#11

2.1K 272 26
                                    

Gerimis sudah berhenti sejak setengah jam yang lalu, tapi langit sore ini masih terlihat gelap. Awan hitam menggantung di atas kepala, seakan menanti isyarat untuk bersiap meneteskan air sewaktu-sewaktu sekarang.

Aku menghela nafas lagi. Sepertinya cuaca mendung yang bergelanyut ini sedikit mempengaruhi suasana hatiku sekarang ini. Membuatnya kelabu dan sedikit tidak karuan.

Sebenarnya seharian ini mood ku baik-baik saja meskipun Mbak Tina dan Mbak Reta janjian sakit di hari yang sama. Aku bahkan tidak mengeluh saat harus makan sendirian di mejaku dan tidak bisa kemana-mana sepanjang hari.

Kurasa semua baik-baik saja sampai beberapa menit lalu. Sampai saat sebuah pajero hitam berkilat datang dan mengeluarkan dua sosok yang paling tidak kuperkirakan akan berada di sini sekarang, Mas Hardy dan Alea.

Bukannya aku kesal karena melihat mereka datang bersama, bukan begitu. Mereka pasangan yang sebentar lagi menikah. Wajar sekali kalau mereka lengket layaknya venom di kulit spiderman.

Hanya saja, ini sudah hampir jam pulang kerja. Aku tidak begitu menikmati duduk bersama Alea dan berbincang layaknya teman seperti sekarang. Kami bukan teman, dan seandainya statusku bukan mantan Mas Hardy sekalipun, aku tetap tidak mau jadi temannya.

Lagipula, bukannya hari ini Mas Hardy ijin tidak masuk? Bukankah tadi dia bilang ada keperluan mendadak? Lalu, kenapa dia harus repot-repot muncul secara tak terduga dan langsung naik ke ruangannya begini?

"Tahu nggak sih, Gen? Waktu awal kenal Hardy sama Tina tuh, aku pikir mereka pacaran loh. Ya gimana nggak, mereka kenal sejak SMA. Nggak satu kampus tapi kemana-mana barengan. Tiap ada Hardy di tongkrongan, pasti ada Tina. Eh, taunya Tina lagi pacaran sama temen deketnya Hardy." Kudengar Alea menertawakan ceritanya sendiri.

Aku memberinya senyuman sebagai tanda sopan santun.

Aku sudah pernah mendengar cerita lengkap tentang Mbak Tina, Mas Hardy dan Koh Victor. Langsung dari si empunya cerita malah. Jadi aku tidak tertarik untuk mendengarnya lagi, apalagi mengetahuinya dari sudut pandang Alea.

"Hardy nyebelin nggak sih kalau lagi di kantor?" Tanyanya tiba-tiba, melenceng jauh dari topik yang sebelumnya dia bahas.

"Nggak, Mbak." Jawabku pendek. Tidak mungkin menjabarkan betapa menyebalkannya Mas Hardy pada orang yang sama menyebalkannya juga kan?

"Hari ini muka Hardy lagi nggak bersahabat. Cemberut terus. Tau deh, seharian ini jutek mulu kalau ditanyain. Kayaknya dia lagi banyak pikiran banget."

Aku tidak bertanya, aku juga tidak ingin tahu bagaimana suasana hati Mas Hardy sekarang. Selama itu tidak mempengaruhi pekerjaan, kurasa aku tidak lagi peduli.

Tapi lagi-lagi Alea membagikan informasi tanpa kuminta.

"Dia itu apa-apa suka dipendam sendiri, Gen. Mungkin karena dia anak sulung sih ya, dia maunya dia aja yang mikir, dia yang kerja, dia yang tanggung jawab dan semuanya. Pokoknya dia ingin selalu berdiri paling depan dan jadi pelindung buat semua orang di sekitarnya." Alea tersenyum, seakan menceritakan ini membuatnya bahagia. "Tahu nggak sih Gen, bertahun-tahun kenal sama Hardy, aku bahkan nggak bisa nebak gimana perasaan dia."

Aku tahu, aku paham benar bagian ini. Aku pernah berada dalam selubung semu yang diciptakan Mas Hardy. Aku bahkan sempat berpikir bahwa aku istimewa dan dia benar-benar tulus mencintaiku. Sampai akhirya aku sadar bahwa aku tidak pernah seistimewa itu untuk bisa dia perjuangkan.

"Kantor nggak lagi ada masalah kan, Gen?" Alea bertanya sambil lalu.

"Nggak ada Mbak." Jawabku tanpa perlu berpikir.

Kecuali beberapa klien yang sedikit rewel dan target dari Pak Tyo yang kadang tidak masuk akal, kurasa kami semua baik-baik saja.

"Dia lagi patah hati, Gen." Ucap Alea santai.

Aku menoleh cepat. Di luar keinginanku, jantungku memacu cepat mendengar kalimat yang diucapkan Alea dengan begitu tenang itu.

"Aku memang nggak bisa ngerti perasaan Hardy yang sebenarnya gimana, tapi aku yakin banget kalau dia udah nggak cinta sama aku lagi. Udah lama nggak, malah." Alea balas menatapku dengan santai.

"Jangan lupa kalau aku pernah jadi orang yang di cintainya. Dulu. Bertahun-tahun lalu. Jadi aku tahu persis gimana bedanya perlakuan Hardy yang sekarang. Dia tetep baik, aku tahu. Tapi rasanya udah nggak sama lagi sejak kami putus pertama kali. Apalagi sekarang ini. Rasanya kami jadi semakin berjarak, Gen. Jauh. Dia lebih banyak diam, nggak begitu tertarik dengan keadaan sekitar. Apalagi kalau bukan patah hati?"

Aku belum menemukan kalimat balasan untuk cerita Alea. Jujur saja aku tidak bisa menentukan mana yang akan aku katakan padanya. Sumpah serapah, curahan hatiku atau malah kalimat penghiburan untuknya.

"Bukannya mau bersikap jahat, tapi kita harus mengejar apa yang kita mau kan, Gen?" Tambahnya lagi, masih dengan nada ceria yang terdengar mengganggu di telingaku.

"Maksudnya Mbak?"

"Cuma orang bodoh yang menyerah tanpa berusaha. Gitu, kan?"

Aku masih berusaha mencerna kalimat Alea saat dia melanjutkan lagi. Kali ini sambil menatap lurus ke arahku.

"Cewek ini. Yang membuat Hardy jatuh cinta sekaligus patah hati. Siapapun dia. Aku pikir dia bodoh karena menyerah dan nggak mau mempertahankan Hardy."

Telingaku diam-diam menegang mendengar tuduhan tak berdasar yang Alea layangkan pada perempuan ini, padaku maksudku.

"Gimana Mbak bisa tahu siapa yang nggak mau mempertahankan siapa?" Tanyaku defensif.

Alea menatapku sedikit lebih lama sebelum menjawab lagi. "Hardy itu orangnya nggak tegaan, Gen. Kalau perempuan ini mau berusaha sedikit aja, Hardy pasti balik kok. Dia nggak mungkin kehilangan Hardy seperti sekarang. Aku tahu karena aku ngalamin sendiri. Lihat aja, buktinya Hardy selalu balik lagi sama aku kan?"

Aku tersenyum. "Iya, mungkin perempuan ini nggak sepinter Mbak Alea yang gigih banget berusaha supaya Mas Hardy tetep di genggaman. Atau mungkin juga, perempuan ini nggak suka dipertahankan hanya karena Mas Hardy nggak tega."

Bukannya tersinggung dengan kalimat sindiranku barusan, Alea justru tersenyum sembari mengamatiku dengan ekspresi tertarik.

"Menurut kamu gitu, ya? Genara?"

Aku terbebas menjawab pertanyaan Alea karena mendengar langkah Mas Hardy yang tergesa.

"Reta resign. Mendadak. Sementara kita cari penggantinya, aku yang bakal handle semua kerjaan gambar dia. Tapi untuk klien awal-awal yang belum butuh design, minta tolong atasin dulu ya, Gen." Ucapnya begitu berada di dekat kami.

Sebenarnya aku tidak terkejut mendapati Mbak Reta resign. Toh sebulan terakhir ini dia memang jarang masuk kantor. Tapi tadinya kupikir Mbak Reta akan resign begitu resmi menikah, bukan sebelumnya seperti sekarang.

"Aku juga butuh semua daftar klien dan progress yang lagi dikerjain sama Reta. Sekalian tandain mana yang urgent, mana yang bisa kita kerjain belakagan."

"Iya Mas. Trus janji temu sama Koh Welly besok ditunda aja?"

Mas Hardy tersenyum kecil. "Seandainya bisa Gen. Tahu sendiri lah gimana orangnya. Tapi coba komunikasikan dulu ya."

"Oke Mas."

"Minta tolong siapin dari sekarang ya, Gen? Aku anter Alea dulu, habis itu balik lagi. Kamu nggak apa-apa kan pulang agak telat?"

"Iya Mas."

"Jangan lupa ngasih kabar ke orang rumah kalau pulang telat."

"Iya Mas."

"Dan Gena, nanti kamu pulang sama aku aja."

Mungkin Mas Hardy tidak sadar, tapi bukan hanya aku yang langsung menatapnya tak percaya begitu ia menyelesaikan kalimatnya barusan.



◽◾◽

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now