Part 3-Langit Biru

12K 907 147
                                    

Airin duduk dengan santai di kursi taman yang kerap ia kunjungi sepulang sekolah saat cuaca sedang cerah-cerahnya. Dan di taman itulah Airin berada sore ini. Seragam lengkap masih melekat di balik jaket berwarna pastel yang sedang ia kenakan. Sejenak, Airin memejamkan kedua matanya, menikmati semilir angin yang membelai sulur-sulur rambut hitamnya yang tergerai halus. Tenang, ia merasa sangat tenang. Seolah riuh suara anak kecil di sekitar tak mengganggu pendengarannya sedikitpun. Bahkan ujung-ujung rambut yang menggelitik di wajahnya, ia acuhkan.

Ada senyuman tipis saat samar-samar ia mendengar banyak suara anak kecil yang berbaur menjadi satu, bergesekan dengan udara di sekitarnya. Airin tahu, ia pernah berada di posisi itu. Posisi dimana dia pernah tertawa bahagia di suatu sore yang indah.

Perlahan, Airin membuka kedua kelopak matanya. Angin tetap berhembus pelan, menyejukkan. Sebelah tangan Airin bergerak merapikan helai-helai rambutnya yang tertiup angin. Langit masih cerah, dan di hadapannya terbentang rumput hijau yang ia tahu, pasti rasanya sangat nyaman jika ia berguling-guling di atasnya.

Satu senyum tipis kembali hadir di bibirnya yang mungil. Ada satu yang menarik perhatiannya di depan sana. Dua orang gadis kecil, berpakaian serupa. Sepertinya mereka kembar. Pakaian, ikatan rambut, sampai sepatu pun serupa, hanya warnanya saja yang berbeda. Si kembar berlarian, jatuh kemudian berguling-guling. Dari tempat duduknya, Airin mendengar dengan jelas tawa yang mengiringi dua gadis kecil di sana. Dari sisi lain, ia melihat seorang pria paruh baya dengan kemeja berwarna biru cerah, berlari menghampiri si kembar dengan tawa yang lebar.

Airin melepas satu helaan napas panjang dari hidungnya. Pandangannya ia alihkan ke sembarang arah. Kedua matanya kembali terpejam. Merasakan ada yang menelusup ke dalam hatinya. Ia seolah paham dengan apa yang terjadi selanjutnya. Pasti si kembar akan berlari dengan riang, menyambut si pria yang merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.

Dan tepat saat kedua kelopak mata Airin terbuka, si kembar sudah berada dekat dengan bangku yang sedang di dudukinya. Berada di masing-masing lengan si pria, dengan kikikan geli yang menghiasi bibir ketiganya. Seolah tak ada beban yang melingkupi si ayah dan anak kembarnya. Kedua mata Airin bahkan tak lepas memerhatikan mereka, bahkan sampai ketiga orang tersebut berada jauh di belakang Airin. Menyadari sesuatu yang tak lagi ia punya, Airin tersenyum miris.

"Papa...," lirihnya.

*****

"Gimana hari ini, Sayang? Lancar seperti biasa?" Hernita memandang ke arah putri tunggalnya yang masih sibuk dengan buku menu di kedua tangannya.

"Lancar kok, Ma." kepala Airin mendongak sebentar untuk menyunggingkan senyum ke arah Mamanya sebelum kembali berkutat dengan buku menu. Membolak-balik lembaran buku tebal bergambar banyak jenis makanan. Berusaha memilih, menu apa yang kira-kira bisa menggugah rasa laparnya.

Hernita hanya mengangguk singkat untuk merespon jawaban Airin.

Setelah menemukan apa yang dicarinya, Airin menutup buku menu kemudian meletakkannya dengan perlahan di atas meja. Sebelah tangannya terangkat. Mengarah ke sudut dimana ada beberapa pelayan sedang berdiri di sana. Ada senyum sopan terlukis di bibir Airin saat melihat ada pelayan yang tersenyum untuk merespon panggilannya.

"Mashed potato plus sirloin steak satu, cookies and cream satu ya, Mbak." Airin menyebutkan pesanannya kepada seorang pelayan wanita yang bertugas untuk melayani mejanya.

"Mama mau pesen apa?"

Hernita tersenyum manis, "Seperti biasa, Sayang. "

Berbeda dengan Hernita yang tersenyum manis, Airin malah tersenyum miris. "Sop buntut satu, sama earl grey tea satu, Mbak."

Let Me be YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang