Arsyraina || 5

78 38 95
                                    

Written by HasrianiHamz

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Sebenarnya lelah, tetapi untuk memanfaatkan waktu yang tersisa baiknya aku tidak menyiakan kesempatan. Sepulang dari jalan-jalan keliling kota bersama mereka, aku langsung menuju lokasi bazar di mana banyak barang dan atribut yang hanya berkaitan dengan lambang organisasi, juga semua penjualnya dijamin hanya kader dari organisasi ini.

Sendiri. Lagi-lagi aku melakukannya sendiri. Sejak kepulangan Rasyad rasanya semua sama saja, tidak ada yang menarik meskipun pertunjukannya spektakuler menurut orang lain.

Cukup ramai, banyak orang yang berlalu lalang, suara yang saling bersahutan berebut mempromosikan dagangan masing-masing--tapi rasanya tetap sepi. Ternyata sekuat itu magnet Rasyad menarik kembali semua semangat yang pernah ia tularkan untukku.

Sebentar aku celingukan mencari sesuatu yang mungkin bisa membuatku betah di tempat ini sedikit lebih lama. Mataku menilik satu persatu tenda yang berjejer di sisi kanan kiri jalan. Di sudut sana, sepertinya ada aneka jenis makanan. Kulihat dari jauh, seseorang tengah mengipasi sesuatu di atas alat pemanggang yang sudah mengepulkan asap. Tidak terlalu jelas apa yang ada di atas panggangan itu, tetapi aromanya mengundangku untuk segera melangkah ke sana.

Ternyata jaraknya cukup jauh, atau mungkin hanya perasaanku saja yang begitu. Melihat orang yang ada di bazar ini semuanya berjalan dengan pasangan masing-masing. Sementara hanya aku yang berbeda. Orang yang selama ini selalu menemaniku, sudah memilih pulang lebih dulu. Harusnya sedari awal aku tidak boleh terlalu dekat dan mengakrabkan diri pada siapa pun, apalagi menggantungkan semuanya pada orang itu. Sesalku tak berarti.

Aku menggeleng sesaat sebelum kembali melangkah dengan buru-buru. Kuhempaskan semua pikiran tentang Rasyad dan berusaha menyadarkan diri, sekarang aku sendiri dan sedang kelaparan. Kalau melamun terus, bisa-bisa aku kehabisan makanan yang terlihat menarik banyak perhatian.

Ingat, sekarang tidak ada lagi Rasyad yang akan mengurus makanan, juga mengingatkanku untuk makan. Batin yang bergejolak, disadari atau tidak setengah diriku teramat membutuhkannya.

Oh, ternyata bakso bakar, kataku dalam hati.

"Bang, sisa itu saja?" Aku menunjuk setusuk bakso bakar yang tergeletak di atas panggangan.

"Iya, Mbak," jawab si Abang sambil terus mengipasi dan sesekali membalikkan posisi baksonya.

Ada empat buah bakso dengan ukuran besar yang disatukan dalam satu tusukan. Kelihatan semakin enak setelah tangan abangnya yang begitu lincah mengoleskan margarin dengan kuas lalu menambahkan kecap dan saos yang sudah diaduk dicampur menjadi satu terlebih dahulu. Aku membayangkan, beberapa menit lagi, lidahku akan merasakan lezatnya bakso bakar itu, apa lagi jika dimakan saat masih panas.

Akan tetapi, semuanya pupus ketika abangnya sudah mengangkat dan segera membungkusnya dalam wadah yang sudah ia siapkan sebelumnya. Katanya sudah ada yang pesan.

Tak berselang lama, pembeli bakso bakar yang Abang maksud itu sudah datang mengulurkan lembaran uang pecahan sepuluh ribu.

Dengan cepat aku menunduk saat mata lelaki gondrong itu menatap ke arahku. Kemudian berpura-pura sibuk bermain ponsel, kakiku perlahan kuputar arah di bawah sana hingga aku berhasil membelakanginya. Berjalan sedikit demi sedikit entah ke mana, yang pasti menjauh saja dulu dari sana.

Namun, baru saja beberapa langkah aku berjalan cepat, lenganku sudah menabrak bahu seseorang hingga menjatuhkan benda yang dibawanya. Ia tampak tercengang menatap barangnya yang lolos ke tanah berpaving itu, aku segera mengambil dan memeriksa jika saja ada yang lecet. Degupku kembali normal ketika tahu tupperware yang dia bawa sangat kokoh, kuserahkan benda yang sepertinya berisi gunting dan beberapa peralatan lain.

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now