#19

1.9K 244 18
                                    

"Jadi?"

"Apa sih, Gen?"

Ini sudah pertanyaan ketiga yang kuajukan sejak Mbak Tina datang, tapi bukannya menjawab, wanita 33 tahun itu masih saja sibuk mengelak.

"Mbak beneran sama Pak Tyo?" Ulangku tak mau menyerah.

"Ampun, ya Tuhan!" Mbak Tina menutup berkas entah apa yang sedang ia pegang dan memelototiku terang-terangan. "Mulut si Hardy nih pasti yang ember."

"Jadi beneran?" Kejarku.

"Nggak. Belum. Ah, nggak tahu deh." Katanya akhirnya.

"Gimana sih, Mbak?" Aku menarik kursi di hadapan Mbak Tina, merapatkan tubuh pada meja kerjanya dan memuaskan jiwa ingin tahuku.

"Yaa ... gitu." Mbak Tina menaikkan bahunya. "Nggak tahu."

"Gimana sih maksudnya?" Ulangku menyebalkan.

"Ya nggak tahu. Gini loh, oke, kita emang beberapa kali keluar bareng. Tapi jalan sama Mas Tyo tuh beda. Kayak yang ..."

"Cieee ... Mas Tyo banget nih?" Potongku tak bisa menahan cengiran.

Mbak Tina melotot, tapi kemudian malah menertawakan entah apa.

"Ya Tuhan. Gue udah hopeless banget kayanya sampai mau jalan sama dia. Bayangin deh, Gen. Okelah dia duda dan lebih tua jauh dari gue, gue nggak masalah. Dia juga cakep kan? Lumayan lah ya. Nggak malu-maluin buat di gandeng kemana-mana. Selain itu keuangan dia juga udah stabil. Aman lah buat hidup gue ke depan."

"Kaya raya, maksudnya." Potongku sekali lagi.

"Iya, kaya raya." Mbak Tina terlihat menarik nafas sebelum melanjutkan. "Masalahnya adalah, Mas Tyo ini tuh punya tiga anak remaja. Tahu sendiri kan gimana susahnya ngadepin anak usia segini? Belum lagi Mas Tyo tinggal serumah sama Ibunya yang udah sepuh banget. Gue keder tahu."

Aku tertawa. "Seorang Mbak Tina? Keder? Mana bisa?"

"Bisa." Sahutnya, mempertahankan eskpresi serius di wajahnya. "Karena di atas semuanya tadi, masalah yang paling utama adalah, gue nggak dikasih kejelasan sama dia."

Aku hanya mengedip beberapa kali seperti orang bodoh. Oh, bukannya aku sengaja. Aku hanya benar-benar tidak mengerti apa yang dikatakan Mbak Tina barusan.

"Dan maksudnya adalah?"

Mbak Tina memberiku senyum kecut sebelum menjawab, "HTS. TTM. FWB. Sebut aja deh."

Di antara sekian banyak jawaban yang mungkin diucapkan Mbak Tina, aku tidak menyangka bahwa aku akan mendengar yang satu ini.

"Pak Tyo?" Tanyaku, melotot tak percaya.

Mbak Tina mengangkat bahunya tak peduli. Atau mencoba. Entahlah. Karena meski dia sedang menampilkan sosok wanita tangguh yang tidak peduli terhadap sekitarnya, rasanya aku bisa melihat gurat kecewa di wajahnya.

"Makanya, nggak usah mau tahu yang satu ini deh. Malesin banget."

"Mbak Tina oke?" Tanyaku coba-coba.

"Oke banget." Jawabnya dengan ketegasan berlebihan. "Umur tiga-tiga, belum punya pasangan dan nggak punya rencana masa depan. Kurang oke gimana lagi coba?"

Aku meringis dan tidak menyahut lagi. Entahlah, rasanya akhir-akhir ini kemampuan berkomunikasiku mengalami kemunduran pesat.

"Lo tenang aja Gen, gue baik-baik aja kok. Kayak nggak kenal gue aja lo." Kata Mbak Tina lagi. "Kalau selama tiga bulan masih gini-gini aja, gue pasti udahan kok. Gue kan orangnya pinter. Tegas. Berprinsip dan nggak gampang luluh sama mulut manis laki-laki."

Sometimes, Love Just Ain't EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang