#1

3.2K 304 5
                                    

Harus kuakui kalau aku bukan orang suci yang anti membicarakan masalah orang lain. Aku bahkan senang-senang saja mendengar update berita terbaru tentang apa-apa saja yang sedang ramai di perusahaan ini. Dan aku mulai menyesalinya sekarang, terlebih saat aku merasakan sendiri seperti apa rasanya jadi buah bibir.

Jangan lupa, aku pernah -sering sebenarnya- ada di posisi penggosip, jadi aku tahu betul bagaimana gelagat mereka saat sedang membicarakan seseorang.

Sama persis seperti yang sekarang sedang kulihat.

Suara-suara berbisik penuh semangat yang kudengar menggebu-gebu itu langsung hilang saat aku memasuki pantry. Tiga orang pelakunya tampak kaget dan salah tingkah saat melihatku. Apalagi kalau mereka tidak sedang membicarakanku?

"Eh, Mbak Genara. Mau dibuatin teh, Mbak?" Bu Yuli, office girl kami yang juga salah satu dari tiga orang tadi bertanya cepat.

Biasanya iya, aku memang lebih suka minum teh daripada minuman lain. Bu Yuli mungkin hafal kebiasaanku yang itu, tapi kurasa pagi ini aku memerlukan lebih banyak kandungan lemak untuk menstabilkan metabolismeku yang berantakan sejak kemarin.

"Ini aja, Bu." Sahutku, menunjukkan sekotak susu coklat kemasan di tanganku. "Minta tolong di angetin."

Sebenarnya aku tidak suka merepotkan orang lain, tapi aku jelas lebih memilih Bu Yuli sibuk menyiapkan minumanku daripada membicarakanku di belakang punggungku.

"Tumben nggak minum teh, Mbak?"

"Belum sarapan, Bu. Takut kelaparan." Jawabku asal.

"Ada stock bubur instan lo Mbak. Mbak Gena mau dibuatin?"

Aku benci bubur dan segala macam variannya. Jadi sudah jelas, aku tidak akan memilih menu itu untuk mengisi perutku.

"Susu hangat aja, Bu."

"Tapi kan Mbak Gena belum sarapan, biar perutnya nggak kosong, Mbak. Jangan sampai.. Eh, Pak Hardyan? Kopi, Pak?"

Perubahan kalimat Bu Yuli membuat bulu kudukku mendadak meremang. Aku mencium aroma familiar di udara dan merasakan sesosok tubuh yang mendekat dibelakangku. Sepertinya laki-laki itu berhasil mengikutiku sampai ke sini.

"Kamu belum sarapan?" Suara Mas Hardy terdengar.

Aku tidak mau repot-repot berbalik untuk menyadari bahwa tubuhnya mulai mendekat kearahku. Seharusnya aku diam dan tidak membalas pertanyaannya. Toh dia tidak menyebutkan namaku dalam kalimat tanyanya. Bisa saja dia sedang menanyai orang lain, kan?

"Nggak sempet, Pak." Sayangnya, mulutku tidak mau diajak bekerjasama saat ini.

"Kok manggilnya Bapak?" Bu Yuli menyeletuk ringan, lalu seperti tersadar, matanya membelalak kaget dan memilih untuk segera memutar tubuh dan menyalakan kompor.

Baik aku ataupun Mas Hardy tidak bersuara lagi, tapi atmosfer dalam pantry berubah jadi tegang. Aku menyadari bahwa dua orang anak dari divisi penjualan yang jadi rekan bisik-bisik Bu Yuli hanya pura-pura sibuk dengan gelas mereka. Dari apa yang kulihat dari sudut mataku, aku yakin sekali mereka sedang memasang mata dan telinga baik-baik untuk menikmati adegan kaku yang sedang tersaji gratis ini.

Menyebalkan sekali.

"Minta tolong dianterin ke ruangan ya, Bu. Makasih, Bu Yuli." Tanpa menunggu Bu Yuli mengiyakan permintaanku, aku berbalik. Memberi seulas senyum sambil menganggukkan kepala pada Mas Hardy dan keluar pantry dengan langkah cepat.

Sayang tidak cukup cepat untuk membuat jarak sejauh mungkin dengan langkah Mas Hardy yang panjang-panjang.

"Gen."

Aku mengabaikannya.

"Genara."

Kali ini langkahku terpaksa berhenti karena Mas Hardy menarik tangan kananku.

Tubuh kami saling berhadapan sekarang. Kurasa aku cukup tinggi untuk ukuran perempuan Asia, tapi di hadapan Mas Hardy, tinggi kami tetap saja berselisih jauh. Jadi mau tak mau aku mendongak dan menatap wajah -yang menurut hampir semua wanita di perusahaan ini- tampan itu. Mata Mas Hardy yang biasa tenang itu sedang menyorot marah sementara cekalannya di tanganku semakin menguat.

"Kamu nggak lagi berusaha nyakitin diri kamu sendiri, kan?"

Aku bergeming, sementara Mas Hardy melanjutkan monolognya.

"Aku tahu kamu marah. Kecewa. Sakit hati mungkin. Tapi sembrono sama kesehatan kamu sendiri bukan jalan keluar, Gen."

Yah, dia salah. Aku bukan hanya marah, kecewa, atau sekedar sakit hati. Aku sedih. Aku patah hati. Dan yang dia khawatirkan justru masalah sesepele aku telat makan. Sungguh ironis sekali.

"Mas aja udah cukup nyakitin aku kok. Lebih dari cukup malah. Buat apa aku ikut-ikutan nyakitin diriku sendiri?" Balasku berani.

Kupikir, selanjutnya aku akan mendengar luapan amarahnya atau pembelaan panjang lebar dan sejenisnya, tapi yang terjadi justru Mas Hardy melepas cekalan tangannya. Dia memejamkan mata sebentar sebelum menghela nafas panjang dan mengucapkan nada putus asa dari mulutnya. "Sorry, Gen."

Sesederhana itu?

Kalau saja mengobati lukaku sama mudahnya dengan permintaan maaf Mas Hardy, kurasa aku akan dengan senang hati memaafkannya. Sayang, saat ini aku lebih mengharapkan penjelasan daripada permintaan maaf berulang yang tidak ada artinya ini.

"Tanpa penjelasan, Mas?" Aku benci suaraku yang bergetar, tapi rasa sesak yang kutahan sejak semalam membuatku ingin berteriak.

"Kamu nggak akan mau dengerin sekarang." Sahutnya keras kepala.

Aku tahu tidak bijaksana membahas ini sekarang, apalagi di tempat kerja begini. Tapi sungguh, aku sudah tidak tahan. Emosiku rasanya sudah hampir meledak.

"Apa bedanya? Sekarang, nanti, toh akhirnya akan tetap sama, kan? Aku butuh penjelasan, Mas. Please. Aku nggak mau menebak-nebak dan berakhir dengan nyalahin diri sendiri."

"Bukan salah kamu." Mas Hardy memotong bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

"Lalu?" Kejarku.

Kalau Mas Hardy pikir aku akan diam saja diperlakukan seenaknya begini, dia salah. Aku harus tahu kenapa aku dicampakkan begitu saja.

"Aku cinta sama kamu, Gen. Kamu tahu persis itu."

"Nggak, Mas. Aku nggak tahu. Kalau kamu cinta sama aku, kamu nggak akan berbuat seenaknya gini sama aku."

"Aku tahu." Mas Hardy menyugar rambut hitamnya dengan gestur putus asa. "Tapi cinta aja nggak cukup, Genara."

Dan kalimat terakhirnya sukses membuatku kehilangan kata-kata.

▪▫▪

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now