#18

1.9K 236 19
                                    

"Sorry, Ga." Ucapku, membersit hidung setelah sepuluh menit berlalu dalam isakan menyedihkan.

"It's okay, Ra." Jawabnya tak yakin.

Aku yakin saat ini Gara sedang kebingungan dengan tingkahku. Aku maklum. Bertahun-tahun saling mengenal, kurasa bahkan Garaksa pun hampir tidak pernah melihatku menangis. Yah, mungkin sekali, waktu kami putus dan hubungan kami berakhir pilu. Selebihnya, aku yakin laki-laki bermata sipit itu lebih sering mendapatiku bertingkah semaunya atau memasang wajah jutek saat berhadapan dengannya.

Sejauh aku bisa mengingat, Genara Amalia semasa remaja memang termasuk gadis dengan tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata. Manja, cenderung lebih sering marah dan menyebalkan minta ampun.

Seiring berjalannya waktu, Genara yang itu sepertinya berubah menjadi sosok minim percaya diri yang nyaris tidak punya pendirian. Aku sendiri tidak yakin apa yang menyebabkannya. Yang jelas aku sulit percaya pada penilaianku sendiri, apalagi pada perasaan orang lain. Itu juga yang membuatku menghabiskan masa kuliah tanpa pernah berkeinginan untuk menjalin hubungan. Lalu baru berani berharap lagi setelah bertemu Mas Hardy. Sayang, lagi-lagi akhirnya tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan.

"Atasan kamu meninggal?" Tanya Gara tiba-tiba.

"Ya nggak lah." Sergahku cepat, tertawa sekaligus terkejut atas celetukan polosnya barusan.

"Oh, kirain kamu nangis gara-gara bos kamu meninggal."

Aku menggeleng, tapi tidak memberinya penjelasan lain.

"Ci Wen apa kabar, Ga?" Tanyaku pelan, menyebut nama Mama Gara dalam percakapan kami.

Aku merasa Gara menoleh dan menatapku heran sebelum dia menjawab. "Sehat."

"Pak Rahmat sehat juga, kan?" Tanyaku semakin tak jelas.

"Kemarin kena flu sih, tapi selain itu Papa sehat kok."

"Hmm, syukurlah." Gumamku penuh syukur.

Setelah bertemu Mama Mas Hardy tadi, jujur saja kenangan akan orangtua Gara memenuhi kepalaku begitu saja. Ci Wen yang selalu baik dan juga Pak Rahmat yang meskipun jarang bicara tapi selalu memberiku senyuman ramah tiap kali bertemu. Tidak ada sorot menghakimi apalagi meremehkan, meskipun aku jelas bukan siapa-siapa dibanding keluarga mereka.

"Mereka keren ya?" Komentarku tak bisa menahan diri. "Bertahun-tahun berjuang mendapatkan restu tapi nggak pernah menyerah."

"Enam tahun perjuangan dan kesabaran yang panjang." Gara tersenyum. "Yah, nggak bisa nyalahin Oma juga sih, Ra. Biar gimanapun kan Papa sama Mama emang beda. Udah beda etnis, sempet beda agama pula. Susah."

"Tapi mereka nggak nyerah buat bikin Oma kamu luluh, kan?"

"Untungnya begitu."

"Mereka hebat." Pujiku tulus.

Gara mengernyit dan mengamatiku sedikit lebih lama daripada yang biasa ia lakukan akhir-akhir ini.

"Hubungan kamu terhalang restu?" Tembak Gara tepat sasaran.

Aku menarik nafas panjang sebelum menjawab gamang. "Nggak tau." Jujurku. "Belum pernah nyoba buat minta restu soalnya."

Benar kan? Meskipun sudah mengira bahwa segalanya tidak akan mudah, tapi kami memang belum pernah betul-betul mencoba, kan?

"Hah?"

Aku tidak tahu kenapa aku justru membuka masalah ini di depan Gara, tau-tau saja kudengar diriku sendiri menjawab pertanyaan Gara dengan jujur.

"Ya gimana mau minta restu, kalau kami aja putus sebelum saling kenal keluarga masing-masing?"

"Oh." Gara mengangguk-anggukkan kepalanya sok mengerti. "Jadiannya baru bentar?"

"Iya." Memang baru setahun, kan?

Gara terlihat hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak ada satupun kata yang keluar darinya bahkan setelah satu menit penuh. Dan aku juga tidak berniat memutar otak untuk memulai percakapan.

Jadi kami menghabiskan sisa perjalanan dalam diam. Tidak ada percakapan lain sepanjang perjalanan menuju rumah. Dan seperti biasa, Gara hanya membiarkan alunan musik mengalun pelan di antara kami.

