Chapter Two

1.6K 211 47
                                    

Helaw~

How was your day? Semoga menyenangkan. Sini aku tambahin bumbu biar makin senang. Nggak usah bayar mahal, tinggalin jejak aja gapapa. Heuheu



“Never waste a minute thinking about people you don’t like.”
—Dwight D. Eisenhower—

Pesta tadi malam sama sekali tidak menyenangkan. Rose masih bisa merasakan rongga mulutnya dipenuhi rasa sampanye mahal yang menyatu dengan rasa buah artificial murahan yang dia beli di pinggir jalan. Jus buah itu mengingatkannya pada masa kecil—momen ketika dirinya terlalu polos untuk memahami arti senyum palsu yang orang dewasa tunjukkan maupun arti kemiskinan yang mencekam. Sekarang pemahamannya terhadap dua hal itu telah menelan bulat-bulat sifat polos dan keceriaan yang sempat ia miliki; menyisakan dirinya hari ini. Begitu sinis dan penuh justifikasi.

Rose terbangun dalam keadaan pening dan mual. Ia hanya ingat kalau Baekhyun terus memintanya untuk berhenti minum karena ia bukan peminum yang kuat. Tapi gadis itu terlalu marah untuk mendengar nasehat manajernya—memilih untuk hanyut dalam percakapan dengan para petinggi dan beberapa artis di agensi yang mengenalnya sebagai sosok hangat. Mungkin dia harus mencoba akting, kemampuannya cukup mumpuni, buktinya mereka terperdaya sehingga tidak dapat melihat amarah yang terbaring di balik wajah cantiknya. Lagipula dia memang tak bermaksud menunjukkan—memperlihatkan rasa kecewa pada agensi yang sudah membuat dirinya dan Jennie berkolaborasi adalah kebodohan—memaksa dirinya mencari opsi untuk meredam amarah yang bergolak hebat.

Pada saat itulah pecahan memori tadi malam kembali dan saling bersatu seperti sebuah puzzle yang membuat paginya jadi semakin berkabut. Rose duduk di tepian kasur sambil mengurut kening yang pusing; mengingat satu per satu wajah yang dilihatnya semalam suntuk. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya, segera mengambil ponsel dan menuju kontak teratas, berniat menghubungi Baekhyun sebelum urung karena keraguan menggerogoti benaknya seperti binatang lapar. Rose ingat secara pasti—bahkan jikapun disidang dia akan memberikan kesaksian tanpa ragu—tapi matanya menangkap sosok Profesor Jung yang sedang berdiri sambil memegang gelas sampanye di ujung hall party. Hanya sepersekian detik sampai akhirnya dia hilang seperti dilahap kabut. Rambut gelap yang agak gondrong dan berantakan untuk ukuran profesor, sorot mata tajam, serta senyum dengan lesung pipit di kedua pipinya adalah identitas Jung Jaehyun yang tidak mungkin bisa dilupakan.

Tapi apa yang sedang Profesor Jung lakukan di sana?

Rose mulai berjibaku dengan pikirannya; mondar-mandir di ruang tengah dengan hanya mengenakan bathrobe tipis setelah berendam selama tiga puluh menit. Rasa lelah dan pening mendadak pergi, digantikan rasa penasaran yang terus menggulung seperti Badai Dennis. Gadis itu menyerah—sedikit kelewat cepat—lelah menciptakan beragam prasangka dan kemungkinan. Jika sudah begini Rose tidak punya pilihan lain selain menghubungi informan nomor satunya—dia tidak punya nomor dua: Byun Baekhyun.

“Kak Baekhyun!” katanya hampir menyerupai pekikan. Kali ini suaranya antusias, “Apa kau melihat Profesor Jung di pesta tadi malam?”

Baekhyun tidak langsung menjawab, sangat kentara lewat suaranya yang serak jika dia terlalu lelah untuk sekadar mengingat-ingat. “Profesor Jung... ah iya... kurasa dia memang ada di sana.”

“Apa yang sedang dia lakukan di sana?” tanya Rose sambil bersiap untuk pergi ke gedung agensi, dia bahkan mulai memakai make up sendiri.

“Kenapa kau menanyakannya? Katanya tidak tertarik.” Baekhyun tak paham dengan pola pikir seorang Park Rose.

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now