Chapter 6

11 0 0
                                    

—Liesel Iskan—

Aku benci Riana.

Dan sekarang aku tahu kalau dia juga sama tidak sukanya denganku. Dia bilang guru piano terbaik ada di sekolah lain, tapi ternyata di sekolah ini juga. Dia jelas tidak ingin aku satu sekolah dengannya. Kenapa keberadaanku mengganggunya? Aku tidak akan mengganggunya! Bahkan kalau bisa tidak akan pernah menampakkan muka di depannya. Menyebalkan.

Galan, anak laki-laki yang aku waspadai tapi ternyata adalah seorang ketua OSIS, mengajakku ke kantin. Aku berusaha menolak ajakannya, tapi katanya ada hal yang harus ia jelaskan padaku soal sistem kantin. Well,

Kantin begitu ramai saat aku masuk. Mencengangkannya—kantinnya tidak seperti yang aku duga saat aku SMP kelas satu. Mungkin ini sistem yang Galan maksud, kantinnya begitu mewah seperti hotel bintang lima. Anak-anak yang mengambil makanan prasmanan mempunyai semacam kartu di depan dan kemudian muncul tiket agar bisa mengambil makan dari beberapa chef. Aku sempat melongo, namun saat Galan menoleh ke arahku aku segera memasang wajah datar.

Laki-laki itu tersenyum tipis.

"Kamu harus punya kartu pelajar sekolah ini biar bisa dapat makanannya."

"Sekarang aku nggak bisa makan, aku nggak punya kartu pelajar."

Dan kenapa aku merasa kini semua orang memandangi kami? Rasanya aku tiba-tiba menjadi seorang ratu terhormat yang menarik penasaran semua orang. Ups, aku lupa kalau aku berjalan bersama the most wanted man in this school. Aku menoleh Galan, dia terlihat biasa saja. Seolah semua perhatian ini seperti angin baginya. Aku tersenyum kecil dan sepertinya Galan tahu kalau aku tersenyum padanya. Ia menoleh dan berkata, "Jika jalan sama aku, kamu harus terbiasa diperhatikan semua orang. Hidupku seperti itu."

"Well, ini akan jadi pertama kali dan terakhir kali aku berjalan masuk kantin dan diperhatikan semua orang."

Alis Galan terangkat. "Sepertinya kamu nggak suka perhatian?"

"Exactly. I hate being in the spotlight. So, bagaimana caraku mendapat kartu pelajar?"

"Akan segera diurus OSIS. Mungkin besok...?Untuk sekarang kamu pakai kartuku dulu. Aku ajari caranya."

"Kamu? Kamu bagaimana?"

"Santai saja. Chef di sini akan memberiku makan sekalipun nggak punya tiket."

Keningku mengernyit. "Keistimewaan Ketua OSIS?"

Galan hanya tersenyum misterius. Ketika sampai di alat scan kartu, dia mengajariku bagaimana cara menggunakannya. Anak-anak di belakangku langsung berbisik-bisik. Aku berusaha mengabaikannya.

"Hi, Chef." kata Galan saat kami beralih ke menu prasmanan dan anehnya, seorang chef langsung mendatangi Galan dan mereka menjabat tangannya seperti Galan adalah tamu kehormatan.

Apa ini wajar?

"Galan. How are you?"

"Seperti yang kamu lihat." Galan tersenyum. Ketika melihat tatapan chef itu kepadaku, Galan langsung menoleh dan memperkenalkan. "Ini siswa baru, namanya Liesel. Aku memperkenalkan fasilitas-fasilitas di sekolah."

"Oh, siswa baru. Tapi sejak kapan kamu—"

"Oh, Chef." Galan langsung memotong. "Bisakah kamu memberinya makanan sekalipun anak baru? Dia terlihat kelaparan."

Aku melotot. Sejak kapan aku bilang kalau lapar? Galan menyimpulkan sendiri seenaknya—tiba-tiba perutku berbunyi. Well, dia sepertinya benar.

"Oh tentu saja."

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now