Adelita || 5

87 45 167
                                    

🌿🌿🌿🌿🌿

Alert!!
Banyak typo, bantu tandai krn belum kuedit 😉

Happy Reading!

🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Sudah lebih dari lima belas menit, aku belum melihat Syahib kembali bahkan tidak berhasil menemukan jejak di mana ia membeli minuman seperti tawarannya. Untung saja makananku tidak membuat leher gatal, jadi bisa kunikmati meski tidak langsung minum. Bosan, aku membuka aplikasi di gawai, ingin menghubunginya tapi urung karena khawatir mungkin ia sedang terkendala sesuatu yang tidak harus kuketahui.

Sampai dua cup berukuran besar mendarat di meja, aku menatapnya yang tersenyum seolah tengah mengabarkan perasaan senang. Ada sesuatu mungkin, aku hanya mengucapkan terima kasih setelah sempat tertegun darimana ia mengetahui minuman yang cocok untukku.

"Suka ki?"

Aku mengangkat kening, baru saja tak ingin bertanya tapi ia sepertinya membutuhkan reaksi. Aku mengangguk, siapa yang tidak menyukai minuman berperisa permen karet dengan sensasi dingin ini.

"Aku kira tadi kamu mau beli kopi," ujarku menatapnya.

Syahib mengangkat cup yang dia pegang. "Ini kopi, tadinya mau beli yang panas tapi tiba-tiba udara setelah hujan kadang tidak enak minum panas."

Aku mengangguk, dia kembali menatap sekeliling di belakangku karena kali ini kami berhadapan. Dia terus menatap, aku berpura tidak menghiraukan meski rasanya sangat ingin bertanya.

"Nda penasaran kenapa saya lama tadi?"

"Ah?" Aku gugup, entah kenapa cukup terkejut padahal aku memang ingin tahu.

"Lama ka, tapi kulihat Lita nda masalah kayakanya saya tinggal, ya."

Aku mengernyit. "Mau nanya sih, tapi takut kamu nggak nyaman."

"Lita." Syahib menegakkan duduknya, aku semakin gugup karena merasa hal ini tidak akan mudah. "Justru saya menunggu, kalau Lita bertanya artinya dicari ka."

Manis. Bukan senyumnya, kali ini kata manis hadir saat rautnya murung seolah sedang ngambek. Aku melihatnya cukup lucu, menggemaskan untuk ukuran lelaki yang tampak garang di dalam forum intelektual.

"Ya udah, kamu dari mana tadi?" tanyaku sembari meneguk minuman dingin yang tinggal setengah.

"Ketemu ka sama cewek cantik, jadi kuajak jalan sedikit tadi."

Deg. Matanya seolah jujur, jika ini hanya bercanda maka aku berharap menemukan respon yang tepat. Sayang, aku hanya diam untuk beberapa menit, seolah ada gejolak yang menolak kejujuran dari kalimatnya itu. Kesal, aku hanya ber-oh singkat lalu berdiri, sedikit menyesal setelah meninggalkan meja itu.

"Cantiknya kalau cemburu begitu, sepertinya ke depan saya bikin begini saja, ya?"

Aku berhenti, Syahib sudah berdiri di samping kukira dia tidak akan ikut berjalan dan kembali ke stand. Namun, tawa renyah yang begitu jelas menyapa telinga, aku bisa menebak dia di dekatku sekarang.

"Hahaha ... lucu sekali ki. Laginya tidak ada cewek cantik yang mau dengan saya selain Lita."

Aku memiringkan kepala, menghadapnya guna mengunci presensi lelaki yang sialnya semakin jauh menetap di sudut yang hangat. Dia menepuk puncak jilbab, tatapan yang serius adalah sesuatu yang kubenci tapi anehnya menjadi bagian paling kutunggu setiap kali.

"Kusayang ki, jadi jangan mi cemburu sama siapa-siapa."

Seolah ada letupan kembang api yang membuat pipiku memanas, apa dia sedang mabuk kopi sehingga bisa mengeluarkan kalimat itu. Atau, ini hanya pengalihan agar aku tidak membahas kalimatnya yang pertama.

"Iih dasar ... biasanya itu kalimat pertama adalah kejujuran, selanjutnya bisa sekali bohong!"

Aku kembali melangkah, berusaha menghindari tatapannya yang cukup berbahaya. Syahib masih menyamakan langkah, ada kekeh yang kudengar tak berhenti darinya.

"Cantik bulannya, mau lihat sama saya?"

Tuhan. Kenapa dia mudah sekali menaik-turunkan keadaan, belum sempat kujawab ia sudah menarik tanganku menuju sebuah tempat. Parkiran mobil dengan penerangan yang cukup remang, aku mengernyit saat Syahib membawaku masuk lebih dalam. Ada dugaan negatif yang terlintas hingga kaki kami berhenti di depan sebuah mobil dengan penerangan lebih baik dari yang lain. Syahib memintaku duduk di kap sedan berwarna hijau itu, cantik karena warnanya mirip dengan lambang organisasi kita.

"Pikirannya pasti aneh-aneh mi ini." Syahib menunjuk-nunjuk kepalaku saat sudah menempatkan duduk dengan baik. "Padahal saya cuma mau kasih lihat bulan itu ji."

Aku mengikuti arah telunjuknya, sempat membuka mulut untuk ber-wow sebelum sadar bahwa ada manik yang menatapku.

"Cantik toh?"

Aku mengangguk, menatapnya yang lebih banyak melihat ke arahku di banding ke langit. Rasanya aku tidak ingin waktu cepat berlalu, hanya saja aku tidak bisa menghentikan putaran seperti menahan jarum jam. Menatap bulan yang terlihat penuh, aku merasakan getar di saku yang berasal dari gawai.

"Halo, Kak. Ah, iya, aku di parkiran mobil kok, kakak di mana?"

"Mau pulang?"

"Iya, kak Jasmine katanya ada acara besok pagi." Aku turun dari kap mobil. "Ah, iya. Aku juga mau balik besok, soalnya udah dipesenin mobil."

"Jadi kali ini saya yang ditinggalkan ini?"

"Haha ... kemarin tuh kamu pulang duluan, eh gataunya masih ada, ya."

"Saya tadi lama sebelum beli minum karena diminta sama senior bantu teman-teman di stand, bukan ketemu cewek cantik."

Aku mengangguk, merasa ia tidak perlu mengklarifikasi hal itu karena benar atau bohongnya hanya dia dan Tuhan yang tahu. Syahib mengantarku ke tempat mobil kak Jasmine, sebelum pergi dia sempat mengucapkan kalimat ambigu yang tidak kupahami.

"Lita, tapi tadi sebelum lihat bulan, saya jujur bilang itu."

Ada yang bisa menebak? Aku sampai tidak menemukan kalimat mana yang dia maksud. Kak Jasmine menepuk bahuku, aku menyapanya setelah tidak melihat Syahib di sana.

"Kak, ada barang yang mau dibawa?" tanyaku saat melihatnya memasukkan beberapa dos di bagasi.

"Nda kok, cuma ini aja bisa kubawa sendiri. Masuk gih, kita pulang istirahat."

Aku mengangguk, selesai memasang seatbelt tiba-tiba terkejut melihat jam saat ini. Kak Jasmine terkekeh saat kutanyakan angka di gawai miliknya, khawatir setting waktuku tidak benar.

"Kak, ini seriusan udah jam dua?"

"Iyalah, emang kamu pikir jam berapa?"

Aku masih tercengang. "Aku kira belum jam 12 ini."

"Gitu emang kalau lagi sama orang yang istimewa, martabak aja kalah."

"Lah, iih nggak, ya, Kak."

Sepanjang perjalanan, kak Jasmine tidak henti menggodaku dengan pertanyaan dan pernyataannya. Aku sampai tidak paham cara menjelaskan dan menjawab, dia tipikal yang terus mengejar sampai aku kalah berargumen.

"Ekspresi kamu tuh beda dari kemarin, makanya aku simpulkan kalau malam ini kamu lagi bahagia."

Aku menggigit bibir, analisisnya mungkin menjadi jawaban kenapa hal-hal kecil yang hadir diantara aku dan Syahib selalu menyenangkan. Padahal jika dikatakan momen langka, aku sering mendapatkan itu dengan yang lain tapi reaksinya berbeda. Aku menyukai waktu yang habis saat dengannya, meski obrolannya ringan tapi dia bisa menemukan timing yang tepat untuk memberikan ilmu yang bisa otakku tangkap.

"Cemburu itu racun, sebelum terlanjur berbisa ada baiknya bertanya."

Aku membuang napas, menatap jalanan yang masih terlihat ramai dengan gejolak yang belum bisa kutebak.

"Syahib, di mana letak kekuranganmu?" bisikku.

----°•----

Hukum dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang