Chapter Ten

1.3K 208 80
                                    

Aloha~~~

Maaf karena udah bikin kalian nunggu lama banget buat updatenya. Hehehe... but here is it, enjoy (voment ya hei awas). Okay lafyu!



“If you remember me, then I don't care if everyone else forgets.”
—Haruki Murakami—

Ekspresi Jaemin berkerut dalam begitu matanya melihat Minjeong yang tengah tertawa lepas bersama Jeno. Ia membawa tas di pundaknya sembari menyeret kaki dengan enggan (datang ke kelas saat jam istirahat sepertinya bukan ide baik); merasa sebal karena dua orang itu terlihat sangat nyaman dengan satu sama lain. Minjeong tidak pernah tertawa seperti itu saat sedang bersamanya. Malahan, meskipun tak ingin benar-benar mengakui, gadis itu tampak selalu kesal dan bosan. Padahal Jaemin sudah berusaha bersikap sebaik mungkin.

Pemuda itu mengerutkan dahi—hanya duduk di kursi yang terletak di pojok dekat pintu keluar. Pandangannya masih tertuju ke arah jendela, mengamati Minjeong yang kini duduk sendiri sambil membaca buku. Jaemin menghela napas panjang, merasakan sensasi cemburuan yang menjalar ke seluruh pembuluh darah hanya karena interaksi antara seorang kawan dan si gadis idaman. Belakangan ini hari-harinya jadi lebih membosankan karena ia tidak bisa bertemu dengan Jaehyun; kali terakhir mereka bertemu adalah saat makan malam keluarga, saat pria itu berkata jika dia akan memutuskan tunangannya. Jaemin belum mendengar berita apapun lagi selama enam hari terakhir. Pesan yang Jaehyun sampaikan hanya: Aku akan ke Edinburgh, masalah pekerjaan.

Pesannya tidak kedengaran seperti sebuah kepalsuan. Ia juga tahu kalau pamannya memang sedang mengerjakan proyek penelitian dengan salah satu profesor di sana. Tapi momennya terasa kurang tepat—seolah Jaehyun sedang menghindari sesuatu yang sangat fatal. Meskipun bukan pecundang, tapi sangat normal jika seorang manusia ingin ‘melarikan diri’ selama sejenak karena kemumetan pikiran yang tak bisa diselesaikan. Meskipun kedengaran mustahil, tapi Jaehyun mungkin turut merasakan hal tersebut. Selain itu dia juga jenis manusia yang punya tingkat fokus tinggi. Sehingga jika ditarik kesimpulan—otak mungilnya sampai sakit hanya demi mencapai titik ini—Jaehyun pasti hanya ingin menghindari segala macam energi negatif yang diberikan manusia di sekitarnya. Dengan sangat rendah hati Jaemin ingin menyatakan kalau dirinya (pasti) tidak termasuk ke dalam jenis manusia yang dimaksud.

“Kau sudah makan? Sehat? Apa di  Edinburgh cuacanya sangat dingin? Kau membeli baju hangat yang kubilang kan? Harganya hanya lima juta won.” Jaemin menggumamkan teks yang kemudian dia kirimkan pada Jaehyun. Kepalanya kembali tenggelam di antara kedua lengan yang dilipat di atas meja—menyembunyikan ekspresi yang semakin semrawut.

“Tumben sekali kau bersikap seperti ini,” suara Minjeong sontak membuat pemuda itu mendongak. Air mukanya berubah cerah, bahkan diikuti senyum lebar yang terukir di wajah tampan dengan aura aristokrat tersebut.

“Wah, rupanya calon istriku,” katanya spontan.

Minjeong mendengus kecil. Ia hanya berdiri di samping Jaemin—lantas mengetuk pelan puncak kepala pemuda itu sebelum kembali berujar dengan suara ketus. “Kenapa? Uang jajanmu kurang?”

“Uangku unlimited,” respon Jaemin hampir tanpa jeda, “warisanku itu sangat banyak.”

“Entah kenapa sekarang aku merasa sangat kesal,” cetus Minjeong.

“Kau boleh memarahiku,” Jaemin mengusulkan, “aku lebih suka kau marah padaku ketimbang mengobrol terus-terusan dengan laki-laki lain. Rasanya sangat sakit, seperti sedang melihat istri sendiri selingkuh secara terang-terangan.”

“Bicara apa sih kau ini?” Minjeong tidak habis pikir dengan pola pikir Jaemin yang terlalu imajinatif.

Tangan Jaemin terulur, membawa tangan Minjeong ke atas kepalanya. “Aku sangat bosan; dan khawatir. Jaehyun tidak membalas pesanku. Terakhir kali aku bicara padanya itu enam hari lalu, atau lima hari lalu, dia cuma memberitahu kalau dirinya sedang di Edinburgh.”

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now