Adelita || 18

10 6 0
                                    

✨✨✨✨

Rasanya sangat malas, tapi menyadari aku tidak punya tempat lain di sini semakin membuat langkahku tak jelas. Sekretariat tampaknya cukup ramai, kak Calvin dan kawanannya tengah berada di bawah payung-payung. Tampak juga kak Devi ada di sana, sayangnya aku enggan mendekat saat menatap kak Zio tersenyum tanpa rasa bersalah.

Di depan Sekretariat, aku menemukan kak Julian dan kak Tari seperti biasa dengan beberapa orang yang ikut menjadi bagiannya. Agak heran, mereka ini berada di bawah satu organisasi yang sama tapi tetap saja ada perbedaan yang terlihat. Sekarang mungkin alasannya karena depan Sekret atau di bawah payung-payung terlalu sempit, jadi mereka membentuk dua kelompok berbeda. Entah nanti apa lagi, pastinya dua kubu itu tidak akan pernah menyatu.

"Ehem ... ada si paling andalan, nih," ucap kak Tari, suaranya seolah sengaja ia besarkan agar mereka yang di payung-payung sadar akan kedatanganku.

"Del, sini gabung. Masih ada tempat samping Zio, tuh," ujar kak Devi dengan senyum manisnya.

Aku bergeming, kenapa tempat yang tersisa justru di samping kak Zio. Padahal aku sedang tidak ingin berbicara dengannya, sejak kemarin dia pun enggan mengirim pesan lebih dulu padaku.

"Lagi marahan apa gimana? Makanya cari pacar jangan junior, nggak bisa profesional 'kan," sindir kak Julian.

Aku mengembuskan napas, berpikir apakah benar saat ini aku sedang tidak profesional seperti ucapannya. Namun, perhatian yang para senior di bawah payung-payung berikan semakin membuatku kaku, seolah serba salah memilih langkah padahal aku hanya perlu ke arah yang tepat saja.

Di tengah gamang yang tidak berkesudahan, aku terkejut saat kak Zio menarik jemari dengan pelan seolah tidak ingin menyakiti dengan sentuhan. Dia menatapku sembari tersenyum, nyata sekali jika ia ingin menyatakan pada kak Julian dan kawanannya bahwa kami baik-baik saja.

"Udah dipanggil tuh dari tadi, nggak enak tahu berdiri terus di sini," ujar kak Zio tak lupa dengan kedipan matanya.

Aku akhirnya duduk di tempat yang memang sejak tadi kosong, dari kalimat candaan kak Galih dan kak Ezar sepertinya tempat itu sejak awal disimpan untukku.

"Ini nih yang udah ditunggu dari kemarin, akhirnya muncul juga," ucap kak Ezar.

"Iya, jangan galau dan kesepian lagi deh, Zi!" tambah kak Galih.

"Kemarin kenapa nggak ke Sekret, Del?" tanya kak Calvin.

Sebenarnya tanpa menatap pun aku tahu pertanyaan itu dia keluarkan sebagai seorang senior, tapi tetap saja ada perhatian tersirat di sana sebagai seorang kakak. Kulihat kak Devi juga menunggu jawaban, kemarin setelah kak Zio mengambil motor memang aku sama sekali tidak muncul di tempat ini.

"Aku kemarin banyak tugas, Kak," ujarku yakin.

Tidak bohong, awal semester baru memang sudah dikenal banyak tugas baik kelompok maupun perorangan. Namun, tetap saja kak Zio yang harusnya paling paham, aku sedang tidak ingin bertemu dengannya.

"Tumben, biasanya kalau ada tugas dibawa ke sini trus nanya ke kita?" tanya kak Ezar.

"Eemm ... kemarin tugas kelompok, aku nggak bisa maksa yang lain ke sini juga, 'kan? Lagian banyak, nanti nggak cukup tempatnya."

"Tapi sekarang udah selesai tugasnya?" tanya kak Zio.

Aku hanya mengangguk. Sial. Seandainya dosen mata kuliah hari ini paham cara menggunakan ponsel, sudah pasti kabar ketidakhadirannya ku ketahui sejak tadi. Memilih berdiam diri di kos, mengerjakan kesibukan atau mungkin menonton film rasanya akan lebih baik daripada terjebak dalam situasi sekarang.

