Chapter 1

70 0 0
                                    

—Liesel Iskan—

Suasana hening. Aku berharap steak keju di depanku segera habis, namun sayangnya tidak mungkin—aku tidak bisa memakannya dengan cepat. Aku benci keju. Rasanya aneh dan asin. Aku lebih suka makanan manis—seperti cokelat. Keju dan cokelat tidak akan bisa disatukan—bagiku. Dan sialnya, keju dengan daging lebih membuat aku ingin muntah. Sayangnya, di sini tidak ada satupun yang tahu aku benci keju. Aku juga malas berkomentar. Tunggu, seharusnya memang bukan aku yang berkomentar. Tapi orang-orang ini. Tidakkah mereka berbasa-basi padaku karena aku baru pulang dari Paris?

Atau mereka sangat benci aku di sini sehingga tak ada satupun basa-basi yang terucap?

Yah, aku juga benci mereka semua.

Terutama seorang laki-laki paruh baya yang kini duduk di ujung meja—yang kupanggil Ayah.

Sebuah dering hape dari perempuan di depanku memecah keheningan. Tapi hanya sebatas itu. Perempuan itu membuka hape, sedikit tersenyum, kemudian menutup hape dan melanjutkan makan dengan wajah bosan.

Aku menunduk—tunggu, dari tadi aku memang menunduk.

"Bagaimana dengan pianomu di sana, Liesel?" tanya wanita paruh baya yang merupakan istri ayahku dan Mama dari perempuan yang tadi membuka hape.

"Aku sudah lulus." jawabku singkat dan padat. Aku tahu wanita itu mengharapkan jawaban yang agak panjang, seperti bagaimana keputusanku soal kegiatan pianoku—apakah aku akan lanjut kompetisi atau tidak. Well, aku juga bingung sebenarnya. Yang jelas aku butuh waktu—setidaknya satu tahun untuk memikirkan apakah aku akan berhenti menjadi pianis atau tidak.

"Apa Samuel sudah mengatur sekolahmu di sini? Kepindahannya?"

Aku ingin tertawa. Seharusnya dia yang melakukannya, bukan Om Samuel. Bagaimana pun aku punya ikatan darah dengan orang yang kupanggil Ayah, bukannya Om Samuel. Untungnya, Om Samuel jauh lebih baik daripada ayah kandungku sendiri. Ayah kandungku hampir bisa dibilang menelantarkanku selama 18 tahun hidupku bahkan tak pernah sekalipun menengokku saat selama 5 tahun berada di Paris.

Mungkin dia justru lega saat aku pergi. Dan sekarang dia sesak nafas. Keberadaanku mungkin bisa menghancurkan hidupnya.

"Sudah—"

Perempuan di depanku—Riana, kami seumuran—mendongak ke arahku. Matanya menyipit. "Jangan bilang kamu pindah ke sekolahku."

"Entah."

Perempuan itu menghela nafas panjang. "Aku tahu sekolah dengan guru piano yang bagus—selain sekolahku—"

Aku menatapnya tidak percaya. "Kamu pikir aku setuju sekolah yang sama dengan kamu?"

"Tidak, aku tidak bilang aku tidak suka kamu sekolah yang sama dengan aku. Hanya saja aku bilang ada sekolah lain dengan guru piano yang bagus—tingkat internasional. Bukankah itu yang kamu inginkan?"

"Tidak."

"Kenapa tidak? Kamu adalah seorang pianis—sekolah dengan—"

"Aku berhenti."

"Apa?!" Tante Erika terkejut. "Sangat disayangkan—"

"Dan aku akan tinggal sendiri."

"Apa maksud kamu tinggal sendiri?" Akhirnya Ayahku bersuara. Aku tidak repot-repot memandangnya meskipun saat ini dia memandangku dengan kening berkerut. Melihat wajahnya hanya mengingatkanku pada wajahku sendiri. Aku benci fakta bahwa hampir sebagian komponen di wajahku mirip dengannya. Satu-satunya yang berbeda hanyalah mataku—mirip Bunda—berwarna cokelat terang. Aku sangat ingin punya garis wajah seperti Bunda yang bulat dan manis, bukannya lonjong seperti ini.

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now