Part 6- Langit Biru(2)

6.8K 701 66
                                    

Airin membuka kedua matanya perlahan. Sebelah tangannya mengusap-usap pelipisnya. Rasanya ada kesakitan yang berpusat di situ. Tapi sayang, sakit di sana tak bisa mengalahkan aliran sakit yang terasa seiring detak jantungnya yang menghentak. Perlahan, Airin bangun dari tidurnya. Menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia tahu, hari sudah pagi. Bahkan cahaya matahari sudah menelusup sedikit melalui jendela kamarnya yang tertutup korden tebal berwarna putih.

Airin menghela napas panjang. Kedua tangannya mengusap-usap kasar wajahnya yang benar-benar terlihat kusut. Di telapak tangannya, ia bisa merasakan kedua kelopak matanya yang membengkak. Yang ia ingat, kemarin ia menangis hebat dan tanpa malunya, ia menangis di pelukan Billy yang akhir-akhir ini berperan sebagai mimpi buruknya. Megingatnya pun, Airin hanya menghela napas panjang. Kenapa harus Billy yang datang saat ia berada dalam kondisi seperti itu. Daripada dengan Billy, ia lebih memilih untuk menangis sendiri. Tapi saat itu Billy dengan sukarela datang dengan damai kemudian memeluknya. Bukankah Tuhan memang selalu memberikan apa yang kita butuhkan? Dan mungkin Tuhan tahu, kalau Airin saat itu butuh satu pelukan.

Airin menjulurkan sebelah tangannya. Meraih sebuah kertas dan ponselnya sekaligus yang berada di atas nakas.

Pagi, Sayang. Mama tahu pagi ini kamu pasti bangun dengan pusing yang teramat sangat seperti biasa. Mama sudah ijinkan kamu buat gak sekolah hari ini. Jangan lupa sarapan. Have a nice day.

P.S: kalau kamu butuh Mama, Mama selalu ada.

Airin tersenyum sendu membaca beberapa baris tulisan yang sangat ia kenali. Ya, Mamanya selalu mengerti Airin. Semalam memang Airin menangis hebat. Dan selama menangis itulah, Mama memeluk Airin. Mengusap lembut dan terus menciumi puncak kepala Airin dengan sayang. Airin tahu, Mama pasti merasa kesemutan saat memeluknya dengan posisi berbaring tanpa bergerak sedikitpun. Tapi Mama tak sedikitpun mengeluh. Bahkan mendengar tangisannya yang pilu, Mama pun tak terpengaruh.

Dari sepucuk surat, pandangan Airin beralih pada ponselnya. Sudah banyak notifikasi pesan dan panggilan tertera di layar. Banyak pesan dari Billy, beberapa dari Editha dan Langit yang bertanya kenapa hari ini tak melihat Airin di sekolah.

Dan ada satu di antara banyak pesan yang berhasil membuatnya mendengus kesal

From: Billy A D

Kalo dengan lo nangis bisa buat lo sukarela terima pelukan gue, gue mau dong buat bikin lo nangis terus, Cantik.

P.S: jangan lupa kompres mata

*****

Perlahan, Airin membuka pintu kaca yang ada di hadapannya. Mengintip ke dalam, ia melihat seorang wanita berambut pendek tak mencapai sebahu dan ada kacamata bertengger di hidung mancungnya. Dari tempatnya berdiri, Airin bisa melihat wanita tersebut duduk termenung di kursi kebesarannya di belakang meja, termenung memandang hiruk pikuk jalanan di luar dari kaca besar di ruangan kantor butiknya.

Airin melangkah pelan, berusaha tak menimbulkan suara dari gesekan sol sepatunya yang beradu dengan lantai marmer di ruangan yang kanan kirinya di hiasi dengan banyak baju cantik yang tergantung rapi.

Semakin mendekat ke arah wanita itu, Airin merasakan tenggorokannya yang semakin sakit. Seolah ada yang menyakitinya dari dalam. Airin sangat paham sakit seperti apa yang berpusat di tenggorokannya saat ini.

Pelan, Airin melingkarkan kedua lengannya di bahu wanita yang masih memandang jauh ke arah objek yang ada di luar. Airin memeluknya dengan hangat.

“Ma….,” lirih Airin. Berusaha mengendalikan suaranya yang bergetar.

