Arsyraina || 7

100 40 146
                                    

Dapat asupan Update dari HasrianiHamz

📚📚📚📚📚📚📚

Cukup lama ia terdiam, entah sedang menungguku melanjutkan cerita atau ia memang tidak tertarik mendengarnya. Ya. Aku akui dia memang cerdas dan orang cerdas sepertinya pasti tidak akan membuang waktu sia-sia hanya untuk mendengarkan cerita tidak jelas seperti itu. Seketika aku merasa terlalu kekanak-kanakan dengannya, apalagi sampai menyalahkan dirinya atas kecerobohanku sendiri. Kuputuskan ingin mengakhiri panggilan itu sebelum akhirnya ia kembali bersuara dengan tenang dan terkesan sedikit dingin.

"Lain kali hati-hati ki kalau jalan sendiri!" Dia menatapku serius. "Jadi, siapa mi itu laki-laki gondrong?" lanjutnya bertanya, padahal aku pikir ia tidak akan membahas ini lagi.

Aku memasang ekspresi bingung. "Gak tau, ya, aku juga gak tanya namanya tadi."

"Harusnya Sera tanya," katanya sembari menggeleng dengan raut wajah yang terlihat menahan kesal. "Sembarang sekali ikuti orang nda dikenal, bagaimana mi kalau itu orang ternyata nda baik juga?" Ia terus menggerutu menatap tajam ke arahku.

Untuk pertama kalinya, aku dibuat takut melihat ekspresinya. Aku bergidik ngeri, tidak pernah menyangka dia bisa mengeluarkan aura seperti itu. Menakutkan.

"Tapi, orangnya baik nah. Logatnya mirip Rasyad, suka aku dengarnya," kataku dengan sumringah.

Tak ada jawaban, ia hanya diam menatapku. Awalnya aku pikir dia hanya mempermainkanku, semakin lama ternyata dia tak juga mengalihkan tatapan seram itu.

Cukup lama kami memilih saling diam, tak ada yang bersuara sama sekali. Bergerak pun rasanya aku enggan, sedangkan ia memilih cuek dan entah apa yang ia kerjakan di sana. Hanya perubahan ekspresi yang terlihat sangat serius kutangkap, sambil menunduk tanpa melihat lagi ke arahku.

Sesaat aku mendengar petikan senar gitar, disusul dengan suaranya yang sangat khas di telinga. Begitu menenangkan.

Ternyata ia memainkan gitar, pikirku seraya menarik sedikit kedua sudut bibir hingga membentuk senyum tipis.

Mendengar instrumen yang mulai jelas, sepertinya lagu ini tidak asing. Perlahan tapi pasti, aku semakin menampakkan senyuman itu. Akhirnya aku bisa bernapas lega mendengarnya bernyanyi, karena itu artinya tidak ada sesuatu yang perlu kukhawatirkan lagi, tetapi di detik berikutnya aku kembali merasa sesak. Lirik lagu itu rasanya masuk terlalu dalam mengobrak-abrik isi perutku hingga terasa ngilu.

Waktu terasa semakin berlalu ...
Saat kita bersama ... saat dulu kala

Seketika memori beberapa hari bersamanya kembali teringat, berjalan mundur dari saat ia meninggalkanku, menemaniku, mengajariku, tertawa bersama dan saat kami pertama kali bertemu. Semua hari rasanya begitu menyenangkan sejak mengenalnya, tetapi di sisi lain waktu pun terasa semakin cepat berlalu. Dan, sejak pertemuan terakhir malam itu dengannya, waktu serasa kembali melambat, bahkan sangat lambat dari biasanya.

"Mm, Rasyad," panggilku membuatnya menoleh dengan cepat dan menghentikan petikan gitarnya.

Ia tidak langsung bertanya, hanya menaikkan kedua alisnya seperti biasa, dan bagiku sudah cukup untuk mengisyaratkan sebuah tanya melalui geraknya itu.

"Marah ki?" Akhirnya, pertanyaan itu lolos juga keluar dari bibirku.

"Nda," jawabnya singkat, lalu kembali bertanya dengan memasang raut kebingungan, "kenapa mau marah?"

"Itu yang tadi, apa namanya?"

"Yang manaaa?" Suara dan logat khas Makassar yang kental benar-benar membuat telingaku candu dan selalu ingin mendengarnya. "Perasaannya Sera ji itu yang sensitif."

"Hm ... kelihatan loh itu dari mukanya," bantahku. Jelas sekali aku melihat ekspresi lain dari biasanya.

"Nda ji Seraa ... Serius ka, nda, ekspresi khawatir ji itu, plus cemburu juga toh. Tambah lagi bersalah ka kurasa deh tinggalkan Sera di sana," jelasnya menatapku dengan serius.

