#25

2K 271 24
                                    

"Lo bolos, ya?"

"Nggak lah." Aku membalas cepat dengan nada tak terima, seolah tuduhan yang dilayangkan Abang barusan begitu menyinggungku.

"Trus ngapain nggak kerja dan malah ngintilin gue sih?"

Ini masih pagi. Pradnya masih sibuk mengunyah sarapannya dan Papa juga belum pulang dari pasar. Tapi bahkan sepagi ini, aku sudah kebingungan tentang apa yang akan kulakukan di rumah.

"Siapa yang ngintilin? Rumah kita bukan stadion ya, Bang. Kemungkinan kita papasan atau berada di area yang sama itu sama sekali bukan kesengajaan." Jawabku mengelak.

"Trus ngapain lo nggak kerja? Lo nggak mendadak punya sistem kerja kayak gue yang tiap 56 hari masa kerja dapat cuti 17 hari, kan?"

Tidak, tentu saja tidak. Aku bukan karyawan tetap yang bekerja di perusahaan pertambangan dan tinggal di mess seperti Abang. Mana mungkin aku mendapat keistimewaan itu?

Ini jelas bukan hari liburku, aku juga tidak tampak sedang sakit dan tidak mau berpura-pura untuk itu. Mengaku kalau aku sedang kena hukuman berarti aku juga harus menceritakan tentang Mas Hardy dan segala kerumitan-kerumitan yang terjadi. Dan jujur saja, aku benar-benar enggan untuk itu.

Jadi alasan apalagi yang bisa kuberikan pada semua orang kecuali, "Aku ambil cuti, Bang. Cuma tiga hari. Semalem aku udah bilang, kan?"

Bukannya langsung percaya, Abang malah bersedekap. Sambil menampilkan ekspresi curiga yang berlebihan, Abang juga mengamatiku lekat-lekat, seolah berharap menemukan kejanggalan entah apa.

"Tumben banget." Celetuknya, seakan dia berada di sini setiap hari dan tahu persis apa-apa saja yang kulakukan.

Aku mengangkat bahu, bersikap seakan tak peduli dan berharap Abang tidak curiga. "Aku tuh diizinin cuti tiga hari, Bang. Mau ngabisin waktu sama Abang sebelum Abang balik masa nggak boleh sih?"

"Hmm.. Aneh." Responnya.

"Abang kan baru pulang lagi tahun depan, Bang. Jangankan cuma cuti tiga hari, nekat cuti seminggu aja aku juga bisa kok."

Gombalan ini sangat berlebihan dan jelas tidak benar, aku tahu. Tapi bagaimana lagi? Aku memang tidak sempat berpikir saat menyahuti argumen Abang barusan.

"Bentar deh. Jangan-jangan ini ada hubungannya sama laki-laki semalem?" Tebaknya dengan benar.

"Yang mana?" Tanyaku balik, mencoba mengulur waktu sambil berusaha mengumpulkan imajinasi untuk mengarang-ngarang cerita.

"Kata Mama, semalem ada cowok 'mantuable' yang dateng nyariin lo."

"Hahaha, ganteng dong berarti?" Selorohku sambil tertawa.

Tak terpengaruh barang sedikit, Abang hanya menyahuti datar. "Mungkin. Jadi?"

Aku menggeleng. "Nggak ada hubungannya. Dia atasan di tempat kerja, Bang. Bukan gebetan apalagi calon mantu buat Mama."

"Kata Papa, pas semalem dateng dia kayak orang sakit. Pucet gitu. Trus ngapain dia bela-belain sampai ke sini? Ngasih tugas buat lo? Nanyain kerjaan hari ini? Nggak masuk akal sama sekali."

"Dia emang lagi sakit, sih. Dua hari yang lalu baru operasi usus buntu malah. Itu juga mau ke rumah sakit kok. Kebetulan lewat sini aja mungkin."

"Kebetulan?" Abang memasang senyum mengejek terbaiknya. "Bener sih. Rumah kita kan emang mall di tengah kota yang bisa diakses dari mana aja ya, Gen? Pantesan gampang banget buat mampir ke sini."

Aku kebingungan membalas kalimat Abang. Jadi sementara otakku berputar mencari alasan, Abang menyerangku lagi.

"Jadi ngapain atasan lo kesini?"

"Nanyain tentang cuti."

"Nanyain gimana?"

"Yaa ... nanyain. Jadi cuti apa nggak? Mau cuti karena apa? Berapa hari ambil cutinya? Kalau ditinggal cuti, kerjaan siapa yang ngurusin? Gitu-gitu lah Bang." Aku menghindari menatap mata Abang saat mengatakan kebohongan ini.

"Dan nggak bisa lewat telepon aja, gitu? Harus banget dateng malem-malem pas sakit?"

"Kan sekalian mau ke rumah sakit, Bang."

"Rumah kita nggak sejalur sama rumah sakit ya, Gen. Lo juga pasti tahu itu. Dari jalan utama, masuk ke jalan gede, trus masuk jalan yang agak gede, masuk jalan kecil, trus lebih kecil lagi baru masuk ke area perumahan kita. Jadi istilah 'mampir' bener-bener nggak cocok buat kondisi semalem. Dia naksir sama lo?"

Kali ini aku mengeluarkan tawa panjang. Setengah mengulur waktu, setengahnya lagi sungguh-sungguh berharap bahwa aku bisa menertawakan hal ini sebagai lelucon konyol dan tidak menyakitkan.

"Dia udah punya tunangan, tahu. Udah mau nikah juga. Ya kali dia naksir sama aku, Bang."

Mengatakan kenyataan ini memang tidak semenyedihkan hari-hari kemarin, tetapi tetap saja, masih ada sedikit sesak yang tak kunjung hilang.

"Atau jangan-jangan malah lo yang naksir sama dia?"

"Ya siapa yang nggak suka sama dia sih, Bang? Hampir semua cewek di kantor juga suka sama dia lah. Secara fisik aja udah menggiurkan banget. Iya kan? Wajah ganteng, dada bidang, kulit coklat seksi, ting ... aduh!"

Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku saat tiba-tiba Abang melangkah mendekat dan langsung menjitak kepalaku dengan keras.

"Sakit, Bang!"

"Biar pikiran lo sehat. Kepala kok isinya kotor banget."

"Enteng banget ya itu tangan." Gerutuku sambil terus mengusap kepalaku yang terasa panas.

"Jadi, dia kesini beneran buat nanyain masalah cuti lo?"

"Kenapa balik ke situ lagi sih, Bang?"

"Ya karena cerita lo banyak celahnya, Gen. Nggak masuk akal."

Oke, aku tidak akan membantah hal ini. Semua cerita yang kukarang tentang kedatangan Mas Hardy semalam memang tidak masuk akal sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak pintar untuk yang satu ini.

"Kalau Abang nggak percaya, Abang tanya Gara aja deh." Kataku akhirnya.

"Gara? Dia ikut ngobrol sama atasan lo?"

"Ya nggak lah. Tapi dia ada di sana semalem. Paling nggak, dia denger apa yang kami bicarakan. Abang tanya dia aja."

Aku tidak bermaksud menjual nama Gara dan menjadikannya tameng untuk kebohongan yang kuciptakan. Tapi kalau ada satu hal yang akan membuat Abang menaruh percaya, itu memang Garaksa.

"Tumben dia nggak langsung pulang setelah nganter lo balik?"

Aku hanya mengangkat bahu dan tidak menjawab. Tapi dari ekspresi dan nada bicaranya, aku yakin Abang sudah menyerah untuk menginterogasiku lebih lanjut tentang Mas Hardy. Yah, membawa-bawa nama Gara memang semanjur itu untuk Abang.

Lega karena Abang sudah melunak, aku berniat kembali ke kamar dan menghubungi Gara secara diam-diam untuk mencocokkan cerita. Tapi keramaian di rumah saat Mama mengomeli Pradnya yang terlambat berangkat dan kehebohan saat Papa pulang membawa burung murai -lagi- membuatku melupakan rencana sederhana ini.

Aku baru ingat rencana awalku tadi saat Gara datang hampir satu jam kemudian untuk menjemputku. Sialnya lagi, Abang sedang berada di sebelahku saat Gara dengan polosnya menyeletuk, "Kok belum siap, Ra?"

◾◽◾

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now