Chapter 5

14 0 0
                                    

—Galan W. Aldrich—

Tentu saja tidak susah buat Galih mendapatkan informasi soal anak baru itu. Apalagi kalau dia membawa-bawa nama aku. Siapa sih di sekolah ini yang berani menolak permintaan aku? Salah satu keuntungan mempunyai keluarga pemilik yayasan di sekolah ini. Aku tidak pernah merasa seberuntung ini sebelumnya.

Namanya Liesel Iskan. Dia masuk ke kelas 12-2. Pindahan dari Paris.

Well, informasi singkat itu sudah membuatku teramat senang. Begitu istirahat tiba, aku—tentu saja Galih dan Max, mereka sengaja kuajak agar perempuan itu tidak terlalu tahu motifku sebenarnya—mendatangi kelasnya. Seluruh anak di kelas itu memandangku kebingungan seolah aku adalah alien. Dan aku tidak pernah merasa seperti seorang alien sampai hari ini. Bahkan Galih di sampingku berkali-kali berbisik kalau aku nggak waras.

Aku mengedarkan pandang sampai akhirnya tatapanku tertumbuk pada seorang perempuan di bangku pojok belakang. Perempuan itu terlihat fokus mencatat menggunakan tabletnya. Apa aku bilang, aku tidak berhalusinasi.

Aku meminta salah satu anak memanggil anak baru itu dan aku menunggu di luar pintu—menunggunya. Hanya itu satu-satunya harga diriku yang tersisa. Bahwa yang kulakukan ini hanyalah tugas. Galih dan Max menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun mata mereka langsung berkilat saat cewek itu keluar. Sial, mereka tidak boleh tertarik dengan Liesel.

Perempuan itu terlihat terkejut melihatku.

"Anak baru?" tanyaku datar.

Perempuan itu mengangguk. "We have a responsibility to introduce this school to you as OSIS."

Max menatapku dengan pandangan—pantas lo tertarik. Aku tersenyum manis. Sial, perempuan di depanku terlihat salah tingkah. Aku benar-benar penasaran seperti apa suaranya.

"Kamu Ketua OSIS?" Kalimat pertama yang dia ucapkan padaku terdengar sangat lembut. Sial, suaranya saja bahkan membuatku terpaku.

Aku berusaha mengendalikan diri. Aku tidak pernah merasa seperti ini sampai detik ini. Well, aku belum pernah merasakan ketertarikan apapun yang kupunya pada perempuan ini.

"Iya, dia ketua OSIS." Galih menjawab untukku. Aku harus berterima kasih padanya. "OSIS punya kewajiban mengenalkan fasilitas sekolah pada setiap anak baru." Katanya menekankan kata setiap. "Pak Darta—kepala sekolah jika lo belum ingat—memberitahu kami soal lo."

Perempuan itu terlihat tidak bisa menolak, sampai akhirnya ia berkata, "Wait a second, aku akan menyimpan catatanku dulu."

Ketika akhirnya perempuan itu masuk, Max langsung menyenggolku. "Gila. Cantik bener. Pantesan lo naksir."

Aku menatapnya dengan penuh analisis. Galih yang tahu arti tatapanku langsung berkata, "Gila lo. Jangan bilang dalam pikiran lo, lo mengira kita akan merebutnya dari elo. Udah nggak waras—"

Max terkekeh. "Gimana kalau kita merebutnya, Lih? Secara tuh anak kan sama-sama nggak tahu siapa kita, siapa tahu dia lebih suka sama elo ataupun gue—"

Aku menoyor kepala Max dan Galih dengan penuh tenaga. Membayangkan Liesel lebih menyukai mereka membuatku panas. Sial, Liesel bahkan bukan siapa-siapa aku. Hmmh, belum.

"Aku udah selesai." Perempuan itu kembali datang dan membuatku memasang wajah datar lagi.

"Oh ya, Max, Lih. Tolong handle meeting dengan PJ acara hari ini ya." kataku berbohong karena ingin mereka pergi. Meeting dengan anak acara sebenarnya nanti sore. Hanya saja aku benar-benar tak ingin Max dan Galih mengekoriku sementara aku ingin mengenal lebih dekat perempuan ini.

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now