Chapter 2

26 0 0
                                    

—Galan William Aldrich—

Aku mencapai ruang makan yang hampir dipenuhi segala macam makanan. Mulai dari makanan Western hingga Timur Tengah. Yang paling menarik perhatianku hanyalah pizza berukuran besar yang sepertinya salah tempat. Tapi hanya pizza itulah pesananku pada chef di rumahku. Dia chef paling handal yang pernah aku tahu. Sanggup menyajikan semua makanan di dunia dengan rasa yang tak kalah enak. Aku penasaran darimana Mamaku menghire-nya. Aku pernah bertanya katanya dia kelahiran Vietnam, tapi melihat wajahnya dia seperti orang Turki. Dan dia sudah sangat lama tinggal di rumahku. Jika ada acara besar—seperti meeting dengan presiden dan orang penting lainnya—chef itu tidak pernah mengecewakan.

Namun berbanding terbalik dengan makanan yang ramai, suasana di sekelilingku sangat sepi. Hanya ada aku di meja makan ini. Seorang kepala pelayan yang aku panggil Pak Hutama datang menghampiriku. Cara berjalan beliau sangat efisien, begitu pula dengan kerjanya.

"Maaf, Tuan Muda. Nyonya tiba-tiba mendapat panggilan penting dari Malaysia. Jadi beliau membatalkan makan malam—"

Aku bisa menduganya, jadi aku tidak terlalu kecewa. Bagaimana pun makan malam dengan Mama kandungku sendiri memang sangat susah. Jadwalnya sangat penuh—bahkan untuk anaknya. "Oke." Kemudian aku mengambil keseluruhan pizza itu dan berkata, "Aku akan makan di kamar. Tolong beritahu satpam di depan kalau temanku akan datang dan bukakan pintu untuk mereka."

Pak Hutama mengernyitkan kening. "Anda tidak makan?"

Aku mengacungkan pizza. "Aku makan ini." Setelah itu aku berjalan melintasi ruang makan dan menaiki tangga yang besar. Suara langkahku terdengar sangat jelas saking sepinya rumah. Rumahku sangat besar, aku menyadari itu. Setiap anak yang mampir ke rumah selalu bilang kalau rumahku mirip istana—meski tidak banyak yang pernah aku undang. Paling hanya Max dan Galih. Mereka temanku sejak kami SMP. Yang akan datang nanti juga mereka.

Mereka selalu tahu kalau aku kesepian. Jadi setiap Mama pergi, mereka selalu datang—merusuh. Aku menyukai mereka, pertemanan kami.

Selang 30 menit kemudian, Max dan Galih datang. Mereka membawa makanan dari ruang makan. Mulut Max penuh saat masuk kamarku.

"Gila, makanan di rumah lo melebihi makanan di hotel bintang lima." ucapnya tak jelas karena dengan mulut penuh.

"Lo ngapain bawa pizza?" tanya Galih memandang meja belajarku.

"Aku malas makan."

"Wow, pizza-nya gede. Ini juga chef di rumah lo yang bikin sendiri?"

Aku mengangguk.

"Gila sih. Tuh chef apa sih yang nggak bisa."

"Mungkin masakan kayak pecel, batagor gitu dia nggak bakalan bisa."

"Dia udah jago bikin sate ayam dan daging." ucapku.

"Gue pengen jadi chef."

"Duh cita-cita lo kayak anak SD aja, Max. Ganti tiap minggu."

Aku terbahak mendengar celoteh Galih. "Gimana soal acara festival sebentar lagi?"

"Semua anggota OSIS udah dikerahin buat susun acara. Tinggal nunggu persetujuan lo apa lo setuju sama run down acaranya apa gak."

"Oke. Mungkin besok bisa kita diskusikan lagi."

"Anak band juga udah siap buat meriahin acara. Tapi masalahnya, si pemain violin yang kemarin juara lagi cedera tangannya. Dia nggak bisa ikut karena proses penyembuhan."

"Jadi dari bidang musik nggak ada yang bisa ditonjolin ya—selain band."

Mereka mengangguk.

"Oke, nanti kita bakal cari solusinya."

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now