Chapter Thirteen

1.2K 192 100
                                    

Aloha, lama tak jumpa ya kita~

Gimana nih kabarnya? Kangen banget daku 😭😭😭

Semoga kalian juga kangen ya—khususnya sama tulisanku. Xixixi... Oke gitu aja. Selamat membaca. Enjoy ^^

❄️
❄️
❄️

“After all my lust and dead living I can still live with you. You want me to. You fix and bring me food. You forget the way I’ve been.”
—Rumi—

Pintu di belakang ditutup sedikit terlalu keras. Jaehyun tidak pernah menerima terlalu banyak tamu di rumahnya—apalagi setelah memantapkan hati untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Rose dua bulan lalu. Hanya ada tiga orang yang secara rutin datang ke rumahnya: keponakannya, Minjeong selaku satu-satunya teman yang dibawa keponakannya, dan Rose. Ia tidak akan menyertakan Baekhyun dalam hitungan karena pria itu tidak pernah masuk dan hanya akan mengantar sampai pintu depan. Hampir menyerupai seorang ayah yang sedang menitipkan putrinya memang, tapi Jaehyun sama sekali tidak peduli, lagipula dia tidak melakukan hal yang kurang senonoh atau apapun yang bisa merusak reputasi Rose. Ia paham jika perempuan itu hidup dalam persona seorang gadis baik yang harus selalu dijaga; meski tidak harus 24 jam.

“Kau datang agak terlalu larut. Aku tidak menerima tamu lebih dari jam sepuluh malam.” Jaehyun bicara pada sosok di belakang, sama sekali tak tertarik untuk menengok apalagi memberikan perhatian. Ekor matanya bergerak ke samping, melirik sekilas perempuan yang kemudian memeluknya dengan sangat erat.

“Maafkan aku,” katanya lirih.

Jaehyun meletakkan gelas yang semula dipegang di atas meja. Tangannya mengusap pelan puncak kepala yang sedikit bersandar ke pundaknya; perempuan ini sedikit terlalu pendek. “Ayolah, kita berdua tidak melakukan kesalahan apapun di sini. Jangan meminta maaf, hubungan itu memang seharusnya cepat diakhiri. Kau harus membebaskan diri dariku; dan aku pun harus membebaskan diri darimu. Pada dasarnya kita memang tidak cocok, Jen.”

Wajah cantik itu masih tersembunyi di balik punggung Jaehyun yang kokoh. Jennie mendongak saat pria itu berbalik—sedikit menyandarkan tubuh ke tepian meja di belakangnya. “Kumohon, semuanya masih bisa diperbaiki.”

“Memang bisa, tapi aku tidak mau,” tegas Jaehyun tanpa emosi.

“Sayang, kumohon. Kau tahu kan kalau aku sangat membutuhkanmu?” Jennie meraih tangan Jaehyun dengan gemetar. Bibirnya menggumamkan sesuatu, seolah ada setumpuk kata yang tidak bisa ia suarakan sama sekali. Air mata berkumpul di pelupuk mata dan perlahan jatuh membasahi pipi yang kelihatan semakin tirus dari hari ke hari.

Jaehyun menyadari hal tersebut, tidak mungkin ia tak menyadarinya. Selama bertahun-tahun Jennie adalah api yang terus membuat sumbu hidupnya berkobar. Tapi seperti kebanyakan api, Jennie mungkin akan membakarnya hidup-hidup jika dibiarkan terlalu dekat dan menyala tanpa henti. Perempuan itu tidak memberikan kehangatan yang Jaehyun cari.

Butuh beberapa saat sampai Jennie kembali berucap, “Aku tidak pernah bisa menyukai pria manapun selain dirimu. Kau tahu itu. Semuanya kulakukan hanya demi menarik perhatianmu.”

“Hm,” Jaehyun mengangguk, “lalu?”

“Jaehyun…” suara Jennie semakin lirih.

“Aku bukan seseorang yang bisa kau tunggu; dan kau bukan seseorang yang ingin kuperjuangkan. Kita memulai semuanya dari pertemanan yang sebenarnya agak dipaksakan. Tidak pernah terbesit sedikitpun di benakku saat itu untuk berteman denganmu; tapi kau terlihat sangat kesepian dan penuh luka. Kurasa aku tidak seharusnya mengatakan ini,” Jaehyun berhenti sementara tangannya mengusap tengkuk yang terasa kaku. Ia mengatur napas, memantapkan hati untuk melanjutkan kalimat yang dirasanya cukup untuk membuat Jennie menjauh, “… tapi aku hanya mengasihanimu.”

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now