#8

2.1K 265 21
                                    

Aku tidak suka pandangan menggoda yang diberikan Mbak Tina sejak tadi. Bukannya apa, tapi rasanya kesal saja ditatap dengan penuh senyum serba rahasia begitu. Apalagi kami sedang berada bersama banyak orang.

Jadi ketika akhirnya kami turun lebih dulu dan aku punya kesempatan untuk menegur, aku sama sekali tidak menyia-nyiakannya begitu saja.

"Mbak Tina kenapa sih? Cacingan?"

Bukannya langsung menjawab, lagi-lagi Mbak Tina memberiku senyum menyebalkan itu lagi.

"Harusnya lo tuh bersyukur karena gue kasih senyuman, bukannya gue omelin. Bisa-bisanya sih, lo punya gandengan baru dan diem-diem aja gitu?"

Aku menghela nafas lelah. "Gara bukan gandengan baru, Mbak. Dia temennya Abang."

"Gandengan baru juga nggak apa-apa kali, Gen. Ganteng gitu. Mirip Rio Haryanto banget nggak sih?" Lagi-lagi Mbak Tina menambahkan senyuman menggoda di akhir kalimatnya. Kali ini bahkan ditambah dengan gerakan menaik turunkan alisnya.

"Bukan Mbak." Ulangku meyakinkan.

"Ya lo deketin, lah. Prospeknya bagus tuh. PNS di mana sih dia?"

"Pajak." Terangku, yang langsung disahuti Mbak Tina dengan tepuk tangan meriah. Dia bahkan mencekal lenganku dan menggoyangkannya kuat-kuat.

"Ya Tuhan Gen, kenapa cowok modelan gini lo anggurin sih? Mengingat kalau dia itu temen Abang lo, harusnya lo tuh gerak cepet dong. Deketin kek. Pacarin kek. Manfaatin Abang lo semaksimal mungkin lah. Kapan lagi nemu laki keren begini kan?" Tanyanya gemas.

"Udah pernah."

"Hah?"

"Ya, gitu. Semua yang Mbak bilang itu, udah pernah aku lakuin. Gara mantanku, Mbak."

Mbak Tina melongo sesaat setelah mendengar kalimatku. "Sinting." Katanya tak percaya. "Seriusan lo?"

Aku mengangguk.

"Ah, sinting lo, Gen. Selera lo emang om-om banget apa gimana sih? Ada anak muda dengan tampilan kece dan gaji yang bikin ngiler gini malah lo sia-siain. Lo waras nggak sih sebenernya?"

Aku tertawa kali ini. Lucu sekali melihat ekspresi kecewa dan kesal yang ditampilkan Mbak Tina barusan.

"Dia yang mutusin, Mbak."

"Ah, brengsek."

Aku tertawa lagi dan langsung menuju mejaku, menyimpan berkas hasil rapat sebelum bersiap untuk makan siang.

"Tapi nggak apa-apa sih. Nggak ada yang salah kok buat balikan sama mantan. Yah, kecuali kalau lo balikan pas masih punya pacar, sih. Kayak si kampret hidup itu." Kudengar Mbak Tina ngedumel sendiri.

"Eh, lo lihat ekspresi Hardy pas rapat tadi nggak sih?" Mbak Tina mengambil langkah dan tahu-tahu sudah berdiri di samping mejaku sambil bersedekap.

Sebenarnya aku malas membahas Mas Hardy, tapi bohong kalau aku bilang tidak tahu. Nyatanya, wajah tertekuk Mas Hardy sukses mengisi keseluruhan agenda rapat kami sejak pagi tadi. Rasanya tidak mungkin ada yang tidak menyadarinya. Bahkan, aku bisa merasakan aura bermusuhan yang ditebar laki-laki itu tepat setelah aku duduk di ruang rapat tadi.

"Gara-gara lo bukan sih?"

"Kok Mbak Tina mikirnya gitu?" Tanyaku penasaran.

"Tebakan beruntung." Sahutnya cuek. "Lagian, dari tadi kan dia nggak ngalihin mukanya dari lo."

Benarkah? Aku tidak sempat memastikan. Tugas sebagai notulen tiap rapat saja sudah membuatku sibuk. Aku tidak bisa hanya mengamati dan mencatat ekspresi satu orang saja selama meeting kan?

Kami menoleh bersamaan saat melihat orang-orang yang tertinggal di ruang rapat tadi menuruni undakan tangga dan mendekat ke arah kami.

