Part 13-Pilihan

7.3K 644 84
                                    


Dengan lunglai, Airin merebahkan tubuhnya di ranjang. Tidak ada siapapun di kamar penginapannya. Sesekali ia menghela napas panjang. Bimbang. Airin sedang dilanda kebimbangan akut. Pandangannya jauh menerawang. Memikirkan bagaimana bisa Billy yang setiap hari selalu menggodanya, adalah orang yang sama dengan si pengirim surat beramplop biru.

Di saat ia sedang berada pada fase dimana ia selalu menunggu-nunggu amplop biru tersebut, ia malah dihadapkan pada jawaban dari pertanyaannya selama ini. Kejutan! Jawaban atas kata tanya siapa yang bergaung dalam kepalanya, adalah Billy. Ya, Billy yang selalu berhasil membuat hidupnya kembali tak seimbang dan jauh dari ketenangan.

Mendengar pintu kamarnya berderit, Airin mendapati Editha yang memasuki kamar dengan pipinya yang masih bersemu merah.

"Hai, lovebirds," ledeknya.

Mendengar nada menggoda dari Airin, Editha hanya terkikik geli. Kedua kakinya melangkah mendekati ranjang. Kemudian duduk di samping Airin yang sedang berbaring.

Melihat wajah muram Airin, kebahagiaan Editha seolah menguap. Ia memandang Airin dengan sedih. Eskpresi yang Airin tampakkan saat ini adalah ekspresi yang membuat Editha trauma. Ekspresi yang dulu ia lihat pertama kali sebelum ia kehilangan Airin yang dulu. Menyadari itu, Editha menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, ini tidak boleh terjadi untuk kedua kalinya. Airin yang sekarang bahkan sudah membuatnya tersiksa akan rasa kehilangan.

"Gimana?" Editha bertanya dengan ragu. Meski sudah tahu jawabannya dari ekspresi Airin yang muram, tapi Editha terus merapal dalam hati, berharap bahwa semuanya baik-baik saja.

Belum sempat bernapas lega, harapan Editha yang baru saja dipupuk, mendadak musnah saat melihat Airin menggelengkan kepalanya pelan.

"Gue udah matahin hati seseorang, Dith." Airin berujar dengan muram. Kedua matanya terpejam saat terbayang sorot terluka yang terpancar dari kedua mata Billy. Setelah menghela napas panjang, Airin memutuskan untuk menceritakan semua pembicaraannya dengan Billy di pinggir pantai tadi. Surat-surat beramplop biru, bagaimana pengakuan Billy mengenai surat-surat itu dan bagaimana kata-kata Billy yang seolah menyiratkan kepedihan yang teramat sangat.

Mendengar penuturan lengkap Airin, Editha hanya diam tak bergeming. Ia hanya mampu mengubah-ubah ekspresinya bergantian. Kaget, muram, bahkan masih merasa kesal karena Airin tak peka dengan perasaan Billy saat di atas kapal tadi.

"Gue gak nyangka, Billy perhatian sama lo sampai kayak gini, Rin." Editha berujar setelah tuntas membaca surat ketiga Billy yang diperuntukkan pada Airin.

Airin tersenyum muram, "Gue juga."

"Gue harus apa, Dith?"

Merasakan kegelisahan Airin, Editha hanya mampu menghela napas panjangnya. Jujur, ia merasa bahagia dengan hadirnya Billy semenjak di hari pertama Billy menjadi siswa baru di kelasnya. Ia bisa melihat perubahan signifikan dari ekspresi Airin yang sudah lama tak ia lihat lagi.

Tapi di satu sisi, ia juga merasa bahagia karena perlahan-lahan, Airin mau menyambut Dipta dengan suka hati, tanpa perlawanan. Setidaknya ia tahu, bahwa Airin sedang berusaha untuk membuka hatinya.

Sebelah tangan Editha bergerak memainkan ujung rambut Airin yang masih berbaring di sebelahnya.

"Gue tahu, dua-duanya punya rasa yang sama buat lo, Rin. Tapi kalau lo minta gue kasih saran buat bantu lo milih di antara keduanya, gue gak tahu harus saranin siapa."

Editha menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, seolah ikut merasakan kebimbangan yang melingkupi Airin.

"Yang gak gue tahu di sini, manakah di antara mereka yang punya rasa paling besar buat lo. Jika di hadapkan pada satu persimpangan di depan, lo cuma harus pilih mana jalan yang benar kan?"

Let Me be YoursWhere stories live. Discover now