Chapter 13

13 0 0
                                    

Liesel Iskan—

Aku terlalu sibuk berlatih piano selama berhari-hari ini. Karena aku mempunyai ambisi, aku memilih dengan hati-hati musik yang akan aku mainkan di depan ayahku. Pastinya sesuatu yang susah, rumit, dan terdengar hebat. Bu Faza bilang kalau musik yang akan aku mainkan terlalu rumit untuk acara kepresidenan. Semua orang yang di sana tentu saja akan terkesan tetapi juga bingung karena nggak banyak yang tahu soal piano. Tapi aku tak peduli. Aku hanya peduli bagaimana membuat ayahku terkesan. Apa dia akan terkesan? Apa dia bahkan tahu soal piano?

Aku tak yakin.

Tapi Bunda pernah bilang kalau ayah tahu sedikit soal piano saat baru pertama kali mereka berkenalan. Mungkin dia akan tahu kalau permainan piano yang aku mainkan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan tak sembarang orang bisa memainkannya.

Dia akan menyesal membuang anak sehebat aku, kan?

Aku selesai berlatih saat sore mulai merayap. Selama ini aku tidak peduli dengan Riana, tapi hari ini aku melihatnya keluar dari ruang ekskul desain. Seorang laki-laki berjalan di sampingnya—membawakan tasnya dan mereka berjalan sambil berangkulan. Laki-laki itu begitu tinggi, sehingga sekalipun Riana salah satu perempuan yang tinggi, dia tidak mencapai bahunya. Mereka tertawa-tawa dan aku memastikan langkahku begitu pelan di belakang sehingga mereka tidak menyadari kehadiranku.

Siapa nama pacarnya? Sepertinya aku pernah mendengar seseorang menyebutkan nama pacar Riana. Alexander? Teman sekelasku mengatakan kalau mereka sudah pacaran sejak kelas satu—termasuk salah satu couple goals di sekolah ini.

Aku berhenti di teras dekat taman saat kulihat Riana dan laki-laki itu berpisah. Mereka berpelukan sebentar sebelum akhirnya laki-laki itu mengembalikan tasnya. Riana berjalan dengan cepat meninggalkan pacarnya dan menuju sebuah mobil BMW hitam di depan gerbang. Aku mengenali mobil itu—mobil ayah.

...

...

Jadi ayah sering menjemput Riana?

...

...

Menjadi Riana pasti sangat menyenangkan.

...

Sebuah tepukan di bahu membuatku tersadar dari rasa sakit di dadaku. Aku menatap sekilas mobil BMW yang belum juga pergi. Kemudian aku ganti menatap orang yang menepuk pundakku. Aku berusaha tersenyum. Tapi Galan mengamati sekilas titik yang aku pandang sebelumnya.

Aku menjadi gugup.

Bagaimana kalau Galan tahu?

Ekspresi Galan benar-benar tak bisa dibaca. Mungkin benar apa kata Daisy, Galan seperti 'air tenang menghanyutkan'? Dia terlihat seperti orang yang pandai membaca situasi. Bagaimana kalau dia juga pandai membaca isi hatiku?

"Mau pulang bareng aku?" tanyanya kemudian setelah akhirnya menatap wajahku.

Dengan cepat aku menggeleng. "Aku akan pulang sendiri."

Galan tersenyum tipis. "Aku sedikit sibuk hari ini dan besok. Kamu jadi datang ke acara kan besok?"

Aku mengangguk.

"Maaf aku tidak bisa menjemputmu besok—"

"Tidak apa-apa, Galan. Kamu ketua acara, tentu saja harus sibuk."

"Sebenarnya aku bisa melimpahkan ke orang lain, tapi untuk hal-hal penting aku ragu melakukannya. Aku hanya ingin membuat festival terbaik selama kepemimpinanku."

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now