"Reta nggak masuk lagi ya?" Pak Tyo berhenti, membiarkan Pak Danang mengambil alih dan mengantarkan dua orang calon klien mereka keluar. Sayangnya, bukannya langsung mengikuti Pak Danang keluar, Mas Hardy malah ikut berhenti di sebelah Pak Tyo.

"Hari ini sakit, Pak." Jawabku, menghindari tatapan Mas Hardy yang serasa membakar.

"Ampun deh itu anak." Pak Tyo menggeleng sebentar, lalu menambahkan, "Mau ikut makan siang bareng?"

"Masih belum deal, Pak. Jangan buang-buang anggaran buat traktir kita makan deh. Palingan traktirannya juga nasi kotak. Labanya kumpulin dulu aja, Pak. Biar bonus kita lebih gede." Mbak Tina mengingatkan dengan berani.

"Dih, kamu pikir saya kere, sampai traktir anak buah pakai duit kantor? Sekarang pun kalian minta makan di mana juga sanggup saya."

"Ah, gitu ya, Pak?"

"Iyalah."

Aku dan Mas Hardy diam, membiarkan Mbak Tina dan Pak Tyo berkomunikasi berdua saja.

"Ya udah kalau Bapak maksa. All you can eat ya, Pak."

"Oke."

"Tapi, bonus bulanan aman kan?"

"Aman. Buruan deh, yuk."

"Siap, Bapak." Mbak Tina berseru bersemangat sambil bergegas ke mejanya sendiri dan mengambil tasnya.

"Eh, Gena ikut juga nih?" Pak Tyo tiba-tiba mengalihkan fokusnya padaku.

"Iya?"

Aku tidak mengerti. Ini maksudnya aku tidak diajak ikut serta atau bagaimana?

"Nggak makan siang sama pacar barunya nih?" Tanyanya menggoda.

Kalau saja aku boleh mengumpati atasan, aku pasti akan melakukannya sekarang juga.

Semuanya gara-gara Pak Tyo yang dengan sangat kurang kerjaan membagikan hasil screenshoot foto Gara saat kami video call tadi pagi dan membagikannya ke grup kantor disertai tulisan 'pacar baru Genara Amalia'. Dan sepertinya orang-orang menelan berita itu bulat-bulat tanpa peduli dengan bantahanku sama sekali.

"Bukan pacar, Pak." Jelasku lagi, entah untuk keberapa kalinya seharian ini.

"Mereka lagi proses balikan, Pak. Mantanan, soalnya." Mbak Tina menyela dengan karangan bebasnya. Dan anehnya, dia sengaja melirik Mas Hardy sekilas saat mengatakan itu.

"Yang bener? Ya Ampun, Gen. Kisah cinta kamu tuh seru banget ternyata ya." Pak Tyo terkekeh. "Ya udah yuk, semua barengan aja kan ya? Pakai mobil Danang aja deh, yang luas."

"Let's go, Bapak." Mbak Tina menyambut antusias tawaran Pak Tyo.

Aku menyambar tasku dengan cepat dan mengekori Mbak Tina, ingin membuat jarak sejauh mungkin dengan Mas Hardy.

Sayang, aku tidak seberuntung itu. Saat Mbak Tina sudah naik dan aku baru bersiap masuk ke dalam mobil Pak Danang, tiba-tiba Mas Hardy datang dan mencekal lenganku begitu saja.

"Gena sama aku. Kita ketemuan di sana aja." Katanya singkat, menutup pintu di hadapan kami dan mengabaikan segala protes dan makian Mbak Tina.

"Apaan sih, Mas?" Protesku, mencoba melepaskan cekalan Mas Hardy.

"Masuk, Genara." Titahnya tegas.

"Aku sama Mbak Tina aja." Sahutku tak kalah tegas.

"Aku mau bicara."

"Bicara aja, Mas. Tapi aku tetep mau sama Mbak Tina."

"Genara." Dia menatapku dalam. "Please."

Aku sadar bahwa satpam di depan sedang mengamati interaksi kami. Pak Tyo dan yang lain juga sedang mendekat ke arah kami. Mungkin karena aksi seret menyeret yang dilakukan Mas Hardy atau suara adu mulut kami yang lumayan keras, aku tidak tahu. Yang kutahu ini jam makan siang, dan aku jelas tidak mau jadi tontonan sekarang.

"Oke." Kataku akhirnya.

◻◼◻

Si Gena lagi dalam mode hujatable nih. Silahkan kalau ada yang mau ikut menghujat dia sekarang. Hahaha.

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now