Chapter Sixteen

1.1K 163 16
                                    

Hello~~

This chapter will be short—tapi penting juga buat perkembangan plot. Heuheu... Selamat membaca~

❄️
❄️
❄️

“The future for me is already a thing of the past. You were my first love and you will be my last.”
—Bob Dylan—

Jaemin mengetuk dahi Minjeong tanpa permisi. Hal itu sekonyong-konyong membuat si gadis melempar tatapan tajam. Meski demikian, Jaemin hanya mengulas senyum, lalu mengusap puncak kepala Minjeong sebelum mendudukan diri di sampingnya. Ia menaruh kedua tangan di atas meja—menopang dagu dengan salah satu tangan yang dilipat sementara tangan yang lain ia gunakan untuk mengetik beberapa baris pesan di ponselnya.

“Sinting Jenius,” gumam Minjeong dari balik kepala Jaemin, “itu siapa?”

Seketika Jaemin mendongak, melihat Minjeong yang meliriknya tepat di mata. Itu membuat jantungnya berdegup kencang. Kendati sangat sering menggoda Minjeong, tapi beradu tatap dalam jarak sedekat itu dengan gadis pujaannya justru membuat Jaemin tersipu malu. “Oh… ini… um… Jaehyun.”

Jawaban terputus-putus dan kurang jelas yang diberikan Jaemin sontak membuat Minjeong tertawa kecil. “Wah, ini benar-benar tak biasa. Sejak kapan kau jadi pendiam dan pemalu begini? Rasanya seperti bicara pada orang lain.”

“Kau lebih suka aku yang berisik?” tanya Jaemin.

“Aku tidak suka keduanya,” jawab Minjeong tanpa ragu. Ia meregangkan kedua tangan ke atas—tampak cukup bebas karena hanya ada beberapa murid di kelas. “Tapi, kalau harus jujur, sikapmu akhir-akhir ini memang agak membuatku keheranan. Tidak biasanya kau diam dan tampak frustasi. Kau manusia paling berisik, paling bebas, dan paling bodoh yang pernah aku tahu. Tapi beberapa hari terakhir ini kau tampak agak… bagaimana mengatakannya ini ya… agak punya pikiran? Begitulah.”

“Setiap manusia waras memang biasanya berpikir ya?” Jaemin mengerutkan dahi saat menanyakan itu.

“Memang. Tapi kau kan bukan manusia waras.”

“Minjeong sangat galak tapi aku cinta.”

“Akhirnya kebodohan dan ketidak warasanmu kembali.”

“Satu-satunya hal pintar dan waras yang pernah kulakukan adalah mencintaimu.”

“Itu bodoh. Berhentilah.” Minjeong kembali menyandarkan bahu dan membaca buku. Kali ini dia membaca karya Dostoevsky—Notes from the Underground—Minjeong menyukai hampir seluruh tulisannya.

“Kau masih membaca Dostoevsky?” Jaemin bertanya sambil mengamati sampul buku milik gadis di depannya.

Secara tak terduga Minjeong memberikan respon, “Dia satu-satunya penulis yang kau sukai, kan?”

Kali ini air muka Jaemin mendadak membeku. Sontak ia menegakkan punggung, mengamati air muka Minjeong yang setenang danau, lalu mengecek kembali buku yang dipegangnya sekali lagi. “Ini hadiah yang kuberikan awal tahun ini, kan? Hadiah ulang tahunmu.”

Minjeong menutup buku—tidak bisa fokus membaca karena Jaemin yang bawel sudah kembali. “Kalau aku tidak salah ingat sih iya.”

“Kupikir kau membuangnya!”

“Kenapa aku harus membuang buku yang bagus?!” pekik Minjeong tak percaya.

“Karena kau tidak menyukaiku?” Jaemin hanya menebak,

“Bukan berarti aku harus membuang hadiah yang kau berikan, kan? Aduh, kau ini bodoh sekali. Aku hanya tidak menyukaimu, bukan membencimu. Bahkan aku masih akan menyimpan semua buku yang kau berikan kalaupun seandainya aku membencimu dengan seluruh hidupku. Tapi, lebih penting dari itu, apa ada yang menganggumu akhir-akhir ini? Kenapa kau selalu murung?”

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now