◾◽◾

"Berantem sama Gara?" Pertanyaan Abang menghentikan langkah kakiku yang sudah separo jalan menapaki tangga untuk naik ke kamar.

"Nggak, Bang." Jawabku lelah.

"Yakin?"

"Yakin." Sahutku tak sabar.

"Trus kenapa nangis?" Tuntut Abang lagi.

Sejelas itu kah?

"Nggak kenapa-napa." Sahutku cepat.

"Mana ada? Gara kenapa?"

"Abang kenapa sih, nyangkut pautin aku sama Gara terus?" Meski sepenuhnya sadar bahwa nada bicara yang kugunakan sudah semakin meninggi, aku sama sekali tidak berusaha untuk meredamnya saat ini.

"Ya siapa lagi? Kan lo barengnya sama dia. Kalau pulang-pulang mata lo sembab gitu, ya masa bukan karena dia?"

Aku tidak tahu kenapa Abang baru menanyakan ini sekarang. Kalau dia menaruh curiga gara-gara mataku yang sembab dan tidak percaya pada penjelasan yang kuberikan, harusnya dia bertanya sendiri pada Gara sebelum laki-laki itu pamit tadi, bukannya malah mencercaku begini.

"Hidupku tuh nggak cuma berputar di sekeliling Gara ya, Bang." Sentakku marah. "Mau nggak mau, suka nggak suka, aku sama Gara tuh udah selesai. Selesai! Sebesar apapun harapan dan usaha Abang buat bikin kami balikan, nyatanya nggak akan ada babak lanjutan di hubungan kami, Bang. Dia cuma nganggep aku adik, dan aku mencoba sopan karena tahu dia sahabat Abang. Berapa kali sih kita balik ke sini-sini lagi?"

Abang menatapku dengan ekspresi terkejut yang tidak ia sembunyikan. Entah tidak menyangka bahwa aku akan menumpahkan rentetan kalimat sepanjang itu atau tidak mengerti kenapa amarahku sampai meledak sebesar ini. Satu hal yang pasti, aku menyesal karena membiarkan Abang menjadi pelampiasan emosiku.

"Sorry Bang." Kataku sungguh-sungguh. Abang memang menyebalkan, tapi aku tahu betul bahwa suasana hatiku yang buruk ini bukan dipicu karena Abang membawa-bawa nama Gara di antara kami.

"Sorry. Aku cuma lagi banyak pikiran." Kataku, tak sepenuhnya berbohong.

Abang menatapku sebentar sebelum mengangguk. "Gara bilang kalian dari rumah sakit."

Aku menghembuskan nafas pendek sebelum mengangguk.

"Atasan aku kena usus buntu."

"Banyak pikiran gara-gara itu?"

Aku mengangguk cepat untuk menyederhanakan percakapan. Aku sudah terlalu letih, dan pertengkaran dengan Abang tidak akan membantu meringankannya sama sekali.

"Sorry kalau kesannya gue maksa lo buat balikan sama Gara." Katanya serius. "Gue lihat lo sendiri terus sejak bubar sama dia. Jadi gue pikir, lo mungkin masih naruh hati buat dia."

Harusnya aku membantah, tapi aku hanya diam dan membiarkan Abang menyelesaikan kalimatnya.

"Dan ... Gen, sejujurnya gue lakuin ini bukan cuma buat lo doang. Gue seneng kalau kalian balikan, jelas. Tapi kenapa akhir-akhir ini gue jadi ngebet banget, itu karena gue lagi bantu Gara buat bikin kesempatan. Sorry kalau cara gue salah dan malah bikin lo nggak nyaman. Lo bebas menentukan mana yang bikin lo happy. Gue juga pengen lo happy. Itu yang paling penting. Tapi, kalau gue boleh ngasih saran, jangan terlalu keras sama diri lo sendiri. Coba aja dulu, siapa tahu lo dapet keyakinan dari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi."

Aku menatap Abang untuk beberapa waktu yang lama. Wajah tampannya balas menatapku dengan ekspresi serius, sesuatu yang jarang sekali terjadi dalam hubungan persaudaraan kami. Tapi sungguh, aku sama sekali tidak memahami apa yang baru saja dia katakan.

"Maksud Abang, gimana sih Bang?"

Abang mendengus. Memasang ekspresi cuek seperti biasa dan mengangkat bahu tak peduli.

"Gue juga nggak tahu barusan ngomong apaan. Nggak jelas banget ya? Lupain deh. Nggak penting juga."

Abang lalu mengibaskan tangannya dan berbalik pergi, menyisakan satu lagi pertanyaan dalam kepalaku dan membuatnya semakin tidak karuan.

◽◾◽

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now