Chapter 3

20 0 0
                                    

—Galan Willian Aldrich—

Riana menarik pergelangan tanganku begitu aku selesai berbicara dengan orang tuanya. Tapi pembicaraan itu tidak seperti pembicaraan, aku bahkan lupa apa yang mereka tanyakan, karena aku seperti zombi kebingungan. Ingin rasanya aku langsung menanyakan nama perempuan itu, tapi dia seperti tidak tertarik padaku. Kedua orang tua Riana juga tidak berniat mengenalkannya padaku. Sial.

"Sial, Ga." maki Riana. "Lo tahu kan hari ini gue sorotan utamanya. Lo sengaja ngelakuin ini ke gue ya?"

Mataku menyipit. "Cewek di samping nyokap lo tadi... siapa namanya?"

Riana kebingungan. "Hah?" Itulah responnya.

"Cewek yang pakai gaun hitam."

"Liesel?"

Oh namanya Liesel. Nama yang bagus. Aku melirik ke arahnya. Dia sedang berbicara dengan pria paruh baya yang kuduga ayahnya. Riana menatapku penuh selidik. "Jangan bilang lo naksir dia—"

"Dia kerabat lo?"

"Siapapun dia itu bukan urusan lo." ketus Riana defensif. "Gue benci banget sama lo tahu. Nyesel gue ngasih undangan ke elo."

Aku tertawa kecil. "Easy, Ri. You still the only star tonight."

"Nggak. Sejak lo datang, beberapa anak jadi ngomongin soal lo—bukan lagi gue."

"Sorry, gue berusaha meredupkan pesona gue. Tapi sepertinya nggak bisa—"

Riana berlagak pengen muntah. "Gue kasih tahu, ya. Sekalipun lo ganteng—menurut lo—dan konglomerat, Liesel nggak akan suka sama lo."

Keningku mengerut. "Dia sudah punya pacar?"

"Bukan urusan lo!" Setelah itu Riana meninggalkanku sendirian. Perempuan tadi menghilang lagi dan aku mendesah. Well, setidaknya aku tahu namanya.

"Lo ngapain tiba-tiba maju ke depan?" Galih menepuk pundakku.

Aku tersadar.

"Lo kayak calon menantu yang memperkenalkan diri di depan calon mertua. Jangan-jangan lo naksir sama Riana, ya? Dia sudah punya pacar—"

Aku memukul kepala Max yang mulai melantur. "Nggak mungkin."

"Terus?"

"Lo lihat cewek pakai baju hitam tadi?"

"Hah?"

"Yang berdiri di sebelah nyokapnya Riana."

"Gue nggak ngelihat siapa-siapa. Hantu kali."

Aku melongo. Nggak mungkin. Riana tahu siapa yang aku maksud dan namanya Liesel. Max dan Galih saja yang tidak memperhatikan. Aku heran kenapa perempuan secantik itu tidak diperhatikan siapapun. Apa karena dia memakai baju hitam?

"Memangnya kenapa sama cewek itu?"

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa. Gue hanya penasaran."

Kedua temanku melongo. "No way!"

"Apa?"

"Akhirnya seorang Galan penasaran sama seorang perempuan. Seperti apa memangnya? Cantik? Seksi? Kayak Kendal Jenner? Gigi Hadid? Atau Selena Gomez?"

Aku memutar bola mata.

"Lo naksir sama dia? Kita bakal cariin orang itu buat lo. Kita sampai sempet ngira lo gay tahu, Ga. Lagian lo mainnya cuma sama kita—kita bahkan ngira lo naksir salah satu dari kita—"

Aku memukul lagi kepala Max yang mulai bicara melantur. Max meringis sedangkan aku menatapnya tajam, kalau bisa menyayat mulutnya.

*****

TRULY DEEPLY (REVISED)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