Adelita || 9

81 32 141
                                    

🍒🍒🍒

Setibanya di rumah, aku segera menyimpan tas dan sepatu ke tempat asal sebelum mencari pengisi daya untuk ponsel yang tidak begitu kupedulikan. Pulang diantar kak Devi, aku tidak kembali ke Sekret karena katanya lebih baik istirahat sebelum kembali berhadapan dengan mulut dan tatapan julid orang-orang tadi. Kak Devi tahu aku masih sangat rawan, gampang patah semangat bahkan terlalu kepikiran karena merasa sebagai junior selalu salah di mata mereka.

"Kalau lain kali di depan ada Julian sama Tari, kamu mending langsung masuk aja nunggu dalam Sekret. Tadi, kamu ada tujuan apa ke sana?" tanya kak Devi sewaktu memboncengku dengan motornya.

"Nggak ada sih, Kak. Cuma mau setor muka aja kalau aku udah balik." 

"Diemin aja mereka, nggak tau juga kenapa jadi suka gitu sama kamu julidnya."

"Mungkin harusnya emang bukan aku yang berangkat kemarin, Kak."

"Terus siapa lagi?"

Aku tidak meneruskan debat kak Devi, mau seperti apapun pembelaanku untuk pro dengan kak Julian dan kak Tari pasti disanggah bahkan ditolak mentah-mentah. Kak Devi sejak awal memang selalu meluruskan hal-hal yang menurutku tidak seharusnya, atau sesuatu yang tidak bisa kupahami dalam keadaan ini.

Dinamika dalam organisasi, katanya itu yang akan membangun dan membesarkan hati. Nyatanya, aku masih sering heran dengan prinsip kak Julian dan kekasihnya beserta antek mereka. Selalu saja ada sanggahan setiap kali aku bertahan di kubu kak Calvin, banyak tuduhan kanan-kiri yang membuat suasana tidak pernah damai.

"Kah begitu memang ji, kadang kalau nggak sesuai mau pasti senior nda bakal tinggal diam."

Suara yang juga hadir dengan sosoknya, entah sejak kapan aku jadi terbiasa membagi apapun dengan dia. Baru saja menceritakan keadaan yang kutemui di Sekret, dia seperti sangat paham dan memberi respon seperti yang kuharapkan.

"Lita aman-aman ji toh? Kalau baik ki, nda perlu merasa terbebani."

"Aman, sih. Cuma kukira nggak bakal kayak gini."

"Makanya jangan cantik-cantik, jadi banyak yang tertarik."

"Iih apa sih, nggak ada kaitannya tau!"

"Nah apalagi senyum itu, kayak mau terbang saya dibuatnya, deh."

Sudah kuduga, momen serius Syahib tidak akan bertahan lama karena dia selalu menemukan celah untuk bisa menghadirkan tawa. Panggilan video itu berakhir saat dia mengatakan ada urusan, aku yang sedang senggang hanya bisa menurut karena tidak mungkin menahannya tanpa alasan.

"Tenang saja, nda hobi ka selingkuh. Tetap Lita saja di pikiranku."

"Gombal!"

"Eh, serius ka. Nanti Lita tanya teman-temanku nah, mereka tau itu siapa Adelita dalam hidupnya Syahib."

"Haaa ... sudah-sudah, sana pergi saja!"

"Baper pasti, toh?"

Lihat wajahnya yang sangat menyebalkan, lelaki dengan suara dalam itu masih terus mengganggu sampai panggilan kuakhiri. Tentu saja tidak lama ada pesan menyusul darinya, aku tidak sempat membalas karena ternyata di luar sudah ada tamu yang sejak tadi menunggu.

"Eh? Kak Ezar, sendiri aja?"

Salah satu senior yang tidak kalah perhatian, lelaki ini menenteng dua kresek yang dari aroma manisnya sudah bisa kutebak. Kak Ezar tahu aku paling suka martabak manis, kalau Syahib biasa menyebutnya dengan terang bulan.

Kok jadi Syahib terus, batinku.

"Mereka bentar lagi nyusul, nggak apa-apa nunggu sini, 'kan?"