Mendengar suara putrinya yang begitu dekat, Hernita berjengit kaget. Dengan cepat, ia mengendalikan kekagetannya. Berusaha bersikap biasa saja. Ia menelengkan kepalanya sedikit ke arah Airin yang sedang menyandarkan dagu ke bahunya. Hernita tersenyum. Mengelus punggung tangan Airin yang melingkar tepat di lehernya.

Feel better, hm?”

Airin menggelengkan kepalanya. Mendengar suara lembut Mama, entah kenapa kedua matanya kembali panas. Dua tetes air mata lolos bersamaan dari masing-masing kelopak matanya. Ia kembali menangis. Dadanya sesak.

“Sudah, Sayang. Jangan sedih lagi. Semua yang sudah hilang, gak akan kembali lagi. Termasuk Papa kamu. Dia gak akan pernah kembali.”

Airin kemudian mengangguk. Kepalanya ia tenggelamkan dalam-dalam ke leher sang Mama. Ia masih terisak. Dengan terbata, Airin masih berusaha untuk berbicara di antara isak tangisnya.
“Airin sedih, Ma. Tapi Airin tahu, Mama pasti lebih sedih.”

Mendengar isak pilu dari putrinya, Hernita semakin tak tega. Sakit yang sedari tadi ia tahan, akhirnya mendesak keluar. Ia tahu, putrinya sangat dekat dengan suaminya. Dan ia juga tahu, seberapa besar kesedihan yang harus dipikul Airin saat tak bisa lagi merasakan sesosok Ayah seperti ia kecil dulu.

Airin menghirup napas dalam-dalam. Berusaha mengendalikan rasa sakit yang makin terasa sakit. Ia tahu, Mama akan merasa sakit yang teramat sangat jika ia masih tak bisa mengendalikan diri seperti ini. Suatu saat, ia tak akan lagi menangis sedih. Suatu saat, semua yang membuatnya sakit akan hilang perlahan. Ada banyak kebahagiaan di depan.

“Ma, semua sudah berubah, Ma. Kehidupan kita gak akan sama lagi. Airin rasa, Airin pasti terasa cukup meski cuma ada Mama yang temenin Airin. Dengan satu peluk aja dari Mama, rasanya semua kepingan yang hilang dari kehidupan Airin, bisa terlengkapi dengan sempurna,” Airin bergerak mengusap airmata Mama yang turun melalui kedua pipi putihnya yang mulai terlihat berkerut, “Airin cuma mau Mama.” Airin mengecup lembut sebelah pipi Mama.

Hernita tersenyum sendu, “Relakan Papamu, Sayang. Dia tak akan kembali pada kita yang dulu ia sebut rumah.”

Airin mengangguk pelan. Di pikirannya masih terngiang alasan yang membuat ia menangis kemarin siang. Satu pesan dari Papa setelah sekian lama. Satu pesan yang rasanya menghantam tepat di dadanya.

Airin, ajak Mamamu untuk hadir di acara Aqiqah putri Papa dan istri Papa. Adik tiri kamu, Airin.

Rasa sakit yang ia pernah rasakan, kemudian kembali lagi.

Sekarang, hanya Mama yang akan jadi tempatnya pulang.

*****

Dahi Airin mengernyit saat melihat ada amplop biru menyembul sedikit di bawah pintu apartemennya. Ia baru saja kembali dari butik Mamanya setelah melewatkan makan siang berdua.
Setelah masuk ke dalam dan memastikan pintu apartemennya terkunci dengan baik, Airin membungkukkan tubuhnya untuk mengambil amplop biru yang persis dengan surat pertama dari seseorang yang tak ia ketahui pengirimnya sampai sekarang. Dan rupanya, saat Airin pergi tadi, si pengirim memasukkan surat melalui celah bagian bawah pintu.

Seperti waktu itu, Airin membuka suratnya dengan hati-hati. Membacanya di balkon, tersinari dengan cahaya matahari. Dan di atas kertas putih itu, Airin menemukan goresan tulisan yang sama dengan surat yang pertama.

Hai, awanku

Berarak-lah dengan langit, kapanpun dan kemanapun lo mau.

Coba lo lihat ke atas.

Awan gak akan pernah kesepian, kan? Akan selalu ada langit yang menerima apapun adanya awan. Kelam ataupun terang.

Boleh gue jadi langit seorang Nefili?

Senyumlah, Airin.

Langit pasti akan bahagia melihat awan yang selalu kelam, kini berubah menjadi terang.

-Yang mencintaimu, Langit Biru-
*****

Let Me be YoursDonde viven las historias. Descúbrelo ahora