Jangan tanya kenapa aku tidak kembali saja setelah tahu informasi jam pertama kosong, jelas akan sangat sia-sia effort persiapanku dari kos untuk beberapa jadwal hari ini. Sejam lagi mata kuliah berikutnya masuk, dengan penuh harapan sang dosen tidak lagi berhalangan dan mengosongkan jadwalnya seperti yang terjadi barusan.

"Mau keliling bentar, nggak? Cari ice cream, yuk!" tanya kak Zio.

"Kak Zio mau beli?" Aku mengerutkan kening, mungkin dia memang ingin pergi membeli tapi tidak ada teman jalan.

Lelaki itu mengangguk, dari sirat matanya aku paham ada sesuatu yang ingin disampaikan. Aku juga akan mencari tempat yang banyak orang, tidak ingin terkurung berdua hanya dengan sosok ini saja.

"Kak Devi nggak mau nitip?" tanyaku.

"Nggak usah, tapi kalau nanti dibawain oleh-oleh boleh aja, kok," jawab kak Devi sembari tersenyum jahil.

Aku pun menunggu kak Zio mengambil motornya yang diparkir tidak jauh dari payung-payung, ke mana tujuannya mungkin aku belum tahu tapi yang jelas aku menunggu apa yang ingin dia sampaikan.

**_**

Perasaan yang sekarang hadir rasanya cukup berbeda, aku mengikuti apa yang pernah Syahib katakan. Menjadi perempuan baperan dan mudah dirayu sudah tidak lagi bernilai, aku akan membuat penilaian itu sendiri berbeda.

Kak Zio membawaku ke Swalayan, mengambil beberapa snack dan ice cream seperti ucapannya. Kulihat dia masih seroyal biasa, belanja tanpa mengeluh apa saja yang aku sukai. Dia pun dengan cepat memahami mana saja yang sering kubeli, bahkan kebanyakan snack justru dia yang memilih hari ini.

"Kita ke taman aja, ya?" tanya kak Zio setelah berhasil menghidupkan mesin motornya.

Aku hanya mengangguk, lokasi taman tidak jauh dari sini dan kurasa dia tidak akan macam-macam di tempat terbuka seperti itu. Memilih satu sudut, membawa belanjaan dan menatap ke arah jalan.

"Nih, semuanya kesukaan kamu."

"Makasih, Kak."

Lelaki di samping sepertinya memahami butuh waktu memperbaiki mood sebelum mulai berbicara, aku melihat jam hanya untuk memperkirakan berapa lama dia butuh waktu sebelum jam mata kuliahku selanjutnya.

"Ada jadwal habis ini?" tanya kak Zio.

Aku mengangguk pelan. "Ada, Kak. Hari ini tuh padat banget sampai sore bahkan."

"Berarti nggak boleh lama-lama di sini, ya?"

"Hmm ... emang kak Zio butuh waktu lama, mau ngomongin apa?"

"Aku mau minta maaf ke kamu."

"Maaf untuk apa?"

"Semua hal yang nggak menyenangkan, dari awal kita sama-sama bahkan sampai hari ini."

"Iya. Aku udah maafin, kok."

Jeda cukup lama, aku melihat kak Zio mengambil satu ice cream lalu menikmatinya dalam diam. Sekali lagi, aku memaafkan dia bukan untuk membuka kembali pintu yang kemarin berhasil didobraknya. Aku memberikan kesempatan untuk kemampuan yang mungkin bisa kuambil darinya, rugi meninggalkannya jika aku belum dapat apapun.

"Eh, iya, Kak. Aku ada tugas presentasi, boleh ajarin aku bikin slide-nya, nggak?"

"Bahan presentasi pakai power point?" Aku mengangguk. "Boleh, kapan mau ngerjain?"

"Kapan Kakak ada waktu aja, tugasnya juga masih lama, kok."

Aku mendapatkan persetujuan darinya, anggukan itu akan dia bayar dengan bukti. Terima kasih pada kak Ezar yang selalu bertanya dan kerap memberitahu hal-hal apa saja yang belum kupahami tentang lelaki ini, terakhir aku menemukan apa yang bisa kuambil darinya sebelum berpikir akan bertahan atau dilepaskan.

**_**

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now