#15

2.3K 245 23
                                    

Pintu di hadapanku itu tidak berubah dan masih tertutup rapat meskipun sudah kupelototi selama hampir dua menit penuh. Pemiliknya jelas masih berada di sana. Aku tahu betul soal itu. Yang tidak kutahu hanyalah bagaimana keadaannya saat ini.

Sore tadi Mas Hardy kembali dengan wajah yang semakin pucat sambil mengeluhkan perutnya yang terasa tidak nyaman. Tapi bukannya bergegas pulang untuk istirahat, laki-laki 33 tahun itu justru naik ke atas untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Aku paham bahwa laki-laki itu sedang mengupayakan kelancaran perusahaan. Tapi sungguh, kurasa pekerjaannya tidak akan selesai tepat waktu kalau dia memaksakan diri begini.

Dan jangan salah paham, aku bukannya sedang menghawatirkan Mas Hardy. Dia laki-laki dewasa yang harusnya sudah paham betul bagaimana keadaan tubuhnya. Tidak, aku tidak mencemaskannya. Aku hanya takut janji temu yang sudah ku janjikan pada Koh Welly sejak kemarin batal karena keadaan Mas Hardy, itu saja.

Alasan itu juga yang sepertinya membuatku nekat naik ke atas sambil membawa satu strip obat maag yang kubeli setelah makan siang tadi. Bukannya apa-apa, setahuku Mas Hardy memang sering melewatkan waktu makan saat pekerjaannya sedang hectic begini. Jadi kupikir obat maag akan membantu mengurangi rasa tidak nyaman di perutnya, jadi dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Masalahnya, aku tidak mungkin menyerahkan obat di tanganku tanpa mengundang kecurigaan Mas Hardy. Malas saja membayangkan dia tersenyum lebar dengan tingkat kepercayaan diri selangit dan mengira aku peduli.

Tapi tidak mungkin membatalkan pertemuan dengan Koh Welly semepet ini. Semua orang tahu kalau laki-laki itu bukan tipe penyabar. Bisa-bisa justru akulah yang akan kena omel pengusaha burung walet itu nanti.

Jadi sambil menahan napas, aku mengangkat tangan untuk mengetuk.

"Mbak?"

"Allohu Akbar!" Seruku, terkejut setengah mati.

"Hehehe, maaf Mbak Gena, jadi ngagetin." Di sampingku, Bu Yuli cengengesan sambil memegang baki berisi segelas teh.

"Ini teh panas, Mbak." Terangnya, seperti bisa membaca pertanyaan tak terlontarku. "Buat Pak Hardy. Sakit sih kayanya. Tadi sempet muntah juga di toilet bawah. Masuk angin mungkin. Ini saya bawain minyak angin sama koin, siapa tahu orangnya mau dikerok."

Aku tidak bisa menahan cengiran. Senang karena akhirnya mendapat alasan untuk tidak menemui Mas Hardy, sekaligus geli sendiri membayangkan Mas Hardy membiarkan Bu Yuli mengerok bagian punggungnya.

"Ya udah, nitip ini ya Bu." Kutaruh strip obat maag itu di atas nampan, tepat di sebelah teh panas buatan Bu Yuli.

"Kok nggak dikasih sendiri, Mbak?"

"Ini punya Mas Hardy kok Bu." Akan menjadi miliknya, maksudku. Tapi kurasa aku tidak harus menjelaskan detailnya pada Bu Yuli. "Nitip ya, mau nyelesain kerjaan. Makasih, Bu Yuli."

"Mbak ...."

Aku sudah berbalik dan hampir melangkah saat suara ragu-ragu Bu Yuli menahanku lagi.

"Emmm ... Kemarin, pacar barunya Pak Hardy ke pantry Mbak, trus nanya-nanya."

"Nanya-nanya apa?" Kali ini rasanya aku sudah bisa menebak jawaban apa yang akan diberikan Bu Yuli.

"Nanyain Mbak Gena. Nanyain Pak Hardy. Mau tahu, kalian deket apa nggak, gitu. Saya bilangin aja Mbak, jangankan sama Mbak Gena, sama saya aja Pak Hardy juga deket kok, sering beli-beliin makanan malah."

Aku tersenyum. Bu Yuli mengingatkan tentang satu lagi sifat Mas Hardy yang kusuka.

