#24

2.2K 319 49
                                    

Hari belum terlalu larut, tapi malam ini terasa lebih gelap dibanding biasanya. Mungkin ini hanya imajinasiku, tapi kurasa keberadaan Mas Hardy di sini yang menyebabkan semua itu.

"Dicariin temen kerja kamu." Kata Papa, mengawali percakapan dalam suasana canggung ini.

Aku tahu tidak pantas membandingkannya, tapi saat dengan Gara, Papa yang pendiam dan jarang bicara itu terlihat nyaman-nyaman saja. Sekarang, saat berhadapan dengan Mas Hardy, keengganan Papa terlihat lebih jelas.

Banyak faktor yang mempengaruhi, aku yakin. Salah satunya mungkin karena Papa baru bertemu Mas Hardy dan belum mengenalnya dengan cukup baik. Atau bisa saja karena aura Mas Hardy yang lebih dewasa dan membuat sungkan, aku tidak tahu. Yang jelas Papa tetap memasang ekspresi serius dan kurang bersahabat di wajahnya ketika masuk ke dalam dan meninggalkan kami dalam kecanggungan yang begitu kental ini.

"Hai, Genara." Sapanya lembut.

Menatap sosok Mas Hardy di hadapanku, melihatnya tersenyum dengan begitu nyata dan dekat, rasanya seperti digores dengan sembilu yang tak nampak. Ada perih dan nyeri yang terasa dengan begitu jelas, tapi juga ada setitik rindu yang tak kutahu datang dari mana.

Mungkin karena seharian tadi aku bergulat dengan emosi yang berkaitan erat dengan Mas Hardy, mungkin karena aku merasa diperlakukan tidak adil oleh orang terdekat laki-laki ini, aku tidak tahu. Aku juga tidak merencanakan ini, tapi mendadak rasanya aku ingin menangis dengan keras sekarang.

"Genara ..." Ulangnya. Kali ini sambil mengulurkan tangannya ke arah pipiku. Ke arah lukaku, lebih tepatnya.

"Sorry." Bisiknya memilukan.

Sejujurnya, yang ingin kulakukan sekarang adalah memukulnya dengan keras lalu memeluknya erat-erat dan menangis sepuasku. Mungkin dengan begitu akan sedikit melegakan sesakku.

Tapi aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu. Mas Hardy dan kenyamanan hanyalah sepenggal oase yang kutahu akan segera memudar. Aku tahu itu lebih baik dari siapapun, kurasa. Lagipula, apa yang kukatakan pada Alea tadi memang benar, aku sudah melepaskan Mas Hardy.

Jadi yang kulakukan selanjutnya adalah menepis jemari yang pernah menggenggam tanganku itu sebelum ia berhasil menyentuhku.

"Mas Hardy nggak perlu minta maaf, aku nggak apa-apa." Kataku akhirnya.

Mas Hardy menggeleng. "Aku minta maaf, Gen. Aku sama sekali nggak nyangka kalau Alea bakal keterlaluan kayak gini." Ucapnya, seakan tidak mendengar kalimatku sebelumnya.

"Aku oke." Tegasku meyakinkan. "Mas bukannya masih pemulihan?"

"Aku udah baikan, ini cuma dapet izin buat keluar sebentar. Ke sini juga bawa supir sama perawat kok." Katanya, menunjuk dua orang lain yang ikut bersamanya. "Kamu tenang aja." Mas Hardy memberiku senyuman lemah yang sama sekali tidak meyakinkan.

"Oke." Sahutku berulang.

"Aku nggak tahu kenapa dia jadi arogan kayak gini, Gen. Tapi dia nggak pernah bersikap seperti ini sebelumnya." Lanjutnya pelan.

Mas Hardy mungkin tidak tahu, tapi aku jelas tahu bahwa Alea semacam titisan Sengkuni yang licik dan bermuka dua.

"Dan Mas tahu kejadian ini dari siapa?"

"Tadi Tina telepon. Ngamuk dan marah-marah seperti biasa. Tapi waktu Alea dateng, dia udah ngejelasin semuanya."

Aku mengangguk. Baiklah, ini menjelaskan banyak hal. Sepertinya Mas Hardy lebih mempercayai penjelasan Alea daripada omelan panjang Mbak Tina. Baiklah, tidak masalah.

"Maafin Alea. Dia nggak tahu, Gen. Dia cuma salah paham dan melampiaskan semuanya ke kamu. Sorry, ini semua salahku."

Kupikir, Mas Hardy sudah mematahkan hatiku sampai tidak ada lagi kepingan yang tersisa untuk bisa dia patahkan lagi. Nyatanya, sekarang ini aku seperti bisa mendengar bunyi patahan yang masih begitu nyaring.

"Maaf, dia ..."

"Oke Mas, santai aja. Semua masalahnya udah beres sama Pak Tyo kok."

Aku sengaja memotong. Ada banyak orang di sini yang tidak ada hubungannya dengan kami. Tidak pantas rasanya membahas masalah sepribadi ini di hadapan mereka. Dan lagi, aku jelas tidak mau membuat keributan apapun yang ada hubungannya dengan Mas Hardy lagi.

Lagipula, apa yang bisa kuharapkan sekarang? Nyatanya aku tidak beharap Mas Hardy menangis penuh penyesalan atau mengemis meminta maaf untuk apapun lagi. Sungguh. Apa yang kukatakan pada Alea tadi benar, aku sudah merelakan Mas Hardy, dan dia bahkan tidak perlu repot-repot meminta maaf untuk perlakuan tunangannya itu.

"Tadi waktu Tina ngabarin ..."

"Mas langsung merasa bersalah dan kesini untuk minta maaf buat Alea. Gitu, kan?" Potongku tajam.

Mas Hardy menggeleng. "Kamu salah paham, Genara."

"Ooh, nggak. Aku paham kok. Sangat paham."

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba jadi semarah ini. Hanya saja, melihatnya di sini, di teras kecil milik Papa malam ini membuat kekecewaanku membuncah lagi.

Di sana, laki-laki yang mengaku pernah mencintaiku itu bahkan belum bisa berdiri dengan tegap. Wajahnya pucat dan aku bisa menduga kalau dia sedang menahan sakit sekarang. Tapi apa yang dia lakukan? Dia meminta maaf untuk sesuatu yang bahkan tidak dia lakukan. Demi Alea.

"Aku buru-buru kesini karena khawatir sama kamu, Gen. Aku merasa bersalah, jelas. Aku bukan minta maaf untuk Alea. Aku minta maaf karena Alea nyakitin kamu dan otomatis membuatku gagal buat jagain kamu. Ada bedanya, meskipun sepertinya kamu nggak mau tahu."

"Mas nggak perlu minta maaf. Aku nggak apa-apa." Kataku dengan nada yang lebih tajam dari yang kumaksud.

Seakan tidak mendengarku, Mas Hardy justru mengulurkan tangannya ke arah wajahku sekali lagi. Mungkin ingin menyentuh bekas cakaran Alea atau apa, aku tidak lagi peduli.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Beneran." Tampikku sekali lagi. "Kayaknya Alea yang lebih parah deh. Aku tonjok soalnya tadi."

"Kamu apa?" Suara ini datang dari belakangku. Gara, yang tidak kuduga akan terlibat dalam obrolan ini tiba-tiba bergabung begitu saja.

"Aku tonjok." Kataku bersemangat. Aku senang punya alasan resmi untuk berpaling dari kewajiban menatap Mas Hardy. Ke arah lain. Ke mana saja.

"Jadi dia megang kepala aku pakai dua tangan, Ga. Trus karena ruang gerak yang minim, akhirnya aku tonjok dia dari bawah." Lanjutku.

"Hasilnya?"

"Lumayan lah. Paling nggak, rahangnya memar trus gusinya berdarah. Meskipun cuma setetes."

"Pinter." Gara menepuk kepalaku seolah aku balita yang berhasil menjawab pertanyaan satu ditambah satu sama dengan dua.

Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya ini sentuhan pertamanya setelah bertahun-tahun kami jadi mantan. Yah, meskipun tiap lebaran kami memang bersentuhan karena saling berjabat tangan, tapi ini bukan termasuk jenis sentuhan seperti itu kan?

Yang mana saja, aku tidak akan mengeluh atau mempertanyakannya sekarang. Apalagi saat melihat ekspresi getir yang terpahat di wajah Mas Hardy saat melihat Gara. Atau saat dia akhirnya pamit setelah minta maaf sekali lagi dan meninggalkanku dengan kekosongan yang begitu padat.

Sembari melihat punggung kokoh itu semakin menjauh membelakangiku, aku tiba-tiba ingin menertawakan nasibku sekarang. Yah, mungkin akan berhasil kalau saja keadaannya tidak semenyedihkan ini.

◾◽◾

Sometimes, Love Just Ain't EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang