Chapter 8

10 0 0
                                    

—Liesel Iskan—

"Eh aku dengar kabar katanya anak baru itu pianis ternama. Makanya dia dipanggil Bu Faza."

"Oh iya?"

"Iya, salah satu pianis dari ekskul musik bilang kalau namanya terkenal bagi pianis-pianis lain karena dia banyak menang berbagai prestasi."

"Wow, gue nggak tahu."

"Kita nggak tahu karena kita bukan pianis."

Entah bagaimana berita itu menyebar, tapi aku cukup kesal. Sekarang tak ada tanda agar bisa kembali. Keinginan Riana agar aku menjadi invisibel sepertinya tidak terwujud. Dan itu juga keinginanku. Aku ingin berada di sekolah ini tanpa diketahui siapapun. Tanpa diganggu siapapun.

Anehnya, aku menuruti keinginan Bu Faza agar menemuinya di ruang ekskul sore ini. Lagi-lagi aku tidak sengaja bertemu Galan ketika lewat ruang Osis. Tunggu, apa tidak ada jalan lain selain lewat Osis? Galan mengerutkan keningnya, dan untuk kali pertama setelah kita berpapasan, ia memanggil namaku.

"Liesel."

Aku berhenti berjalan dan memandangnya. "Hei."

"Mau kemana?" tanyanya. Tas hitamnya tersampir di pundaknya. Lengan seragamnya telah ia lipat sampai siku memperlihatkan jam tangannya yang mewah, terlihat sangat mahal. Dia semakin terlihat tampan. Astaga, ada apa dengan otakku hari ini?

"Ruang ekskul." jawabku berusaha datar dan dingin, menghalau getaran yang kurasakan saat ia memandangku dan tersenyum. Kini aku tahu kenapa dia begitu populer—senyumnya!

"Oh akhirnya kamu memutuskan ingin bergabung ke ekskul? Ekskul apa?"

"Nggak kok. Cuma—Emm, ada seorang guru yang memanggilku."

"Oh oke. Mungkin kita bisa jalan bareng? Aku juga mau ke sana. Ada perlu sama anak musik."

Aku menipiskan bibir. Jadi Galan akan satu ruangan denganku? Kenapa aku jadi gugup?

"Ada apa?"

"Soal festival. Oh ya—sebentar lagi ada festival buat anak-anak baru. Semua orang di lingkungan sekolah bisa masuk. Jadi rencananya kita akan performa anak-anak dari berbagai ekskul dan ada sedikit interview dengan anak berprestasi agar anak-anak lain tertarik masuk sekolah ini."

"Kukira sekolah ini impian. Tanpa itu pun pasti akan menarik minat."

"Oh ya?" Galan tertawa. "Kalau begitu karena gengsi."

"Gengsi, ya?"

"Kenapa? Alasannya terlalu mengerikan, ya?"

Aku menggeleng. "Sekarang aku tahu kenapa kamu jadi ketua Osis di sini."

"Jadi, menurutmu kenapa aku dipilih?"

"Karena tujuanmu sejalan dengan visi sekolah ini."

Galan tertawa lagi. "Kamu salah. Aku orang yang paling tidak punya tujuan apapun."

"Terus kenapa kamu jadi ketua Osis?"

"Entahlah. Tahu-tahu semua orang memilihku."

"Well, berarti kamu sangat rendah hati." Ternyata kami sudah sampai di depan pintu ruang ekskul musik. Aku menghadap Galan yang menatapku dengan kening mengerut sebelum akhirnya berkata, "Galan, aku masuk dulu ya. Aku nggak ingin semua orang melihat aku jalan menuju ke sini sama kamu. Bye."

Galan terlihat tak terima dengan perkataanku, tapi aku langsung membalikkan badan. Tak peduli apakah ia protes atau tidak. Ketika aku melangkah masuk, beberapa anak langsung berbisik-bisik. Wow, ruangannya sangat besar. Tapi aku tidak melihat ada Bu Faza. Apa aku salah masuk ruang?

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now