Part 5-Jangan Begini, Ai

7.2K 749 82
                                    

"Lo kasih nomer gue ke Billy ya?"

Menyadari tatapan mengintimidasi dari Airin, Editha hanya menggaruk-garuk pelipisnya yang tak gatal. Bingung harus menjelaskan seperti apa.

Telunjuk Airin mengetuk-ngetuk permukaan meja, menunggu Editha memberikan respon. Sebelah alisnya naik, sembari memandang tajam ke arah Editha.

"Sumpah, gue gak maksud kasih nomer lo ke Billy. Ampun, Rin," Editha menangkupkan kedua tangannya tepat di depan dahi. Kedua matanya memejam.

Telunjuk Airin terus mengetuk-ngetuk, menunggu penjelasan selanjutnya.

"Tadi Billy pinjem ponsel gue katanya mau scan barcode pin. Pas udah dibalikin, gue baru sadar kalo dia kirim nomer lo ke ponselnya dia. Maafin, please," Editha mencebikkan bibirnya.

Airin menghela napas panjang. Ia mengedikkan bahunya, "Yaudah, mau gue ngomel-ngomel juga, nomer gue gak bakal tiba-tiba ilang dari ponsel Billy."

Airin menepuk kedua telapak tangannya satu kali, "Yeay, selamat datang hari bahagia dengan gangguan Billy," Airin berkata dengan ekspresi datar, sedatar-datarnya.

Editha menghela napas prihatin. Tangannya bergerak menangkup sebelah tangan Airin di atas meja.

"Rin,"

"Hm?"

"Dipta maupun Billy punya cara mereka sendiri. Janji sama gue, lo kudu belajar buat lihat kedua cara itu dengan mata hati."

Airin hanya diam tak bergeming. Ia paham bahwa sahabatnya memang benar-benar memerhatikannya. Tapi Airin merasa waktunya belum tepat. Belum.

*****

Billy melangkah dengan yakin menuju satu meja di kantin dekat kulkas minuman dimana ada satu siswi dengan potongan rambut sebahu bersisian dengan seorang siswa dan satu siswi berambut hitam ponytail di depan mereka. Setelah sampai di tujuannya, Billy mendudukkan tubuhnya dengan semangat di sebelah Airin. Sebelah tangannya menyentuh sejumput rambut Airin yang terkuncir rapi, meletakkannya tepat di ujung hidung sembari menghirup dalam-dalam harum lemon yang menguar dari sana.

"Hai, cantik."

Airin berdecak kesal menerima perlakuan aneh Billy. Tangannya bergerak memukul bahu Billy, bermaksud menjauhkan tangan Billy yang mulai memilin-milin kunciran rambutnya. Tanpa perlawanan, Billy menuruti Airin. Menjauhkan tangannya dari rambut hitam Airin.

Kelima jari Billy terulur ke depan, "Hai Dipta, gue Billy. Semoga kita bisa bersaing secara sehat ya," senyum lebar tersungging di bibir Billy.

Dipta menyambut uluran tangan Billy tanpa respon apapun. Seolah tahu persaingan apa yang dimaksudkan oleh Billy.

Di sebelah Dipta, Editha hanya mengerjap-ngerjap merasa terkesima. Gila, Billy bener-bener gentle. Ini sih namanya perang terbuka.

Merasa tujuan utamanya terselesaikan, Billy segera bangkit dari duduknya, melangkah menjauh dari meja Airin. Baru beberapa langkah, seolah teringat sesuatu, Billy berbalik cepat. Berdiri di belakang Airin. Melepas ikatan rambut Airin dengan cepat.

"Lebih cantik begini," Billy berbisik tepat di sebelah telinga Airin. Sebelum Airin sempat merespon, Billy segera melangkah cepat untuk menghindar.

Lagi-lagi melihat adegan Airin-Billy di hadapannya, Editha menahan kikikan geli yang hampir terlepas dari bibirnya. Diam-diam, ia menghitung dalam hati. Menunggu respon Airin.

Satu

Dua

Ti-

"BILLY!!!!" Teriakan Airin menggelegar di penjuru kantin. Keributan yang sedaritadi terdengar, mendadak hilang. Banyak pasang mata yang memandang Airin penasaran.

Seperti biasa, Billy hanya meresponnya dengan tawa.

"I love you, Airin Nefili," Billy berteriak di tengah tawanya yang kian menjauh.

Diam-diam, Dipta menggeram pelan saat memerhatikan kedua pipi dan telinga Airin yang memerah semenjak Billy berbisik pada Airin. Sebuah bisikan yang tak sempat ia curi dengar.

