#23

1.8K 270 33
                                    

Gara diam.

Maksudku, oke, biasanya dia memang tidak banyak bicara. Tapi Gara yang kukenal tidak akan mengabaikan luka yang tampak jelas di pipiku begini.

Plester memang berhasil menutupi bekas cakaran Alea dengan sangat baik. Tapi tidakkah dia bertanya-tanya, barang sedikit saja, bagaimana sejarahnya aku bisa mendapatkan luka seperti ini sedangkan tadi pagi dia tahu keadaanku baik-baik saja?

Ooh, jangan salah paham. Percayalah, aku bukannya sedang minta perhatian lebih dari Gara atau apa, sama sekali bukan. Aku hanya ... yah, mungkin saja aku hanya sedang ... penasaran?

Jadi ketika akhirnya Gara membuka mulutnya beberapa menit kemudian, pertanyaan yang dia lontarkan justru membuatku kebingungan.

"Si Malik, dia balik lagi?"

Aku sampai menatapnya lama dan berkedip beberapa kali untuk meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar.

"Malik." Gara mengulang, seolah alasan keterlambatanku menjawab gara-gara kurangnya sensor pada pendengaranku.

"Tadi aku lihat dia ngekorin kamu sampai depan. Itu beneran Malik, kan?"

Aku mendengus tanpa sadar. Selain merasa sedikit kecewa karena Gara benar-benar mengabaikan lukaku, aku sungguhan lupa kalau Gara tidak terlalu suka pada Malik. Alasannya? Entahlah, kupikir Gara tidak pernah memberiku alasan yang jelas untuk itu.

"Tahu nggak sih? Malik tuh ponakannya Pak Danang loh, Ga. Tahu Pak Danang, kan? Manajer lapangan yang kemaren ngasih info lowongan kerjaku yang sekarang ini."

Gara hanya menatapku dengan alis terangkat sebagai balasan. Dan aku paham betul apa yang dimaksud laki-laki bermata sipit itu. Dia ingin aku menjawab pertanyaannya dulu sebelum aku membelokkan pembicaran kemana-mana.

"Oke. Iya, dia balik." Jawabku setelah menarik nafas panjang penuh kekalahan.

"Menurut kamu, aneh nggak sih kalau dia selalu ada di saat kamu lagi nggak oke, Ra?" Tanyanya membingungkan.

"Dan maksudnya adalah?"

"Inget nggak sih kalau dia selalu muncul di waktu-waktu tertentu aja? Tiap kita lagi berantem, misalnya. Trus waktu kita putus lalu gagal balikan. Oh, dan yang terbaru, waktu kamu susah dapet kerja. Trus sekarang, dia dateng waktu kamu lagi ada masalah kan? Bukannya itu aneh?"

"Kamu tahu kalau aku lagi ada masalah?" Tanyaku hati-hati.

"Menurut kamu?"

"Ya makanya ini nanya."

"Ngerasa." Sahutnya pendek.

Oke, jawaban ini sedikit mengejutkan. Anehnya, aku merasa sedikit -hanya sedikit- berdebar menanti kelanjutan kalimat Gara. Aku bahkan belum putus menatap laki-laki itu sekarang.

Gara lalu menoleh. Menyadari bahwa aku masih menatapnya, dia bergumam, "Apa?"

"Detail, Ga. Detail." Aku sengaja menjeda kalimatku. "Jadi ... kamu ngerasa kalau aku lagi kena masalah? Oke. Trus? Detail, plis."

"Kamu lebih banyak diem. Biasanya kalau Randika pulang, kamu bakal protes karena aku terlalu mendominasi Abang kamu. Kamu bakal ngomel tentang betapa risihnya harus terpaksa ada di antara aku dan Randika. Kamu bakal gunain banyak waktu untuk bersikap menyebalkan tiap ada aku. Belakangan, kamu nggak gitu, Ra. Aku pikir ini kemajuan, karena kamu sedikit jinak saat deket-deket aku. Tapi setelah aku perhatiin, ada yang nggak beres sama tatapan kamu. Nggak ada sorot ngajak berantem lagi tiap ketemu aku. Jadi, aku pikir, satu-satunya alasan adalah, kamu lagi nggak oke."

Gara menoleh lagi. Kali ini lebih cepat dari perkiraanku, jadi aku belum sempat menyembunyikan cengiran lebar dan sedikit rasa haruku di sana.

"Am I right?" Tanyanya memastikan.

Sometimes, Love Just Ain't EnoughDonde viven las historias. Descúbrelo ahora