Adelita || 17

22 10 0
                                    

🍁🍀🍁🍀

"Masih percaya ki kalau ada laki-laki yang ajak pacaran dan tujuannya bukan untuk nafsu ji saja?"

Aku terdiam, Syahib berhasil menceramahiku setelah sedikit kujelaskan apa yang baru saja kutemukan. Sangat paham jika ini salah, tapi sikap baik kak Zio di awal berhasil membuatku masuk dalam perangkapnya.

"Lita, sudah jadi korban KRS-nya senior ta mi?"

"Iih, Syahib. Bisa diam, nggak?"

Ada gelak tawa di sana, anehnya aku tidak sakit hati atau merasa kecewa saat dia yang berbicara denganku.

"Nda bisa ki mengelak, dia sudah klaim Lita jadi korbannya. Trus sekarang hubungan kalian gimana?"

Aku mengigit bibir, benar jika saat ini aku tidak tahu kelanjutan hubungan setelah membentak kak Zio. Apakah besok yang harus kulakukan, meminta maaf rasanya tidak mungkin karena apa yang kulakukan sudah benar. Syahib menemani berbincang hingga larut, aku baru sadar saat tidak sengaja melihat jam di nakas.

"Ingat saja pesanku, kalau Lita mau tetap jadi korban maka silakan tetap pakai perasaan. Misal mau sebaliknya, jangan dituruti sekali itu rasa nah."

Lalu, apa perasaanmu sekarang, Syahib? batinku.

°°••°°

Suasana kampus tetap seperti biasa, bedanya pagi ini aku tidak langsung ke Sekret. Bergabung dengan teman sekelas mungkin akan terasa lebih baik, dibanding harus ke Sekret dan di hadapkan dengan pertanyaan yang tidak jauh tentang kak Zio.

Obrolan dengan Syahib semalam secara tidak langsung membuka pikiranku, jika sudah begini sepertinya rugi semisal aku tidak mendapat apapun dari hubungan yang terhitung cukup lama untuk ukuran kader.

Sejak awal, kak Zio begitu royal dan mudah sekali menuruti permintaanku. Kukira semua itu tulus, nyatanya ada maksud terselubung dari sikapnya yang luar biasa. Kartu ATM dan kunci motor masih ada padaku, tapi kali ini aku memilih untuk jalan kaki ke kampus sedang motornya masih di garasi rumah.

"Del, gimana?"

"Hm? Apanya?"

Aku mengernyit saat Sindi tiba-tiba menyakan sesuatu yang belum kupahami, dia juga dengan senyum gingsul yang begitu manis seolah sengaja membuat kalimatnya ambigu.

"Ada komunikasi nggak sama temenku yang kemarin?"

"Oh ... itu. Nggak sih, aku nunggu kabar dari kamu aja gimana-gimananya."

"Dia kayaknya lagi sibuk, aktif banget itu anak di kampus sebelah."

"Bagus, dong. Jarang loh ada mahasiswa yang berpikir mau sibuk di luar jadwal kuliah."

Tidak mudah akrab dengan orang masih saja menjadi kebiasaanku, rasanya sulit menempatkan diri atau menjadi salah satu bagian dari sebuah perkumpulan. Aku dan Sindi saja hanya berbicara seperlunya, lebih dari itu kadang aku segan untuk bertanya akan hal lain.

Ternyata di kelas ini sudah terbentuk perkumpulan-perkumpulan tersendiri, aku melihat ada geng khusus untuk mahasiswi cantik yang entah sedang membicarakan apa. Sisi lain, ada mahasiswi yang juga mudah sekali akrab dengan laki-laki di kelas. Tidak banyak, tapi perwakilan laki-laki cukup penting terlebih jika berhubungan dengan struktur kelas. Sisi lain juga ada yang tampak biasa-biasa saja, tapi mereka lebih banyak dan sepertinya perkumpulan itu paling mudah kujangkau.

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now