Aduh, tatapan itu, di mana aku harus bersembunyi untuk mengindari sorot matanya.

Tapi, tunggu dulu, apa yang baru saja ia katakan? Khawatir? Cemburu? Ingat, kita hanya teman Rasyad. Jangan memancing perasaan selain itu yang pada akhirnya akan kamu hancurkan juga.

Seolah tak peduli dengan perasaanku sekarang, ia malah meneruskan bernyanyi. Sembari melempar tatapan yang diiringi senyum seperti biasa, manis dan menenangkan.

***

Sepertinya tidurku terlalu nyenyak, hingga pagi tiba aku tidak merasa terganggu sedikit pun. Sebagaimana kebiasaan anak zaman sekarang, bangun tidur, tanganku langsung meraba sekeliling mencari keberadaan benda pintar yang selalu menghubungkanku dengan orang-orang sekali pun di ruang yang berbeda.

Ponsel ini jadi seperti magic, hanya dengan menyentuhnya, tiba-tiba ingatanku kembali ke beberapa jam semalam. Saat aku tengah melakukan panggilan video dengan Rasyad, dia bernyanyi dan ...

Mataku membulat kaget, kemudian memekik histeris,  "Astagfirullah."

Aku ketiduran? Terus selanjutnya bagaimana? Apa dia terus bernyanyi? Atau malah mengajakku ngobrol tapi tidak kujawab? Ya Allah, kenapa aku bisa ketiduran begitu. Hah, jadi terlewatkan kesempatan bicara lama dengannya.

Melihat jam yang ditampilkan di layar ponsel sudah bertuliskan angka 05:26 pertanda di luar pasti sudah terang. Aku baru memikirkan, kegiatan apa lagi yang akan memenuhi hariku hari ini. Namun, aku tidak ingin terlalu memusingkan hal seperti itu. Urusan itu biar kupikirkan nanti. Sekarang aku harus mandi dan bersiap mencari sarapan di luar.

Seperti hari-hari sebelumnya, aku selalu tidak ingin menghabiskan waktu untuk berlama-lama berurusan dengan kamar mandi dan semua kawan-kawannya. Kini aku sudah berdiri di depan cermin seraya merapikan jilbab sebelum menusukkan senjata tajam kecil yang selalu bisa selamat dari razia sajam. Ya, siapa lagi kalau bukan si pentul kecil dan mungil sepertiku.

Pergi dan jalan sendiri memang rasanya sedikit kurang asik, tidak ada teman bicara hingga membuat kita hanya bisa melangkah sambil melamun, sesekali mendongak melihat gedung tinggi yang berada di sisi kanan kiri jalan. Ternyata cukup susah mencari sarapan di pinggir jalanan kota metropolitan seperti ini. Pikirku

"Arsyra!"

Terdengar suara lelaki memanggilku, tapi barangkali di mana. Aku masih celingukan mencari sumber suara tersebut.

"Mau ke mana?" tanya lelaki asing yang baru saja menyeberang.

Aku masih menilik wajahnya sembari berusaha mengingat siapa dirinya. Sambil tersenyum, ingatanku terus kupaksa untuk mendeteksi wajah asing lelaki di depanku ini.

Entah berapa lama aku terdiam sambil terus menatapnya. Suaranya kembali memecah keheningan dengan mengulang pertanyaan yang sama, pertanyaan yang beberapa menit lalu kuabaikan.

"Asryra mau ke mana?"

"Jalan-jalan sambil cari sarapan," jawabku sedikit ragu.

"Ini aku, Dion, temannya Bang Rasyad. Kita pernah foto bersama," katanya mencoba meyakinkan.

"Astaga, maaf Abang Dion, aku lupa," kataku sembari menepuk pelan pundaknya.

Ia terkekeh, lalu bertanya kembali untuk memastikan. "Gimana? Sudah ingat?"

Aku hanya mengangguk sambil tersipu malu.

"Bang Dion, belum pulang juga ternyata."

"Aku memang orang asli sini. Lahir dan besar di sini, tapi bapak orang Makassar asli. Makanya kemarin bisa langsung akrab sama Bang Rasyad," jelasnya.

"Ooh, orang sini? Serius Bang?"

Anggukan pelannya membuatku senang, artinya aku bisa meminta bantuannya untuk mencari sarapan.

"Ayo, aku antar cari sarapan. Sebelum macet." Ajaknya sambil menarikku untuk menyeberang ke tempat di mana ia meneriakiku tadi.

---- •° ----

Hukum dalam RasaWhere stories live. Discover now