Intro -- Adelita

183 49 123
                                    

Awan yang berarak masih kutatap dengan nanar, ada pedih yang menelusup tak kusadari memancing bulir bening. Kutengadahkan wajah demi menolak runtuhnya tetesan itu, berharap naik kembali atau menguap tanpa harus dilihat olehnya.

"Lita."

Aku menatapnya, lelaki yang selalu memanggil namaku dan menghadirkan garis kedekatan berbeda. Kupaksa senyum, sepekan terakhir aku mencoba kuat untuk menutupi luka yang benar mendorongku jatuh.

"Ada apa, Syahib?"

"Tidak. Kenapa diam, kamu tidak bosan?"

Aku menggeleng, alasan utamanya bukan karena tak bosan duduk di sini hampir berjam-jam lamanya. Namun, bersama dia selalu menghadirkan hal berbeda yang tak pernah kutolak hadirnya.

"Tidak. Bukankah kita sudah lama tak bertemu?"

"Iya."

Hanya itu. Ajakannya bertemu kutanggapi dengan penuh semangat, meski ada gurat kecewa saat dia tak segera mengungkap apa tujuannya. Lelaki ini menghela napas, seolah berusaha membuang segala ragu yang menutupi rongga keyakinannya.

"Nikah, yuk!"

Aku menatapnya sembari refleks mengangkat alis. "Bercanda."

"Aku serius."

"Syahib." Dia menatapku dengan senyum. "Sudah cukup kamu berlari kearahku, coba tanyakan langsung padanya agar kamu menemukan pintu yang tepat."

Syahib terdiam, menunduk sembari menautkan jemari begitu erat pertanda bahwa aku benar mengeluarkan kata. Rasanya ada sesuatu tak kasat mata yang mengiris dalam dada, luka-luka yang ada seperti diperas air jeruk dengan sengaja. Aku tegakkan duduk, meraih tangannya yang terus menyakiti sendiri berharap ia berhenti.

"Dia tidak menemukan mataharinya," ujarku, "mungkin kamu adalah cahaya yang bisa menerangi gelapnya."

"Lita--"

Aku menggeleng. "Aku tak apa, terima kasih telah memberi perhatian. Aku benar tak apa."

Syahib memelukku, ada getar yang mensugesti agar aku tak segera melepas pelukannya. Menahannya dalam rengkuhan, membawanya bergandengan melawan jembatan takdir. Namun, ia meregangkan pelukanku dan menangkup wajah yang berpura tegar ini.

"Aku menyayangimu," lirihnya, "tetaplah ada di sisi sebagai temanku."

Aku dengan bodohnya mengangguk, bersiap menambah koleksi luka yang berderet rapi dalam diri. Langkahnya menjauh, ia baru saja tersenyum membaca balasan dari gadis yang akan ditemuinya. Aku berharap--ralat--aku berdo'a agar ia mendapat jawaban yang baik, tak usah memikirkanku karena Tuhan tahu apa yang terbaik untuk makhluknya. Semoga.

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now