"Trus orangnya nanya lagi Mbak, siapa pacar Mas Hardy sebelum ini." Sambil mengatakan ini, Bu Yuli menatapku takut-takut. "Trus saya jawab, seharusnya dia tanya ke Pak Hardy langsung. Dibanding saya, jelas Pak Hardy yang lebih tahu. Bukannya saya malu mengakui Mbak Gena atau nggak pengen ngakuin Mbak, tapi kalau Mas Hardy aja nggak cerita, berarti hubungan mereka nggak sebaik itu kan, Mbak?" Lanjut Bu Yuli cepat, seolah khawatir aku akan marah dengan keputusannya itu.

Aku memberi Bu Yuli anggukan dan senyum menenangkan meskipun rasanya sungguh miris.

Aku tidak tahu darimana Bu Yuli mendapat teorinya itu, tapi sepertinya hubungan mereka jauh lebih baik dari perkiraan Bu Yuli. Kalau tidak, mana mungkin mereka berani berkomitmen sampai sejauh ini?

"Mbak Gena nggak marah kan?" Lanjutnya  memastikan.

"Nggak Bu, santai aja. Aku tinggal ya, Bu. Masih ada kerjaan." Pamitku lagi, lalu bergegas turun untuk menghindari percakapan yang bisa membuat kepalaku berdenyut ini.

Ruangan sudah sepi saat aku kembali. Mbak Tina sepertinya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk pulang tepat waktu, makanya dia sudah menghilang sebelum diminta untuk lembur.

Dan meskipun Mbak Tina sempat curiga karena aku tidak ikut pulang bersamanya, toh nyatanya aku lega dia tidak bersikeras menungguiku. Aku tidak ingin menjelaskan kenapa aku harus memastikan keadaan Mas Hardy, yah, paling tidak sampai kulihat dia berangkat menemui Koh Welly.

Selain tidak yakin bagaimana harus menjelaskannya, kurasa Mbak Tina juga tidak akan mengerti. Karena toh nyatanya aku sendiri juga tidak mengerti apa alasanku melakukannya.

"Gena ...."

Untuk kedua kalinya dalam lima menit terakhir, aku dikagetkan dengan suara panggilan.

"Mas?" Ucapku begitu menoleh dan melihat Mas Hardy menuruni tangga sambil meringis kesakitan.

"Belum pulang?" Tanya Mas Hardy yang tak perlu kujawab. Sepertinya ia juga tidak membutuhkan jawaban. Ia berlalu dari hadapanku dan langsung menghempaskan dirinya di sofa sambil memejamkan mata.

"Mas sakit?" Kali ini kalimat itu keluar juga dari mulutku.

Mas Hardy masih tetap memejamkan matanya, tapi ada sebaris senyum yang tercetak di bibirnya.

"Iya. Makasih obatnya, Gen. Tapi rasanya bukan seperti maag yang biasanya." Jawabnya pelan.

Aku mendekat dan menyadari bahwa wajah Mas Hardy terlihat semakin pucat. Dia bahkan terlihat kesakitan saat bernafas.

"Ke dokter ya Mas."

Mas Hardy mengangguk lemah, lalu tersenyum lagi. "Pesenin ojek online ya Gen, tolong. Aku nggak kuat nyetir."

Jelas. Sekali lihat pun aku yakin keadaan Mas Hardy sedang tidak baik-baik saja. Sejak tadi dia hanya menyandar pada sofa sambil memejamkan matanya. Dan mulutku rasanya sudah begitu gatal untuk mengomelinya.

"Gen, sini deh." Pintanya yang kuabaikan begitu saja.

Aku memang khawatir, tapi aku tidak segila itu untuk mau duduk di sampingnya dalam jarak sedekat itu.

"Gena ...."

Aku mengabaikannya lagi. Memilih sibuk membuka aplikasi dan mencari rumah sakit terdekat daripada harus mengamati laki-laki itu lagi.

"Mas!" Kakiku otomatis mendekat saat Mas Hardy berdiri limbung dan nyaris kehilangan keseimbangan. Aku bahkan membiarkan laki-laki berkulit coklat ini menggunakan tubuhku sebagai penyangga.

Berat adalah hal pertama yang terlintas di kepalaku saat membantu Mas Hardy kembali duduk ke posisi awalnya. Tapi ada hal lain yang lebih menggangguku sekarang.

"Mas Demam."

Dia mengangguk, meringis kecil lalu menjatuhkan kepalanya di pundakku.

"Mas!" Aku berusaha menjauh, tapi nyatanya kalimat lemahnya sukses membuatku bertahan di tempat.

"Please, bentar aja, Gen."




◾◽◾

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now