#2

2.5K 275 21
                                    

"Tapi cinta aja nggak cukup, Genara."

Aku tidak menanggapi, bahkan bergerak pun tidak. Atau mungkin, jangan-jangan aku juga lupa bagaimana caranya bernafas, entahlah. Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, tapi Mas Hardy menatapku dengan sorot kesakitan sebelum akhirnya mengumpat keras.

"Kamu harus ngerti, Gen. Ini nggak mudah. Aku juga sama sakitnya seperti kamu." Dia berkata dengan nada memohon yang begitu kental.

Sayang, aku meragukan itu sekarang. Tapi kubiarkan saja Mas Hardy mengeluarkan segala omong kosongnya.

"Tapi aku nggak bisa egois.."

Dia sudah melakukannya. Aku menambahkan dalam hati.

"Ada keluarga dan banyak orang yang bergantung pada keberlangsungan kerjasama keluarga kami, Gen. Kami nggak bisa mengabaikan mereka begitu saja."

Kami.

Dia bilang, Kami.

Jadi, sekarang keduanya sudah membentuk satu kesatuan bernama 'Kami', begitu kan?

"Aku minta maaf, Gen. Kamu tahu aku nggak akan mungkin ngelakuin ini kalau nggak terpaksa. Aku.."

"Aku ngerti kok, Mas. Aku ngerti." Selaku, mengangguk-anggukkan kepalaku saat mengatakan hal ini. "Aku paham. Cinta aja nggak cukup. Bener, kan?"

"Gen.."

Tangan Mas Hardy mencoba meraihku, tapi mendadak dia membatalkannya sendiri ditengah jalan. Aku tidak tahu apa alasannya. Mungkin dia tiba-tiba sadar bahwa kontak fisik semacam ini tidak diperlukan lagi pada hubungan yang sudah tidak ada lagi seperti sekarang, atau barangkali dia hanya sedang menghargai perasaan tunangannya dengan tidak menyentuh wanita lain. Entahlah, aku tidak ingin tahu.

"Mas Hardy tenang aja, aku ngerti." Ulangku.

Sejujurnya, aku tidak mengerti kenapa aku terus menerus mengulang kalimat itu. Yang jelas, aku ingin ini diakhiri sekarang juga.

"Satu pertanyaan terakhir kalau boleh."

"Gen.."

"Pertunangan ini nggak direncanakan dalam satu hari dan langsung direalisasikan saat itu juga, kan, Mas?"

Saat Mas Hardy tidak langsung menjawab dan memilih menyugar rambutnya sambil mengumpat lagi, aku sudah bisa menebak bahwa jawaban yang sedang dia tunda akan lebih menyakitiku. Tapi aku tetap memilih diam dan menunggunya menjatuhkan bom.

"Sebulan lalu." Akunya lemah, menatapku dengan sorot menyesal. "Pertunangan kami sudah direncanakan sejak sebulan yang lalu."

Aku mengangguk.

Harusnya sejak dulu aku mengerti. Dari awal, kami sudah.. Oh, maafkan aku. Aku lupa kalau tidak ada lagi 'Kami' diantara aku dan Mas Hardy.

Seharusnya aku mengerti kenapa dari awal Mas Hardy terkesan menyembunyikan hubungan kami dari orang-orang terdekatnya. Dari awal Mas Hardy memang sudah tidak yakin dengan hubungan ini. Aku saja yang bodoh dan berharap bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Aku lupa kalau dalam kehidupan nyata, harta, tahta dan kasta masih memegang peranan yang begitu penting. Dan seperti katanya tadi kan? Cinta saja tidak cukup, apalagi untuk sekedar mempertahankan masa depan bisnis keluarga mereka.

"Oke, Mas. Aku ngerti sekarang." Kataku akhirnya saat tidak menemukan kalimat yang lebih baik lagi.

Mas Hardy mengumpat lagi. Aku tidak tahu siapa yang sedang dia umpati. Mungkin aku, mungkin dirinya sendiri, terserah. Yang jelas, ini rekor terbanyak Mas Hardy mengumpat di hadapanku dalam satu hari.

"Kamu salah paham, Genara."

"No." Tegasku. "Aku paham. Aku ngerti."

Aku tidak akan merendahkan diriku dengan berpikir bahwa selama ini Mas Hardy Cuma menganggapku sebagai selingan. Pengisi kekosongan saat hubungan Mas Hardy dan tunangannya yang sekarang sedang bermasalah atau membosankan atau apalah. Yang jelas, aku tidak lagi yakin kalau Mas Hardy pernah mencintaiku. Yah, kalaupun rasa itu nyata, bukankah dia sendiri yang mengatakan kalau cinta saja tidak cukup? Jadi apalagi yang mau dibicarakan? Kurasa semuanya sudah sangat jelas sekarang. Aku, kami, tidak pernah memiliki tempat berharga apapun dalam hidupnya. Sesederhana itu.

"Nggak, kamu nggak ngerti, Gen. Kamu selalu mengambil kesimpulan semaumu kalau lagi marah. Sekarangpun aku yakin kamu sedang menyusun naskah dramatis yang nggak masuk akal dalam kepala kamu itu."

Aku tidak akan menyangkalnya. Aku kadang memang suka overthinking dan berpikir kemana-mana saat sesuatu tidak berjalan sesuai harapanku.

"Kamu.." Mas Hardy sudah membuka mulutnya untuk mendebatku lagi, tapi untungnya aku diselamatkan dengan kehadiran Pak Danang, pengawas lapangan kami.

"Gen!"

Aku menunduk sebentar, mengusap ujung mata sebelum menoleh kearah Pak Danang yang menghampiri kami dengan langkah tergesa.

"Design Koh Welly rubah lagi. Jadwalin ketemu Mbak Reta secepetnya, ya. Mau dibuat ngurus kredit dulu soalnya."

"Iya, Pak." Sahutku otomatis, bahkan sebelum Pak Danang sampai di ujung kalimatnya.

"Sekalian kirimin alamat untuk survey lokasi hari ini, Gen." Aku mengangguk saja. "Oh, selamat untuk pertunangannya ya, Mas Hardy."

Pak Danang menambahkan, seolah baru saja ingat tentang keberadaan Mas Hardy disini. Ia lalu menyalami Mas Hardy, tapi kulihat bahkan tidak ada senyum disana. Tatapannya garang dan gesturnya kaku. Tidak ada lagi cengiran khas Pak Danang yang biasa dipasang saat menggoda kami berdua. Dan dadaku terasa semakin sesak menyaksikannya.

"Ayo Gen, masuk dulu. Mari Mas Hardy." Katanya lagi, melangkah menjauh dengan langkah panjang dan langsung kuekori tanpa perlu berpikir.

▪▫▪

Harusnya Genara langsung muterin lagu Nia Daniati yang ini :

Cintamu, cinta apa? (huwo huwo huwo)

Sayangmu, sayang apa? (huwo huwo huwo)

Setiamu, setia apa? (huwo huwo huwo)

Manisnya di bibir saja (hu hu)..

Eh, ada yang pernah denger lagu ini nggak sih?

Atau cuma aku aja? Ya Tuhan, jadi berasa tua.

Sometimes, Love Just Ain't EnoughOù les histoires vivent. Découvrez maintenant