*****

Airin mengeluarkan semua isi laci bangkunya dengan kesal. Buku astronomi yang sering ia baca, kotak pensil, buku kosong, buku paket pelajaran untuk hari ini, semua berceceran di atas meja. Ia berharap menemukan seplastik karet rambut warna-warni yang selalu diletakkan di dalam laci untuk cadangan.

"Karet gue, Dith," Airin mengeluh sembari mencebikkan bibirnya lucu.

"Minta balik lah, ke Billy."

"Cih. Ogah."

Airin kembali menundukkan kepalanya. Berharap menemukan yang ia cari di bagian pojokan dalam laci bangkunya. Tapi nihil. Airin kesal, merasa gerah dengan hawa yang sedang panas-panasnya, tapi tak bisa menguncir rambutnya untuk saat ini.

Mendengar siulan dari arah belakang, Airin menghentikan pergerakan tangannya yang masih mengaduk-aduk isi laci. Ia mendengus kesal saat melihat Billy sedang memainkan satu plastik yang sangat ia kenali. Melempar-lemparnya dengan satu tangan sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Ada senyum jahil di sana. Rupanya Billy benar-benar berniat untuk menggoda Airin.

Kesal, Airin sudah tak peduli dengan rasa gerah yang melingkupinya. Ia tak mau menghampiri Billy hanya karena kuncir rambut.

Menyadari Airin yang tak lagi kebingungan, Editha bertanya dengan pelan, "Ketemu kuncirnya?"

"Bener-bener hidup gue berubah jadi kacau semenjak ada Billy," keluh Airin lirih.

*****

Billy menepuk dahinya pelan setelah tak menemukan ponselnya di kantung tas maupun saku celana dan kemejanya. Bergegas, Billy berlari ke arah kelas. Biasanya ada Kito yang mengingatkan agar tak ada barang yang tertinggal. Tapi hari ini Kito sedang absen. Jadi wajar saja Billy bisa lupa kalau ponselnya tertinggal di dalam kelas.

Langkah Billy terhenti di depan pintu saat menyadari ada seorang gadis berdiri membelakanginya. Ia tersenyum tipis. Tahu pasti kalau gadis itu adalah Airin. Sebelah lengan Billy bersandar pada pintu. Ia menutupi bibirnya yang menahan kikikan geli saat melihat Airin sesekali menyelipkan rambut yang menghalangi pandangannya saat ia sedang menyapu sesuai jadwal piketnya hari ini. Rupanya gadis itu benar-benar kesusahan saat menyapu dengan rambut tergerai begitu. Bahkan dari tempatnya berdiri, Billy bisa mendengar decakan-decakan kesal yang sangat ia kenali. Dengan kikikan tanpa suaranya, Billy merogoh kantung kecil di tas bagian depan yang sedang ia sandang, mencari sesuatu di sana. Ia menarik salah satu karet rambut dari plastik yang menyembul dari kantung tasnya.

Berusaha melangkah tanpa menimbulkan suara, Billy bergerak mendekati Airin yang entah kenapa berhenti mengayunkan sapunya, dengan kepala yang menunduk dalam. Mungkin Airin lelah menyapu sendirian, karena teman piket Airin adalah Kito.

Dengan lembut, Billy bergerak merapikan rambut Airin, kemudian menguncirnya dengan hati-hati.

"Maaf ya, gue malah bikin lo kesusahan begini pas piket," Billy meminta maaf dengan tulus, kemudian tersenyum puas melihat hasil kuncirannya yang rapi.

Billy mengernyit bingung saat Airin hanya diam tak merespon, bukannya berteriak kesal seperti biasa. Perlahan, dengan posisi yang membelakangi Billy, Billy bisa melihat bahu Airin yang bergetar pelan.

Merasa khawatir, Billy melangkah agar bisa berhadapan dengan Airin. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya. Memandang Airin yang menunduk dalam-dalam. Bahkan Billy bisa melihat pipi Airin yang basah. Sebelah tangan Airin menggengam erat-erat ponselnya sampai tangannya terlihat gemetar.

Perlahan, Billy menggenggam tangan Airin yang gemetar, "Airin, serius gue minta maaf. Lo kesel banget sama gue, sampai nangis begini?"

Billy semakin bingung saat Airin hanya diam. Bahkan isakan dari bibir Airin semakin terdengar jelas. Airmatanya semakin deras meluncur bebas ke permukaan lantai.

Ragu, Billy bergerak maju. Merengkuh tubuh mungil Airin ke dalam pelukannya. "Hei, udah nangisnya. Jangan begini. Gue lebih suka denger lo teriak-teriak daripada nangis begini, Ai."

Jemari Bily bergerak mengelus puncak kepala Airin sementara bahu gadis itu semakin bergetar hebat.

"Papa....." lirih Airin di tengah isakannya.

*****

Let Me be YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang