#16

2K 253 22
                                    

Aku tidak tahu malaikat atau justru setan mana yang membisiki telingaku dan membuatku mau mengekori Mas Hardy dari UGD sampai ke ruang perawatan begini. Aku bahkan tidak tahu yang kulakukan ini benar atau salah, tapi rasanya sungguh keterlaluan kalau aku sampai tega membiarkannya ke rumah sakit sendiri dengan kondisi seperti sekarang.

"Koh Welly udah dihubungi kan, Gen?"

Aku mengangguk. "Udah Mas."

Yah, meskipun waktunya terpaksa mundur satu jam dari jadwal dan membuatnya mengamuk, syukur saja Koh Welly masih bisa melunak dan mau diajak bertemu Pak Tyo.

"Besok, waktu Pak Tyo ketemu sama calon-calon penggantinya Reta, jangan lupa ikut Gen. Pastiin mereka fokus di kerjaan dulu dalam waktu dekat ini. Ingetin sama Pak Tyo, aku nggak peduli anak baru ini dibawa siapa, kenalan siapa atau direkomendasiin sama siapa. Dia harus bisa diajak kerja keras. Jangan pilih yang terlalu idealis kalau nggak mau berakhir kayak Reta kemarin. Pilih juga yang punya persediaan sabar paling banyak, jaga-jaga kalau klien kita ke depannya sama nyebelinnya kayak Koh Welly."

Aku mengangguki ucapan Mas Hardy tanpa betul-betul mendengarkan. Kalau di ingat-ingat lagi, rasanya sejak sampai di rumah sakit lebih dari sejam yang lalu, nyaris tidak ada percakapan diluar pekerjaan yang kami lakukan.

Bukannya aku mengeluh. Seharusnya aku justru merasa bersyukur, kan? Setidaknya, aku punya alasan masuk akal yang membuatku bisa membenarkan tindakanku sekarang. Apa yang kulakukan di sini saat ini serta-merta hanya urusan pekerjaan dan sedikit rasa kemanusiaan. Benar, kan?

Yah, anggap saja begitu.

"Aku cuma kena usus buntu, Gen. Jangan pasang ekspresi seolah aku mau mati besok dong." Laki-laki yang di tangannya terpasang selang infus itu malah berseloroh.

Aku mendengus.

Seenaknya saja dia membercandai penyakitnya sendiri. Dia tidak tahu saja betapa lemasnya lututku saat dokter menyatakan bahwa hasil USG Mas Hardy menunjukkan bahwa sakit perut yang dikeluhkannya bukan sekedar maag biasa. Laki-laki sok tangguh itu terkena usus buntu.

Ada sumbatan yang terjadi di lapisan ususnya. Bakteri yang berkembang biak dengan cepat akhirnya menyebabkan apendiks miliknya meradang, bengkak, dan penuh nanah. Mas Hardy harus mendapatkan operasi agar tidak terjadi infeksi. Paling tidak, itulah yang berhasil kutangkap dari apa yang dikatakan dokter padaku tadi.

Dan bukannya menghawatirkan kondisinya saat itu, Mas Hardy malah menghujaniku dengan penjelasan panjang lebar tentang apa saja yang harus kulakukan untuk mengatasi jadwal pekerjaan kami yang amburadul karena ia dipastikan akan bermalam di sini sampai beberapa hari ke depan.

"Genara ...." Panggilan lirih Mas Hardy membuatku mendongak dan menatapnya. "Makasih." Tambahnya, tersenyum.

Aku sudah hampir menolak ucapan terimakasih Mas Hardy dan memberikan penjelasan panjang lebar tentang alasanku disini yang sepenuhnya murni hanya karena tuntutan pekerjaan, tapi aku membatalkannya. Sebagai gantinya, aku hanya memberinya anggukan singkat. Lebih cepat begitu.

"Kamu belum makan." Tambahnya yang belum sempat kusahuti karena sibuk memeriksa ponselku yang sedang berdering pelan.

"Bentar, Mas." Pamitku, bergeser menjauh ke dekat pintu sebagai upaya mempertahankan sopan santun. "Halo, Ga?"

"Hai." Suara Gara terdengar. "Cuman mau ngasih tahu kalau aku ada di parkiran. Takutnya kamu keburu pesen ojol trus kita selisih jalan."

Aku mengerutkan kening tak mengerti. "Parkiran?"

"Iya. Parkiran rumah sakit. Tadi aku ke kantor kamu. Trus security bilang, kamu lagi nganterin atasan kamu ke sini. Ya udah, aku susulin aja."

Aku memijit pelipisku pelan. Di antara segala hiruk-pikuk yang terjadi, aku memang melupakan janji untuk pulang bersama Gara yang kubuat tadi pagi. Kalau laki-laki itu tidak menghubungiku lebih dulu, aku jelas tidak akan ingat sama sekali.

"Sorry ya, Ga." Aku tulus ketika mengatakan ini. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatnya berputar-putar dan menunggu lebih lama seperti sekarang. "Kamu mau duluan aja?"

"Masih lama?"

Kulirik ranjang Mas Hardy. Di sana, dia sedang memandangiku dengan tatapan tajam yang membuat salah tingkah. Sedikit salah tingkah, maksudku. Mungkin dia merasa terganggu karena aku malah sibuk membuat suara sementara dia sudah ingin beristirahat, entahlah.

"Belum tahu. Belum ada yang gantiin nih." Lirihku.

"Ya udah. Santai aja, Ra. Aku tinggal beli kopi di depan ya." Pamitnya yang langsung kuiyakan tanpa perlu banyak berpikir.

"Garaksa lagi?" Suara Mas Hardy mengisi keheningan yang tercipta di dalam ruangan.

"Iya."

"Rajin bener deketin anak orang." Sambungnya lagi.

Aku mengangkat bahu. "Disuruh Abang, kan?"

Mas Hardy tidak bereaksi. Dia hanya terus memandangiku dengan tatapan lekat yang membuatku jengah. Dan tepat ketika aku hendak menegurnya, Mas Hardy bicara lagi.

"Ayo balikan, Gen." Ucapnya tiba-tiba. "Jadi pacarku lagi, please."

Aku mengamatinya beberapa lama. Wajah pucat dan ekspresi memelas yang dia tampilkan tidak berhasil menggoyahkan hatiku, untungnya.

Kuputuskan untuk menyeletuk ringan, "Mas cuma kena usus buntu, ya. Bukan amnesia. Dan kalaupun Mas udah lupa, aku masih inget dengan baik kalau sekarang ini Mas Hardy punya tunangan."

Mas Hardy lalu tertawa. Dan meski dia tertawa dengan begitu keras, entah kenapa aku bisa ikut merasakan kegetiran di dalamnya.

"Oh ya, Tina jadi ikut meeting sama Pak Tyo, ya?" Tanya Mas Hardy mengalihkan pembicaraan.

Mungkin Mas Hardy juga sadar kalau membicarakan masalah pribadi kami hanya akan menambah kadar stres dalam tubuhnya, jadi aku lega karena Mas Hardy memilih untuk mengubah topik pembicaraan kami sekarang ini.

"Iya Mas. Aneh banget, tahu. Padahal kan Mbak Tina udah pulang sejak sore. Kok bisa-bisanya ikut meeting mendadak gitu? Tumben banget." Aku menyambutnya antusias.

"Kamu nggak tahu?" Tanyanya, memberiku senyum misterius yang manis.

"Apa?"

"Mereka kan lagi pedekate, Gen."

"Hah?" Aku bahkan tidak peduli bahwa laki-laki di hadapanku ini sedang menunggu jadwal operasinya dan mungkin akan merasa terganggu dengan suara kerasku.

Aku menggeser kursiku mendekat begitu saja dan menyerbu Mas Hardy dengan rentetan pertanyaan. "Beneran Mas? Kok bisa sih? Sejak kapan? Kok aku nggak tahu?"

Mas Hardy tertawa lagi. Tawa lepas pertama yang rasanya sudah begitu lama tidak kulihat.

Aku tidak tahu bagaimana pendapat orang lain, tapi sekarang, di hadapanku, wajah kusut yang beberapa waktu belakangan selalu kulihat itu menghilang. Rasanya sekarang aku sedang melihat Mas Hardy yang lain. Sosok Mas Hardy yang penuh semangat dan begitu hangat, laki-laki yang ku kenal dan pernah membuatku jatuh cinta itu muncul lagi sekarang.

Aku sempat tertegun untuk beberapa detik sebelum menyadari bahwa entah sejak kapan aku juga ikut tersenyum melihatnya.

"Katanya sakit, kok ketawanya keras bener sih?"

Tawa Mas Hardy seketika berhenti. Senyumku juga ikut menghilang dengan cepat saat melihat bahwa seorang wanita enam puluhan berpawakan tegap membuka pintu dan masuk tanpa permisi.

Mama Mas Hardy.


◾◽◾

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now