Adelita || 12

53 31 134
                                    

🕸🕸🕸🕸

Pesan singkat, terlanjur singkat menurutku karena dia hanya menyebut nama panggilan dan mengirim ketikan kata yang sangat riskan bagi perasaan. Aku juga merindukannya, bahkan belum bisa membuka pesan dan hanya bertahan menatapnya dari layar pemberitahuan. Tiga hari ini, aku berpikir mungkin saja dia memang sedang memiliki kesibukan atau tidak ingin membahas perihal sesuatu yang menurutnya bersifat pribadi.

Logika di sisi lain segera membantah, aku tidak penasaran karena cemburu hanya saja cukup heran Syahib berulang kali kulihat ada di sekitar gadis itu. Entah saling mengenal atau tidak, nyatanya aku bukan siapa-siapa yang bisa melarang lingkup sosialisasinya.

Panggilan masuk membuat gawai berdering, Sindi dan satu teman perempuan tadi sudah pamit undur diri setelah tidak lama dari perginya laki-laki di kampus sebelah. Aku sampai tidak fokus pada obrolan terakhir mereka, pikiranku sedang dipenuhi opsi cara memberi reaksi pada pesan singkat ini.

Kesel sih, tapi suka, batinku.

Benar. Kata itu memang yang kutunggu, aku menyukainya tapi masih kesal mengingat bagaimana belakangan Syahib mendiamkanku. Kulihat sekitar yang tidak banyak orang, payung-payung ini juga masih bisa menghalau keberadaanku dari sinar matahari. Dua kali panggilan tak terjawab, aku sedang menyiapkan mental agar tidak mudah luluh. Nyatanya, perasaan memang sehebat itu dampaknya, aku mendapat satu pesan lagi yang akhirnya membuat jemari gemas untuk membuka ruang obrolan.

Syahib
| Lita, sibuk ki ?

Belum sempat keyboard pesanku muncul, sudah ada panggilan masuk dari nomer yang sama. Aku menggeser ikon hijau untuk menerima, menarik napas dan membiarkannya berbicara lebih dulu.

"Hallo. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Di mana ki ? Sibuknya mi sampai pesanku baru dibaca."

Demi apapun, aku merindukan logat dan suara khas ini yang beberapa hari seperti menghilang begitu saja. Perasaan mungkin masih penasaran, tapi logikaku menegaskan untuk tidak menanyakan hal itu lagi. Bisa saja aku akan kehilangan momen yang kusuka hanya karena rasa ingin tahu, atau Syahib juga tidak ingin membaginya denganku yang berada jauh dari kehidupannya sehari-hari.

"Lita, marah ki ?"

"Marah? Kenapa harus marah?"

"Apa dicuek ka, maaf nda sempat hubungi Lita karena senior beberapa hari ini sering ajak keluar diskusi. Ada beberapa hal tentang kedaulatan rakyat yang harus kupikir juga."

Aku belum bertanya, bahkan mungkin aku tidak akan bertanya sebab tidak ingin menunjukkan bahwa aku menunggu kabar darinya. Gengsi yang menjulang itu kembali hadir, aku bersikap seolah tak masalah tanpanya. Padahal, perasaan yang berteriak ini membuatku kadang berpikir pendek untuk mencarinya.

Percakapan itu terjadi selama kurang lebih setengah jam, aku melihat kerumunan di depan ruang bendahara sedikit surut. Berjalan ke sana untuk menyelesaikan urusan, kuharap ini hari terakhir sibuk dengan KRS dan segala macamnya. Setahun lebih ada di kampus ini, kadang aku merasa kerdil saat melihat senior datang bergurau dengan teman gengnya. Namun, itu bisa saja pudar kalau sudah gerombolan lain muncul meramaikan suasana. Entah apa yang sedang mereka lakukan, intinya bukan hanya aku yang terhibur melihat kelakuan dua laki-laki berwajah rupawan ini.

"Kak Andhy! Kak, nggak butuh asisten bendahara, kah?" ujar kak Ezar.

"Kasian, Kak. Bendaharanya satu, mahasiswanya banyak," tambah kak Galih menirukan jargon dari salah satu produk iklan.

"Jangan ribut, salah hitung ntar bendahara tuh."

Kak Andhy yang saat ini sudah memiliki ruangan dekat dengan bendahara menyahut, wajah jenaka yang kadang juga bisa seram selalu membuat dua juniornya berhasil menghidupkan suasana.

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now