#27

3.6K 300 35
                                    

"Bang ..."

Gerakan Abang yang sedang merapikan tumpukan bajunya terhenti. Dia menoleh dan bertanya seketika, "Kenapa?"

"Abang lagi beres-beres?"

Itu sudah terlihat dengan sangat jelas, kan? Aku tahu, mungkin aku hanya sekedar basa-basi atau malah mengalihkan pembicaraan, aku sendiri tidak yakin.

"Hmm. Persiapan, biar besok nggak keburu-buru. Biar nggak ada yang ketinggalan dan biar nggak diomelin Mama. Jadi? Kenapa?" Tanyanya tak teralihkan.

"Nggak kenapa-napa. Lanjutin deh." Aku sudah hampir kabur saat suara Abang menghentikan langkahku.

"Lusa gue udah balik. Kita baru ketemu lagi tahun depan, lo serius mau bikin gue penasaran?"

Tidak, aku sama sekali tidak bermaksud membuatnya begitu. Aku hanya tidak yakin tentang apa yang akan aku sampaikan, itu saja.

"Jadi, kenapa?"

Aku belum menjawab. Aku hanya melangkahkan kakiku memasuki kamar Abang, duduk di atas kasurnya dan menatap koper Abang yang terbuka dan menutup mulut selama beberapa detik lebih lama.

"Lo kenapa sih?"

"Baru patah hati." Jujurku akhirnya. "Nggak baru-baru banget sih, Bang. Udah lumayan lama kok. Tapi belum lama-lama banget juga sebenernya."

"Lo ngomong apaan sih, Gen? Pusing gue dengerinnya. Yang jelas dong kalau ngomong."

Aku mendengus. Bicara serius pada Abang memang tidak selalu berakhir baik. Dia lebih sering tidak peka daripada ikut bersimpati. Tapi kalimat Gara kemarin memang benar, aku tidak mau hal ini berlarut-larut dan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Jadi aku tetap akan mengatakan yang sebenarnya pada Abang, terserah apapun responnya nanti.

"Jadi, setahun kemarin tuh aku punya pacar, Bang. Waktu Abang pikir aku kelihatan pengen nikah bareng Abang, itu bener. Tapi beberapa bulan yang lalu, empat bulan yang lalu lebih tepatnya, dia tunangan sama orang lain."

Hening. Abang sepertinya menungguku selesai bercerita, sementara aku sendiri tidak tahu apalagi yang ingin kuceritakan.

"Udah." Kataku. "Gitu aja."

Abang mengangguk sedikit lalu berkata, "Gue tahu."

Di antara sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang kupikir akan dikatakan Abang, aku sama sekali tidak menduga akan mendengar yang satu ini.

"Hah?" Adalah respon bodohku yang pertama.

"Yah, paling nggak, Papa sih yang lebih dulu tahu."

"Hah?"

"Ya lo pikir, kenapa orang rumah nggak nanyain waktu pagi-pagi mata lo sembab segede gaban? Kenapa mereka diem aja kalau lo pulang kerja trus mengurung diri di kamar dan baru keluar besoknya? Ya karena mereka tahu. Mereka lagi ngasih lo waktu aja sebenernya. Waktu buat nenangin diri, buat cerita kalau lo udah siap."

Abang mengangkat bahunya sedikit sambil melanjutkan.

"Meskipun kelihatannya diem, tapi Papa nggak pernah secuek itu sama anak-anaknya, Gen. Inget waktu kita SMP dan mergokin Papa ngebakso deket sekolahan, kan? Papa emang selalu gitu. Diem-diem ngawasin, diem-diem cari info tentang kita. Gitu-gitu deh. Papa kan emang punya obsesi jadi intel. Jadi jangan heran kalau diem-diem Papa tahu banyak tentang anak-anaknya."

Aku lalu ikut tertawa bersama Abang. Aku lupa kalau Papa memang sepeduli itu pada anak-anaknya. Dan kenyataan ini memukulku dengan telak.

Aku pikir, aku hebat karena berhasil menutupi semuanya dari mereka dengan menyajikan drama sok kuatku. Kupikir aku begitu keren karena tidak melibatkan mereka dalam proses pemulihanku. Nyatanya terbalik. Mereka tahu semuanya dan berhasil menutupinya dariku.

"Jadi, waktu Mas Hardy kesini malam itu, Papa sebenernya juga udah tahu?"

"Tahu."

Aku menghela nafas panjang. Antara lega karena tidak perlu mengarang-ngarang cerita dan malu luar biasa karena beranggapan bahwa aku bisa mengelabuhi Papa.

"Emang lo nggak lihat muka Papa kecut banget malam itu? Gue yang cuma denger cerita dari Mama aja bisa ngebayangin. Kok lo nggak nyadar sih?"

Bagaimana lagi? Malam itu aku tidak tahu kalau Papa sudah tahu tentang Mas Hardy. Kupikir ekspresi tidak bersahabat yang Papa tampilkan malam itu hanya sebuah ekspresi wajar karena bertemu orang asing.

"Lagian, kalau aja lo perhatiin lebih detail, Gen. Sebenernya akhir-akhir ini Mama lebih cerewet tentang jodoh lo. Sibuk nanyain lo lagi deket sama siapa, sibuk ngasih lo wejangan-wejangan yang mungkin lo anggep biasa aja. Tapi kayaknya itu dari hati banget deh. Lo perhatiin nggak sih? Papa hampir selalu nggak di rumah tiap lo pulang kerja. Lo tahu nggak dia di mana? Deket kantor lo. Papa ngintilin lo tiap pulang pergi kerja. Eh, udah nggak sih sejak lo perginya sama Gara terus." Tambahnya setelah berpikir sebentar.

Aku menutupkan kedua tanganku di wajah. Setengah malu, setengahnya lagi bersyukur. Yah, meskipun lebih banyak malunya sebenarnya.

"Papa tahu dari mana sih Bang tentang Mas Hardy?"

Abang lalu tertawa. "Temenan sama satpam tempat lo kerja nggak ada ruginya tau, Gen."

"Siapa?"

Kali ini Abang hanya mengangkat bahunya dan menampilkan isyarat tidak tahu.

Otakku lalu berpikir cepat mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tapi di antara tiga orang satpam yang bekerja di kantor, kupikir tidak ada seorangpun yang usianya mendekati Papa. Aku tidak menemukan ide dari mana Papa bisa berteman dengan salah satunya.

"Tapi siapapun orangnya, harus gue akui kalau dia keren. Berkat dia, Papa bukan cuma tahu cerita kalian. Papa bahkan bisa tahu di mana rumah si Hardy, siapa orangtuanya, dan yang mana calon istrinya. Papa bahkan juga tahu cowok-cowok mana aja yang ada kemungkinan naksir lo. Keren nggak sih?" Tanyanya lagi, kali ini sambil menaik turunkan alisnya.

Mengabaikan Abang dan berita terakhirnya yang terdengar berlebihan, aku justru menanyakan hal lain.

"Trus aku harus gimana dong, Bang?"

"Ya terus move on lah, gila. Langkah lo buat menjauh udah bener banget. Awas aja lo nekat jadi pelakor. Leluhur kita nggak punya riwayat jadi pelakor ya, Gen. Awas aja kalau lo memulai tradisi memalukan ini di keluarga. Gue coret nama lo dari KK tahu rasa lo."

Abang mengatakan ini dengan nada berapi-api sambil mengarahkan telunjuknya kepadaku. Aku mengerti kekhawatirannya. Sungguh. Tapi sayang, kami membicarakan dua hal yang berbeda. Bukan itu maksud pertanyaanku tadi.

"Asal lo tahu ya, waktu gue pulang ke rumah trus dapet cerita ini, gue udah nyaris nyamperin si Hardy dan nonjok mukanya. Yah, minimal bikin giginya patah lah. Tapi gue nahan diri karena Papa ngelarang. Papa nggak mau ngrendahin harga diri lo dengan ngemis iba dari si Hardy. Lo berharga, Gen. Jauh lebih tinggi dari yang bisa lo bayangin. Awas aja kalau lo berani berubah haluan jadi pelakor. Punya pikiran untuk itu aja juga jangan. Awas lo!"

Aku tahu aku tidak layak melakukan ini, tapi sungguh, aku tidak tahan untuk tidak menertawakan Abang.

"Sorry, Bang. Maksudku tadi bukan tentang ini."

Giliran Abang yang terlihat bingung sekarang.

"Maksudku, aku harus gimana sama Mama sama Papa setelah ini? Malu tau, Bang."

"Sialan." Kudengar Abang memaki, tapi aku tidak membalasnya. "Gue yang ngurusin deh. Itung-itung hadiah perpisahan buat lo sebelum gue berangkat deh."

Aku jarang melakukan ini, tapi aku lalu berdiri, menghampiri Abang dan mencium tangannya sambil menggumamkan terimakasih dengan sungguh-sungguh.

Gara benar, meskipun pembicaraanku dengan Abang tidak sesuai dugaanku, tetap ada rasa lega yang menyelubungiku setelah bicara pada Abang. Jadi kupikir, kalimat Gara yang lain juga ada benarnya. Jadi aku memutuskan akan melakukan satu hal lagi untuk mengangkat semua beban dalam benakku.

Kuputuskan untuk menemui Mas Hardy.

◽◾◽

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 25, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sometimes, Love Just Ain't EnoughWhere stories live. Discover now