Chapter Twenty One

1.1K 156 39
                                    

Haloooo~~~

Apa kabar? Maaf ya lama update. Lagi sibuk. Huhu... chapter ini relatively short jadi sekali duduk juga beres. Please show your love and support everyone. Enjoy. Love you! ^^

(Pasti ada banyak typo sorry banget nanti aku edit)

❄️
❄️
❄️

“The older we get the more we seem to think that everything was better in the past.”
—Junichirō Tanizaki—

Rasa haus membangunkan Rose saat jarum jam masih menunjuk angka empat dini hari. Meskipun tahu kalau belakangan ini Jaehyun sedang sibuk dengan assessment mahasiswa bimbingannya, tapi Rose tidak menyangka kalau pria itu tetap bekerja sampai selarut ini. Selama beberapa hari terakhir, Jaehyun hampir tidak pernah ada di sampingnya ketika dia bangun di pagi hari. Dia juga selalu tidur di waktu-waktu paling random; seperti pukul tiga atau lima sore saat pulang kerja.

Pola tidurnya benar-benar berantakan. Bahkan ketika dirinya punya jadwal tur yang padat sekalipun, pola tidurnya masih lebih baik ketimbang Jaehyun. Selain itu, Rose tidak memahami hal ini, tapi Jaehyun tidak pernah tidur lebih dari tiga jam dalam satu hari. Bahkan ada kalanya dia tidak tidur sama sekali. Meskipun Jaehyun bilang itu hal normal baginya, tapi Rose tetap merasa khawatir. Terutama dengan lingkar hitam dan raut lelah yang tergambar semakin jelas di wajah yang perlahan kehilangan cahaya itu. Rose tidak mau berburuk sangka, tapi dia merasa kalau Jaehyun sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

“Kau belum tidur?” katanya sambil menyandarkan diri di ambang pintu ruang kerja Jaehyun. Tangan kirinya memegangi gelas, sementara tangan kanannya memeluk tubuh yang hanya berbalutkan gaun tidur tipis.

Jaehyun menoleh—menurunkan kacamata yang lebih banyak menemaninya ketimbang kekasihnya sendiri. Tangannya terjulur saat Rose menghampiri dan duduk di pangkuannya dengan manja. “Aku belum ngantuk. Masih ada beberapa halaman lagi; aku mau memberikan feedback sebelum lusa. Ini tahun keenam Haneul di universitas, dia selalu mengganti pembimbing karena merasa tidak cocok. Tapi sejauh ini, proses bimbingan denganku berjalan baik-baik saja dan dia mungkin bisa lulus semester ini.”

“Tapi kau juga harus memperhatikan kesehatanmu,” kata Rose, pelukannya di tubuh Jaehyun menjadi semakin erat. “Lusa ini aku pergi ke Jepang untuk tur. Ini pertama kalinya aku tur dengan orang lain—untuk Jennie ini juga bakal jadi kali pertama.”

“Kau merasa tidak nyaman?” tanya Jaehyun.

Rose menggeleng. “Tidak juga. Maksudku, secara profesional, hubungan kami tidak ada yang berubah. Fans hanya perlu melihat sisi itu, kan? Kurasa Jennie juga memahami hal itu dengan baik. Tapi Jaehyun, kurasa Jennie berusaha terlalu keras untuk menjadi temanku.”

“Bukannya itu baik?” Jaehyun menyahut sambil mengetikkan sesuatu di komputernya.

Ketika sepasang mata sendunya melirik ke belakang, Rose sedikit merajuk. Dia menarik tangan kekasihnya—memindahkannya ke pinggang. “Aku tidak peduli kalau kau menyebutku sebagai perempuan egois, tapi kumohon, matikan komputernya sekarang. Berhenti bekerja dan lihat ke arahku, Jaehyun.”

Jaehyun sedikit mengerutkan kening. “Tidak biasanya kau seperti ini. Lima menit lagi.”

“Kalau tidak mau mendengar ceritaku, ayo tidur sekarang.” Rose kembali bicara dengan nada menuntut.

“Baik, akan kumatikan.” Jelas sekali kalau Jaehyun hanya ingin menghindari konflik. Ada kalanya dia memperlakukan Rose seperti anak kecil; dan itu membuat perempuan itu kesal.

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now