Aku melihat senyum teduh di wajah manis itu, entah kenapa sampai detik ini kak Ezar belum mengakhiri masa lajangnya. Selain kak Galih dan kak Zio, dia juga salah satu senior yang belum pernah kulihat dekat dengan perempuan. Kak Galih punya alasan, dia gagal move on dari mantan kekasihnya sewaktu SMA, gadis cantik yang sekarang memilih jalan menjadi abdi negara. Kak Zio dan kak Ezar tidak pernah memberi jawaban yang masuk akal setiap kali ditanya perihal keputusan mereka masih sendiri.

"Adel, beneran dapat pacar di sana? Cabang mana?" tanya kak Ezar tiba-tiba.

"Hah? Kata siapa, Kak? Nggak ada, nih."

"Denger-denger aja, sih. Cuma mau mastiin langsung."

"Nggak ada."

Aku hanya tersenyum sembari mengeluarkan martabak manis dua rasa di piring yang berbeda, sepertinya mereka tidak akan ke Sekret karena gerimis mulai datang. Ke dapur setelah mendengar suara termos yang airnya mendidih, aku akan lebih dulu menyiapkan kopi kesukaan para senior ini meski mereka belum lengkap.

"Wiih! Ada yang nyuri start, nih."

"Aaah, jangan-jangan udah ngomong juga."

"Apaan sih ribut, datang-datang nggak boleh rusuh. Noh, mamam!"

"Adel, kamu nggak habis ditembak sama laki-laki lumutan ini, 'kan?"

Sudah bisa ditebak, suara gaduh itu milik kak Calvin karena bersamaan dengan suara lembut yang masih terdengar tegas. Dua sejoli yang sudah dikenal hampir seantero kampus, aku tidak menanggapi karena bukan sekali dua kali mereka bercanda seperti ini.

"Del, mau dibantuin?" tanya kak Devi.

"Udah kok, Kak. Tinggal bawa ke depan aja."

Perempuan tinggi itu masih berada di pantry, dia menatapku seolah sedang menanyakan sesuatu dengan sebuah kode.

"Ezar nembak kamu? Tumben banget dia dateng lebih awal dari kita."

"Hah? Nggak, tadi jaraknya nggak lama kok dari Kakak sama kak Calvin dateng."

"Oh iya? Aku harap sih beneran enggak, ya."

"Emang kenapa, Kak?"

Ada senyum yang menarik garis bibir kk Devi, aku yang selama ini tidak pernah mengambil serius candaan mereka mulai berpikir.

"Atau yang kak Devi hampir sebut tadi sore itu ... "

"Bukan," potong kak Devi, "ada yang lebih kalem dari Ezar, mending kamu mikir baik-baik deh sebelum mutusin."

Kalimat kak Devi usai begitu saja, dia membawa nampan berisi kopi sedang aku masih berjalan dengan gelas kosong. Semakin banyak hal membingungkan, bagaimana aku harus mengambil sikap kalau ternyata sudah ada yang lebih dulu mengambil perasaan.

"Kamu nggak lagi terjebak di perasaan sementara, 'kan?"

Kak Devi mulai lagi, tidak masalah jika dia hanya membahasnya berdua denganku. Namun, sekarang suaranya seperti sengaja dibesarkan agar semua orang mendengar. Kak Calvin dengan tatapan jail, kak Galih yang hadir dengan kerutan, kak Ezar yang menatapku seolah menunggu jawaban. Sampai aku melihat satu sosok yang tampak cuek, dia seperti sudah tidak kaget dengan kak Devi yang sembarang membuka pembahasan.

"Perasaan sementara itu nggak masalah, Del. Intinya kamu nggak berharap lebih aja."

Kak Calvin menengahi, aku yang diam hanya bisa tersenyum kaku dan semakin bingung saat kak Zio berdiri melempar jaketnya ke arahku sebelum dia meraih satu gelas berisi kopi. Menggeser kak Galih yang duduk di sampingku, kursi panjang ini seperti jadi idaman mereka karena setiap ke rumah pasti direbutkan begitu saja.

"Mau bantu niupin, gak?" ujar kak Zio sembari menyodorkan gelasnya ke arahku.

****

Apa kabar hati?
2024 kita lanjut lagi 🤭

Hukum dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang