Arsyraina || 1

117 39 114
                                    

Welcome Back 👓👓

Sudah 2023
Semoga kita bisa konsisten menyelesaikannya.

Written by HasrianiHamz

Happy Reading 📚📚📚


---- °• ----

Lebih dari sepekan ini aku selalu menempatkan diri bersama Rasyad, kecuali saat di asrama untuk istirahat karena memang sengaja tempat laki-laki dan perempuan diatur terpisah oleh panitia. Sejak pertemuanku dengannya hari itu, ia lebih sering menjadi guru untukku dari pada seorang teman biasa.

Dia tidak bersikap layaknya orang kebanyakan di luar sana yang cenderung menghabiskan waktu untuk bersenang-bersenang sambil nongkrong dengan pembahasan yang tidak berujung. Bersama Rasyad mungkin malah terasa membosankan jika waktu terlewati begitu saja tanpa adanya momen berbagi ilmu.

Ketika waktu istirahat tiba, ruangan sepi selalu menjadi tempat incaran kita untuk berdiskusi bersama teman-teman dari Cabangnya. Ada banyak sumber ilmu yang mengelilingiku di sini, menjadikan pikiran lebih terbuka dan mencoba menganalisa sejauh mana yang belum kupahami. Ternyata, mereka semua hanya menyembunyikan kecerdasannya di balik sikap cuek dan dinginnya itu. Lihat saja, sepulang dari sini aku akan menunjukkan ke senior kalau aku tidak hanya pulang membawa pengalaman, tetapi juga ilmu yang mungkin luput untuk mereka perhatikan.

"Ambil makan siang dulu. Ayo!" ajak Rasyad sebelum kita pergi ke tempat biasa di mana temannya menunggu.

Tanpa bersuara, aku mengikuti langkahnya dari belakang. Namun, aku yakin secara naluri sebentar lagi lelaki yang satu ini akan menarikku untuk berjalan tepat di sampingnya seperti biasa.

Rasyad memang tidak suka ketika aku berada di belakang, ia malah lebih sering memintaku untuk berjalan beriringan jika tidak sekalian melangkah lebih dulu di depannya.
Pernah sekali aku bertanya tentang hal itu padanya dan jawaban yang kudapat benar-benar di luar ekpektasi.

"Ya. Kalau di belakang takutnya Sera hilang pas saya sedang asyik bicara."

Sumpah, padahal aku sudah menebak jawaban yang akan ia berikan sama dengan kebanyakan laki-laki di luar sana, yakni mengambil kesempatan untuk menggombal dan membuat kaum hawa terbawa perasaan. Nyatanya tidak sama sekali, dia sangat logis dan tentu saja alibinya tidak bisa kubantah.

"Jadi cuma itu?" Sejenak aku mengernyitkan kening, seolah belum sepakat dengan jawabannya.

"Masih ada lagi ... jangan-jangan kalau saya bicara ternyata Sera sibuk main gawai."

Lagi-lagi jawaban yang mirip tapi tak serupa kembali aku dapatkan, hanya seulas senyum yang bisa membalas kalimatnya. Dia lelaki unik pertama yang aku temui selain teman-temannya yang ternyata ikut unik karenanya, begitu berbeda dari yang lain. Caranya bicara, menatap dan memperlakukan orang lain sudah cukup membuktikan bagaimana mereka menghargai sekelilingnya tanpa memikirkan pencitraan.

Di arena Munas seperti ini, aku mengetahui ada banyak orang datang dari wilayah Sulawesi sana. Termasuk dari Sulawesi Selatan seperti Rasyad, tetapi kusadari hanya dia yang masih menggunakan dialek khas orang Makassar. Ketika yang lain berusaha untuk mengikuti gaya bicara dan kebiasaan elit warga ibu kota, padahal dialek mereka sudah cukup sopan aslinya.

"Kenapa Sera diam?" tanyanya saat kita telah sampai di depan panitia yang membagikan makanan.

"Ya, tidak tau mau bahas apa lagi," jawabku sambil menerima kotak nasi yang dilengkapi dengan buah dan air mineral dalam kemasan.

Tanpa aba-aba kita sudah kembali berjalan mencari tempat untuk nongkrong, tentu yang jauh dari bisingnya suara tawa dan celoteh tak jelas manusia lain.

"Rasyad!"

Ia hanya menjawab dengan deheman dan menoleh sekilas ke arahku sebelum kembali menatap lurus ke depan.

"Hm?"

Jika dilihat, dia memang orang yang cuek dalam keadaan tertentu. Namun, di beberapa momen dia pernah menunjukkan kepeduliannya, malah sangat peduli dari yang aku pikirkan.
Hal itu kadang membuatku merasa kedekatan ini tidak seperti biasanya ketika ia memberikan perhatian lebih, tetapi dengan cepat aku menepis perasaan itu.

Logikaku berkeras menolak, aku tidak boleh semudah itu menyimpulkan saat kita belum mengenal masing-masing karakter. Aku baru saja berkenalan dengannya, bisa saja dia memang memperlakukan semua perempuan seperti ini.

"Sebelum pulang, aku mau minta nomor telepon kamu. Boleh?" Aku merasa pertanyaan penting ini sedikit mengganggu, tapi kuberanikan untuk mengeluarkan sebelum terlambat.

"Kenapa tunggu mau pulang dulu baru minta nomor?" tanyanya dengan tatapan yang sangat sulit kuartikan.

Duh! Rasyad kumohon, jangan menatapku seperti itu, batinku.

Aku bingung dengan pertanyaannya, kalau tahu begini aku tidak akan berbasa-basi dengan hal seperti itu. Lagipula aku juga sudah menyimpan kontaknya beberapa hari lalu, mungkin ia tidak menyadari kalau pertanyaan formalitas itu hanya sebagai pemecah keheningan. Niat awalnya aku ingin mencari bahan perbincangan saja agar tidak terus berdiam diri sembari menunggu dia yang mulai bercerita terlebih dahulu.

"Ya, kan sudah mau pulang ke daerah masing-masing. Nanti cara bertanyanya bagaimana kalau ada yang tidak aku mengerti?"

Rasyad tersenyum tipis, ia paham jawaban itu spontan aku ucapkan untuk menghindari pertanyaan berbahaya darinya.

"Alasan. Bilang saja Sera takut rindu, toh?"

Air mukanya terlihat sangat serius, tidak ada ekspresi bergurau yang menunjukkan kalau dia sedang menahan tawa.

"Bukan Rasyad.. aku cuma--"

"Maaf, Sera. Saya jawab telepon dulu."

Rasyad tiba-tiba memotong ucapanku lalu fokus menerima telepon yang entah dari siapa, sesekali aku meliriknya sambil tetap berusaha menyejajarkan langkah. Tanganku mencoba meraih kotak nasi yang ada di tangannya ketika melihatnya sedikit kesusahan, tapi dengan cepat ia menahannya seraya menoleh ke arahku.

"Ya, sudah, Bang. Saya tutup teleponnya dii. Assalamu'alaikum."

Setelah ia menyudahi panggilan itu, aku berniat ingin mengajaknya kembali bicara. Namun, belum sempat memulai, ia sudah berbicara mendahuluiku.

"Selesai kegiatan, saya harus langsung pulang," katanya tanpa menoleh.

"Ihh ... sebentar malam, 'kan, penutupan. Ja--"

"Iya, besok pagi saya sudah harus balik ke Makassar," jawabnya dengan senyum.

Sedang aku hanya memaksakan bibirku ikut melengkung sepertinya, ada protes yang tidak berani kuutarakan. Aku sendiri belum tahu kapan bisa pulang, berpikir harus bagaimana tanpa adanya Rasyad di sini. Pertanyaan kenapa bukan aku saja yang pulang lebih dulu terlinras, agar kiranya aku tak perlu lagi mencari teman baru.

Meski banyak teman dari Kalimantan juga, tapi aku belum pernah sekali pun bertegur sapa dengan mereka bahkan kenal pun tidak. Kadang aku dibuat minder, Cabangku masih terbilang baru hingga aku masih menjadi peserta peninjau di Munas kali ini. Sedangkan, Cabang mereka sedikitnya diwakili oleh dua orang, satu peserta penuh dan satu lagi sebagai peserta peninjau. Jadi, wajar saja jika aku sendiri lebih memilih dekat dan bergabung dengan cabang lain, sekali pun berbeda wilayah seperti Rasyad dan teman-temannya.

Sejak ia memberitahuku jadwal kepulangannya, waktu terasa sangat cepat berlalu. Kini, hari sudah sore dan sebentar lagi memasuki waktu maghrib, tinggal menunggu selesai Isya' nanti acara penutupan akan dimulai. Rasanya semua dikerjakan begitu cepat, atau mungkin hanya perasaanku saja sebagai orang yang akan ditinggalkan.

---- •° ----

Hukum dalam RasaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz