#21

2.1K 307 43
                                    

Mungkin, linglung adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaanku sekarang. Mendadak rasanya aku kehilangan kemampuan untuk berpikir sejernih dan secepat biasanya. Bahkan sesaat setelah membaca tulisan tak masuk akal itu, aku kesulitan memutuskan untuk merespon seperti apa, sampai kudengar suara Alea lagi.

"Gimana, Gen? Design nya nggak norak kan? Font sama warnanya gimana? Oke kan?"

Aku menelan ludah, tidak tahu harus merespon seperti apa dan bagaimana. Tapi Alea sepertinya juga tidak butuh jawaban. Dia melanjutkan kalimatnya tanpa menungguku mengeluarkan sepatah kata sekalipun.

"Hardy sih udah pasti setuju. Tahu sendirilah gimana dia, yang penting buat Hardy tuh isinya, bukan perintilannya. Tapi ya mana bisa sih? Semuanya kan sama pentingnya."

Aku masih diam. Kuamati cover undangan itu dengan jantung yang sedikit berdebar. Ada rasa penasaran yang membuat tangganku gatal untuk membukanya dan mencari tahu isi di dalamnya. Aku ingin tahu, kebenaran seperti apa yang akan muncul setelahnya. Apakah ini semacam lelucon yang sengaja dibuat untuk menyakitiku, atau ada sedikit saja kemungkinan bahwa apa yang sedang kulihat ini adalah kenyataan.

Tapi bahkan saat khayalanku berlarian memikirkan kemungkinan gila ini, logikaku berteriak keras bahwa tidak mungkin apa yang ada di depan mataku ini adalah kenyataan. Tidak mungkin kan, kami tiba-tiba menikah tanpa ada pembicaraan apa-apa? Bagaimana dengan orangtuaku? Bagaimana dengan orangtua Mas Hardy?

Lagipula, aku tidak yakin Alea akan bersikap setenang dan sebahagia ini kalau tahu Mas Hardy akan menikah dengan oranglain. Tapi, lalu ini apa?

"Ini ... maksudnya apa, Mbak?" Kuberanikan diri memulai.

"Apa?" Alea mendekat, menatap tulisan yang sama di tanganku lalu ber "Ooh" ria. Seolah apa yang baru saja tersaji di hadapannya adalah hal biasa yang tidak mengganggunya sama sekali.

"Apaan sih?" Aku bisa merasakan Mbak Tina bergerak cepat ke arahku. Ia ikut mengintip dari balik bahuku dan langsung memaki seketika itu juga. "Sinting." Katanya begitu menyadari apa yang tidak beres.

Dan seolah pertanyaan Mbak Tina tadi tidak pernah muncul, Alea justru mengabaikannya dan hanya menatap ke arahku.

"Tenang aja Gen. Kebetulan, undangan yang lagi kamu pegang itu cuma sample kok." Katanya tenang. "Design, warna dan semuanya emang sama persis sih, kecuali nama pengantinnya, tentu."

Oke, itu menjelaskan satu hal. Lalu lainnya?

"Tapi, kenapa harus namaku yang ada di situ?"

"Yah, kenapa nggak? Cuma contoh kan?" Sahutnya tak menyelesaikan masalah.

"Lo kenapa sih, Le?" Mbak Tina menyela.

"Nggak kenapa-napa sih, Tin. Cuma pengen tahu aja sebenarnya. Misalnya, gimana bisa hal pertama yang ditanyain Hardy begitu dia sadar adalah, Gena? Gimana bisa dia manggil aku dengan nama dia saat kita lagi berdua? Atau yang lebih sering, gimana Hardy selalu menomor satukan dia dibanding hal-hal lain. Jadi aku pikir, naruh nama Gena di situ nggak akan kenapa-napa kan? Toh sejak lama nama dia selalu nyempil di antara kami berdua."

Alea menatapku sambil tersenyum ketika mengatakan ini. Tapi aku bisa merasakan perubahan atmosfer yang begitu kentara sekarang.

Mungkin suasana yang asing ini meleburkan kemampuan otakku untuk berpikir. Entahlah, rasanya aku nyaris tidak memahami setengah dari apa yang dikatakan Alea barusan.

"Harusnya lo tanyain ini ke Hardy dan bukan malah bikin lelucon yang nggak lucu kayak gini, Le." Mbak Tina menyahut lagi sebelum aku terlihat semakin bodoh di sini.

"Nggak lucu ya? Yah, sayang banget. Padahal aku niatnya mau ngasih sedikit hiburan buat Genara. Dari apa yang aku denger, kemaren kamu khawatir setengah mati sama keadaan Hardy kan, Gena? Belum lagi harus menerima kenyataan kalau Mamanya Hardy bahkan nggak tertarik untuk sekedar kenal sama kamu. Jadi, aku pikir, bisa melihat nama kamu bersanding sama Hardy bakal bikin kamu terhibur. Yah, meskipun jelas ini cuma lucu-lucuan dan nggak bakal terjadi di dunia nyata, paling nggak, salah satu impian kamu terpenuhi kan, Gena?"

"Bercanda lo nggak lucu, ya!" Mbak Tina menudingkan jarinya ke arah Alea dengan marah.

Sejujurnya, yang ingin kulakukan sekarang adalah berbalik dan bersembunyi di balik Mbak Tina seperti biasa. Aku asing dengan suasana ini, jujur saja. Seumur hidup, belum pernah aku merasa dipermainkan dengan begitu menyedihkan seperti sekarang. Seolah aku, perasaan dan segala impianku hanya sekedar gurauan yang tidak berarti apa-apa bagi mereka.

Tapi kurasa ini tidak akan menyelesaikan apapun. Biar bagaimanapun, ini bukan pertempuran Mbak Tina. Tidak adil membiarkannya terus-menerus menjadi tamengku.

"Jadi, waktu Mbak memutuskan untuk tunangan sama Mas Hardy, Mbak tahu kalau dia masih punya pacar, kan?" Kuputuskan untuk membuat ini sejelas-jelasnya.

"Tahu." Sahutnya tenang. "Meskipun dia nggak bilang apa-apa, tapi, apa sih yang nggak aku tahu tentang Hardy? Lagian ya Gen, kekuasaan itu bisa bikin kamu gampang buat mendapatkan apapun loh, apalagi cuma informasi remeh kayak gini. Cobain deh."

Tanganku terkepal. Entah sedang menahan diri untuk tidak memukuli wajah mulus di hadapanku itu atau untuk menguatkan diriku sendiri, aku tidak yakin.

"Jadi, semua sikap sok polos Mbak selama ini, untuk apa?"

Alea tertawa. Anehnya, tawanya sama sekali tidak terdengar merdu di telingaku. "Ini lucu loh, Gen. Beneran. Lihat ekspresi sok tegar kamu atau raut tertekan di wajah Hardy, itu menyenangkan. Rasanya adil membiarkan kalian tersiksa sementara kalian diam-diam tetap pacaran di belakang punggungku."

Ooh, begitu ya? Jadi, segala upayaku untuk menata hati dan menempatkan diri selama ini hanya dianggap sebagai lelucon menyenangkan baginya? Begitu?

"Bukannya kebalik?" Kuputuskan untuk balik menyerang. "Mbak kan, yang diam-diam tunangan sama pacar orang?"

Alea hanya mendengus pendek. "Wah, hebat. Sekarang kamu memposisikan diri sebagai korban. Bagus sekali, Gena. Merasa nggak bersalah, seolah paling disakiti dan minta dikasihani karena ditinggal Hardy, gitu?"

"Aku nggak pernah minta dikasihani, apalagi harus mendapatkannya dari orang seperti Mbak. Dan kalau-kalau Mbak belum sadar juga, sebenarnya justru Mbak yang lebih perlu dikasihani di sini, kan?"

"Lancang ya mulut kamu!"

Aku tidak memperkirakan ini, jadi aku benar-benar terkejut saat Alea menerjangku secara tiba-tiba dan mendorongku dengan keras. Beruntung, ada Mbak Tina yang dengan sigap menahan tubuhku agar tidak terpelanting ke lantai.

"Alea!" Mbak Tina berteriak, mungkin maksudnya ingin menghentikan segala kegilaan Alea. Sayang, kami tidak sendiri di ruangan ini. Masih ada beberapa orang di sekitar tangga dan otomatis membuat kami jadi tontonan sekarang.

Alea mengabaikan Mbak Tina dan kembali menatapku dengan tajam. Seandainya tatapan bisa melukai, aku yakin aku pasti berdarah-darah karena tatapan sengit yang Alea hujamkan kepadaku sekarang ini.

"Kamu cuma lagi merasa di atas angin, Genara. Mungkin menurut kamu, dicintai Hardy, didukung teman-teman dan lingkungan sekitar kalian aja cukup untuk membuat kamu bertahan di hidup Hardy." Alea berdecih. "Cinta aja nggak cukup buat mewujudkan khayalan negeri dongeng kamu, Genara."

Aku tahu. Alea tidak perlu repot-repot mengingatkanku tentang itu sekarang. Tapi saat ini aku sedang tidak mau mengakui kekalahan. Alea tidak sebaik itu, dan aku juga tidak mau bersusah-payah untuk berbuat baik padanya.

"Tahu nggak sih Mbak? Selama ini aku pikir Mbak cuma perempuan manja menyebalkan yang berharap setiap keinginannya terpenuhi. Tapi hari ini aku baru sadar kalau ternyata Mbak itu cuma perempuan menyedihkan yang bahkan gagal dicintai sama calon suaminya sendiri."

Detik berikutnya, aku mendengar banyak sumpah serapah, makian dan teriakan terkejut dari beberapa suara yang berbeda. Aku juga bisa merasakan kedua tangan berkuku panjang milik Alea merontokkan beberapa helai rambutku dan menggores kulit pipiku dengan buas.

Tapi tidak apa-apa. Kurasa aku harus merasa puas setelah berhasil melayangkan sebuah pukulan keras ke rahangnya dan membuatnya menjauh sambil menangis kesakitan.


◾◽◾

Sometimes, Love Just Ain't EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang