Chapter 15

12 0 0
                                    

-Liesel Iskan-

Aku benar-benar tak terlalu menyadari dampak yang aku lakukan saat menerima Galan sebagai pacarku sampai hari ini. Galan menungguku di depan gerbang, dan karena aku berangkat agak siang jadi hampir semua orang di sekolah memandangi kami dengan penasaran. Aku memandanginya dengan alis bertaut sedangkan Galan sama sekali tidak terganggu. Dia tersenyum lebar dan bahkan memaksa membawakan tasku. Kemarin ketika melihat Riana dan pacarnya aku tidak menyadari kalau hal-hal seperti ini sangat memalukan.

Aku berjalan cepat menjauhi Galan sedangkan Galan mengejarku dan memanggil namaku.

"Kenapa kamu cepat-cepat?" tanya Galan ketika berhasil menyusulku.

"Kenapa kamu membuatnya sangat jelas? Sekarang semua orang memandangi kita." kataku pelan dan agak geregetan.

"Kenapa? Kamu ingin merahasiakan hubungan kita?"

"Aku malu."

"Kenapa harus malu? Kita pacaran, dan tidak ada hal memalukan soal itu. Iya, kan?"

"Tapi-"

Galan akhirnya menarik tanganku dan memaksa aku berhenti di lorong. "That's okay, Liesel. Everything will be okay, trust me."

Melihat kesungguhan Galan, aku tahu hal ini sangat penting untuknya. Diketahui semua orang atau apapun itu. Akhirnya aku mengangguk pelan.

Galan tersenyum manis. "Kamu bahkan nggak tahu kalau dari kemarin aku menanti-nantikan hari ini. Bertemu kamu."

"Really?"

"Em." Galan mengangguk seperti anak kecil yang mengatakan betapa ia menyukai permen. "Hari ini kamu pulang jam berapa?"

"Aku? Aku ada les piano. Kamu ingin melihat les piano aku? Kalau kamu tidak sibuk?"

"Aku nanti pulang jam 1 karena bertemu Mama. Tapi aku bisa kembali lagi ke sekolah setelah selesai. Kapan kamu mulai?"

"Jam 3." Kemudian perkataannya sedikit menggangguku. "Kamu bertemu Mamamu dengan cara janjian seperti itu?"

"Iya, Mamaku super sibuk. Kalau nggak janjian, aku nggak akan bisa bertemu dia."

"Papa kamu?"

"Oh Mama dan Papa aku bercerai. Sekarang Papa aku mungkin di Hawaii."

Galan mengucapkannya tanpa beban. Aku tidak menyangka kalau kehidupan keluarganya juga berantakan sama seperti aku. "Kamu pasti kesepian. Kamu anak tunggal kan?"

Galan mengangguk. Aku melanjutkan. "Tapi sekarang kita saling memiliki. Kita nggak akan kesepian lagi."

Galan tersenyum lebar kemudian ia menjulurkan tangannya, menggenggam tanganku. "Mari bergandengan tangan mulai sekarang-biar aku nggak kedinginan."

Aku memukul bahunya-tahu ia hanya mencari alasan. Tapi pada akhirnya kami tetap bergandengan tangan sampai di depan kelasku. "Sampai jumpa nanti sore."

Galan mengangguk. "Bye."

Ketika Galan pergi, aku mulai memikirkan alasan apa yang akan kukatakan pada Riana. Dia pasti akan mendengar berita ini dan menemuiku dengan sangat marah. But, who cares? Aku memutuskan tidak akan peduli.

*****

-Galan W. Aldrich-

"Wow, Galan, begitu gue masuk gerbang berita pertama yang gue denger lo sama Liesel gandengan tangan. Lo pengen semua orang tahu, ya?" kata Galih begitu dia masuk kelas.

"Tentu saja." kataku percaya diri. "Gue nggak punya alasan buat menyembunyikannya."

"Gimana nih ya misalnya fans lo nyerang Liesel? Lo pengen dia kenapa-napa?"

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now