."

"Sera bicara saja dulu sama seniornya. Percaya saja, senior itu ingin yang terbaik untuk adik-adiknya."

Aku tidak ingin menanggapinya lagi. Siapa pun yang mendengarku tanpa melihat kejadian yang sebenarnya tidak akan pernah membenarkanku. Jadi, untuk apa aku mengemis hanya agar mendapatkan pembenaran dari orang yang bahkan tidak mengerti itu.

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now