Chapter Twenty

1.7K 198 29
                                    

Heyaaa... balik lagi nih. Ehehehe

My mind is stuck and somehow I cannot write anything scientifically for awhile. So yeps i worked on this chapter instead.

Thanks so much for coming to my page. Enjoy~

❄️
❄️
❄️

“The mystery of human existence lies not in just staying alive, but in finding something to live for.”
—Fyodor Dostoyevsky—

Jaehyun dapat merasakan tubuh Rose bergetar tiap kali ujung jari-jemarinya menyusuri punggung polos di balik kemeja satin yang masih dikenakan. Kedua tangannya melingkar memeluk Jaehyun dengan erat. Sesekali Rose akan mendongak—membiarkan bibirnya mencium leher jenjang yang dihinggapi sensasi panas menggebu. Angin yang menelusup melalui celah jendela besar menyapu sepasang wajah yang saling memandang dengan tatapan dalam. Musim panas sudah berlalu. Tapi Oktober tahun ini terasa lebih panas dan Jaehyun bukan penggemar tempat bersuhu lembab.

Ketika tangannya merengkuh Rose lebih erat, di depan telinganya Jaehyun berbisik, “Can I hear your voice, love?”

Sontak saja wajah Rose bersemu merah. Tapi saat tubuh mereka bersatu semakin rapat, ia tidak memiliki pilihan lain selain memberikan apa yang Jaehyun minta. Itu tidak seperti dirinya bisa mengontrol deburan hasrat yang selama beberapa waktu terkurung di dalam merasa kesibukan. Rose merindukan Jaehyun; dan fakta bahwa pria itu dapat tahu segalanya tanpa keliru benar-benar membuat kepala Rose pening. Bibir penuh yang kemerahan itu melengguhkan nama Jaehyun—meloloskan suara yang selama beberapa detik tenggelam di tengah balutan gairah yang membuat tubuhnya panas.

Rose dapat merasakan desakan kuat di bagian bawah tubuhnya. Terasa panas dan menggelitik dengan cara yang sedikit sensual. Jaehyun kembali berbisik jika ia mungkin butuh sedikit lebih banyak waktu. Dan saat ia bisa melepaskan hasrat yang membelenggu tersebut, Jaehyun dapat merasakan jika Rose pun kembali mendapatkan hal serupa. Rasa lelah adalah konsekuensi paling besar; membuat wanita itu berbaring di atas kasur dengan tubuh terlentang. Ia menorehkan senyum saat Jaehyun menutupi tubuhnya dengan selimut—sebelum ikut berbaring setelah merapihkan diri di kamar mandi selama beberapa menit.

“Perutku terasa penuh,” kata Rose sambil memeluk Jaehyun—merapatkan dada yang tidak memakai bra. “Kau membersihkan diri meskipun aku mengambil semuanya. Tunggu, bagaimana kalau aku hamil? Apa kita akan jadi orang tua? Aku tidak mau punya anak; tapi aku juga tidak suka bercinta pakai kondom. Rasanya aneh.”

“Anak-anak itu merepotkan,” Jaehyun menanggapi, “dan sangat sulit diurus.”

“Don’t worry, I’m on pill.” Rose tersenyum tipis.

“Is that hurt?”

Bingung dengan pertanyaan Jaehyun, dengan serta-merta Rose mengatakan, “Apa yang sakit? Sex is fun. Maksudku, denganmu.”

“Baik, aku merasa agak tersipu sekarang.” Jaehyun menorehkan senyum—mengecup kecil Rose yang tidak ditutupi poni. Ia merengkuh kekasihnya dengan erat. Memangkas jarak yang kerap-kali membuatnya ketakutan. Tubuhnya yang hangat, debaran jantung yang konstan, dan deru napas yang panas; Rose selalu terasa sangat dekat dan nyaman. “Apakah hubungan ini menyakitimu?”

Bahkan Jaehyun pun tahu jika pertanyaan darinya mungkin membuat Rose sedikit bingung. Tatapannya bertemu dengan Rose yang mendongak dan memanginya selama beberapa saat. “Kau baik-baik saja?”

“Positively. Yes. I am okay.”

“Then why did you ask me that?” nada suara Rose menjadi serius. Ia mengecup bibir Jaehyun—mengusap pipinya dengan lembut saat kembali menuturkan. “Ini hal yang kuputuskan sendiri. Aku mencintaimu. Dan tidak pernah sekalipun dalam hubungan kita aku merasa tersakiti oleh tindakanmu. Kau bukan kekasih paling baik; pun diriku juga begitu. Jadi kenapa aku harus menuntut terlalu banyak? Kemarin aku mencintaimu, dan hari ini aku akan lebih mencintaimu.”

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now