Chapter One

4K 271 45
                                    

Aloha~

So this is the first chapter. Kayaknya aku nggak harus put on too much words lah ya, biar kalian bisa langsung baca. You will like it, I guess, hopefully. Hohoho

Sst... jangan lupa komen ya 😚😚😚



“You see, loneliness is the price we have to pay for being born in this modern age, so full of freedom, independence, and our own egoistical selves.”
—Natsume Soseki—

Bibirnya melontarkan sebaris keluhan bersamaan dengan ambruknya tubuh ke atas kasur yang tampak begitu sepi. Wajah cantik tanpa celanya tidak lagi berbalutkan riasan tebal ataupun senyum lebar yang ada kalanya hanya ditunjukan untuk menyenangkan jutaan hati penggemar. Itu bagian dari pekerjaannya sebagai seorang mega bintang, ia tidak bisa menanggung resiko berupa kehilangan dukungan dari mereka karena sikap yang kelewat jujur. Hidup memang tak ubahnya panggung sandiwara.

Park Rose meringkuk sendirian selepas konser megah di salah satu stadium paling besar yang selalu menjadi impiannya sejak kecil—itu merupakan konser yang menjadi penutup rangkaian tur dunia keduanya. Butuh sepuluh tahun untuk mencapai mimpi itu; dan segunung pengorbanan yang merenggut hampir seluruh masa hidupnya tanpa ampun. Ia hanya tahu berlatih dan bernyanyi, kehilangan esensi masa muda karena telah bekerja sejak belia. Sekarang yang tersisa hanya rasa sepi—bahkan antusiasmenya terhadap musik perlahan surut berbanding terbalik dengan popularitas yang terus melejit. Ia tidak bisa membawakan musik yang diinginkan sebab seluruh kendali ada di tangan perusahaan. Itu menyebalkan, membuat dadanya sesak.

Dengan gerak lunglai ia beringsut ke tepian kasur untuk mengambil ponsel yang terus berdering beberapa kali. Ujung bibirnya melengkung ke bawah—tidak tampak antusias saat mendengar manajernya bicara dari balik telpon. Suara pria itu kedengaran agak serak, mungkin karena beban kerja yang datang memberondong seperti peluru perang, masih menjelaskan jadwal yang harus dia lakukan esok hari. Ia sangat lelah, tapi Rose tidak bisa melewatkan satu-satunya jadwal kosong untuk kuliah minggu ini. Terutama jika mengingat salah satu staf pengajar baru yang punya wajah setampan para aktor; meskipun sikap blak-blakannya memang agak menyebalkan.

“Profesor Jung akan ada di sana kan?” tanya Rose tepat setelah manajernya selesai menjelaskan. Gaun tidurnya yang berwarna putih satin—hanya beberapa senti di atas lutut yang kemerahan karema terbentur—sedikit bernoda oleh teh yang tidak sengaja dia tumpahkan lima belas menit lalu.

“Profesor baru itu? Tentu saja! Itu kan kelasnya!”

“Kurasa dia menyukaiku, dia bahkan tersenyum saat menyebut esaiku seperti sampah,” tukas Rose, kesimpulannya tidak masuk akal.

“Suka katamu... mungkin dia orangnya memang seperti itu. Lagipula dia tidak kelihatan seperti jenis dosen yang mau terlibat hubungan romantis dengan mahasiswanya,” tutur manajernya sebelum memutar pembicaraan ke arah lain, “Ah, lebih penting dari itu, apa kau sudah baca email dari Direktur Lee?”

Rose tidak menyukai pertanyaan itu. Memikirkannya saja sudah membuat kepala pening. “Aku kan sudah pernah bilang kalau itu bukan genre yang kusukai. Dipaksakan pun percuma, hasilnya pasti buruk. Kenapa tidak memberikan lagu itu pada si artis baru saja?”

“Dia sudah berkarir selama lima tahun,” sela manajernya tanpa bermaksud buruk.

“Dan aku sudah berkarir selama sepuluh tahun,” balas Rose telak.

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now