#17

2.2K 257 19
                                    

Suasana hangat yang baru saja menaungi ruangan ini berubah dingin seketika. Aku mulai merasakan tubuhku menggigil meskipun tidak ada seorangpun yang menurunkan suhu pendingin ruangan.

"Ma?" Mas Hardy memanggil pelan. Mungkin dia juga sama terkejutnya denganku sekarang ini.

"Bagus ya, kamu sakit dan Mama justru jadi orang terakhir yang tahu." Omelnya, mendekat ke arah ranjang setelah sebelumnya meletakkan tas mahalnya di atas meja. "Kamu siapa?" Tunjuknya padaku.

Sejujurnya, secara profesional, kami pernah bertemu satu kali. Dulu. Dulu sekali sewaktu grand opening kantor. Tapi aku tidak terkejut kalau Mama Mas Hardy memang tidak mengenaliku. Kami hanya dikenalkan sambil lalu dan sama sekali tidak terlibat obrolan panjang setelahnya.

Sebagai kekasih anaknya ... yah, sudah sangat jelas kan? Meskipun satu tahun menjadi kekasihnya, perkenalan sejenis apapun itu tidak pernah terjadi di antara aku dan Mamanya. Jadi sangat tidak mungkin kalau Mama Mas Hardy tahu siapa aku.

"Saya Gena, Bu. Asistennya Mas Hardy." Kataku, berusaha terdengar setenang mungkin selagi membungkuk untuk menyalami Mamanya dengan tangan yang mendadak sedingin es.

"Kamu asistennya?"

Aku mengangguk kaku. "Iya, Bu." Lebih mudah menjawab begitu daripada harus menjelaskan job desk ku yang sebenarnya pada beliau.

Lagipula, aku tidak yakin mulutku sanggup bicara panjang di hadapan ekspresi bossy yang sedang ditampilkan Mama Mas Hardy sekarang ini.

"Kamu nggak tahu nomor telepon keluarganya Hardy? Ada keadaan darurat kayak gini kok nggak langsung ngehubungin saya? Kenapa malah Tyo yang ngabarin?"

"Ma, stop. Please. Aku hampir pingsan. Sejak tadi Gena udah kerepotan ngurusin aku. Dia juga udah bolak-balik benerin kerjaan aku yang semawrut. Sibuk lobi sana-sini buat mastiin semua jadwal tetep jalan dan semuanya. Mama nggak bisa dateng-dateng langsung nyalahin dia."

"Siapa yang nyalahin sih? Mama kan cuma tanya. Kalau kamu punya asisten, kenapa malah Tyo yang ngehubungin Mama?"

"Mereka bagi tugas, Ma." Sela Mas Hardy, sekali lagi mewakilkanku menjawab pertanyaan mamanya. "Lagian Pak Tyo yang mau ngabarin Mama langsung. Apa salahnya sih?"

"Wah, enak ya asisten sekarang. Bisa bagi-bagi tugas sama bos besar." Sindirnya tajam.

Mas Hardy menggeleng pelan. Kelihatan sekali dia tidak nyaman dengan situasi ini. "Kalau Mama kesini cuma buat ngomel-ngomel, lebih baik Mama pulang deh. Kepalaku pusing."

Mama Mas Hardy mendekati ranjang dan menggumamkan kalimat-kalimat pembelaan yang tidak begitu bisa ditangkap telingaku dengan baik. Entah karena fungsi inderaku yang menurun atau justru kehadiran Mamanya yang membius radar sadarku.

"Oke, maaf ya Gena. Saya cuma lagi banyak pikiran aja. Paham kan? Anak lagi sakit gini, jadi pikiran kemana-mana. Maaf ya." Kalimat Mama Mas Hardy menyentakku perlahan.

"Iya, Bu. Nggak apa-apa." Lirihku kemudian.

"Kamu nggak pulang aja?" Tembaknya lagi.

"Ma ...." Mas Hardy hendak melayangkan protes, tapi Mamanya memotong lebih cepat.

"Apa sih, Har? Maksud Mama kan baik. Gena ini cewek loh. Ini juga udah malem. Kamu sendiri kan yang bilang kalau dari tadi Gena mondar-mandir ngurusin kamu? Ya bagus dong Mama suruh pulang, biar dia juga bisa istirahat."

"Iya, tapi nggak dengan nada memerintah gitu lah, Ma."

"Udah ah, ribet kamu mah." Mama Mas Hardy bergegas mengambil tasnya kembali, merogoh sesuatu dari sana dan mendekat ke arahku sambil tersenyum.

Anehnya, aku justru merasa tidak nyaman saat dihadiahi senyum cantik itu.

"Makasih ya Gena, udah jagain Hardy dengan baik." Beliau menyalamiku. Maksudku, menjejalkan sesuatu ke dalam genggaman tanganku saat kami bersalaman.

"Maaf Bu, ini ... nggak usah." Aku panik saat mendapati beberapa lembar uang seratus ribuan tersemat di sana.

"Nggak apa-apa. Bukan apa-apa kok. Buat ganti ongkos taksi sama makan malam kamu aja itu."

Aku tertegun sambil menggenggam erat uang pemberian Mamanya. Aku yakin nominalnya lebih dari cukup untuk sekedar mengganti ongkos taksi yang kubayarkan tadi. Aku juga sadar bahwa mungkin ini bentuk terimakasih Mamanya pada karyawan yang sudah membantu anaknya.

Tapi mengganti perlakuanku dengan uang? Entahlah, egoku terlalu besar untuk menerima ini.

"Maaf, saya nggak bisa menerima ini, Bu." Kataku, mengangsurkan kembali uangnya dengan tangan gemetar.

"Nggak apa-apa. Nggak banyak kok itu. Ambil aja, nggak usah sungkan. Sekalian buat ongkos pulang."

"Ma ...."

Mengabaikan protes Mas Hardy, aku berkeras mendekat dan menaruh kembali uang itu di atas tangan Mamanya.

"Terimakasih, Bu. Tapi nggak usah."

"Kurang?"

"Ma, tolong jangan kelewatan." Mas Hardy duduk tegak dan menatap Mamanya dengan tatapan menantang.

"Apa sih, Har? Orang Mama cuma mau ngasih tanda terimakasih kok."

"Nggak perlu pakai cara gitu, Ma." Mas Hardy meratap lirih.

"Anggep aja bonus." Mengabaikan Mas Hardy, Mamanya semakin keras kepala umtuk memaksakan keinginannya. "Buat ongkos pulang. Buat jajan. Apalah. Udah deh, saya ikhlas kok."

"Saya nggak butuh ongkos untuk pulang, Bu. Sudah ada yang jemput." Tegasku lagi, kali ini sambil membatin penuh terimakasih pada Gara karena sudah memberiku alasan untuk mempertahankan harga diri.

"Nggak apa-apa lah. Bisa buat makan dulu. Ambil ya Gena, biar saya nggak merasa hutang budi. Ya?"

Aku tidak tahu kenapa aku merasa hampir menangis sekarang. Mungkin karena Mamanya terus menerus berniat untuk menguangkan bantuanku. Mungkin juga karena aku sadar bahwa di titik ini status sosial kami terbentang dengan begitu lebar, sampai-sampai Mamanya enggan menerima sedikit kebaikan dari orang sepertiku.

"Ma, cukup." Mas Hardy menyela berani.

"Kenapa sih kalian berdua berlebihan banget? Maksud Mama kan baik. Apa sih salahnya?"

Mas Hardy menyugar rambutnya dengan sebelah tangannya yang bebas dari infus sebelum menarik nafas sebentar lalu akhirnya menengahi.

"Oke, aku paham maksud Mama baik dengan ngasih uang ke Gena. Gena juga bermaksud baik dengan menolak pemberian Mama. Mama ikhlas ngasih, Gena juga ikhlas bantuin. Oke? Beres kan?" Putusnya setengah menyentak.

Mamanya terlihat mendengus kecil, tapi aku menduga bahwa akhirnya beliau mau melunak. Jadi aku menggunakan kesempatan ini untuk segera menyingkir.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu. Mas."

Mama Mas Hardy hanya mengangguk kaku sementara Mas Hardy menggumamkan permintaan maafnya sembari menatapku dengan ekspresi yang terlihat begitu nelangsa.

Tapi aku tidak berniat menanggapinya. Kueratkan peganganku pada tali sling bag di bahuku sambil mengayunkan kakiku dengan cepat untuk segera menjauh dari sini.

Harusya aku lega setelah meninggalkan ruang perawatan Mas Hardy. Tapi sepertinya aku kesulitan membendung air mataku yang mulai jebol dan merembes keluar. Jadi ketika akhirnya aku duduk di dalam mobil Gara, bukannya membuka mulut untuk basa-basi, aku justru menutupkan kedua tanganku di wajah dan mulai menangis.

Beruntung, Gara hanya melirikku dan tidak tergesa untuk memburu cerita.

◽◾◽

Sometimes, Love Just Ain't EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang