Chapter Three

1.3K 207 50
                                    

Helaw, yeps ini publishnya cepet banget. Hehehe... barangkali nanti lama update lagi.

Leave your thought here yaaa. Lafyu~



“The first duty of a man is to think for himself.”
—Jose Marti—

Jaehyun tiba di halaman akhir buku sedikit lebih awal dari yang dia perkirakan. Bukan hal yang mengejutkan, dia sudah membaca No Longer Human hampir setengah masa hidupnya, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan kali, dia kehilangan hitungan. Buku itu disimpan di pojok meja kerjanya—bersebelahan dengan sejumlah buku lain yang dia bawa dari rumah dan hampir seluruhnya novel. Jaehyun senang membaca novel yang sama berulang kali, mengubur stigma bahwa seorang jenius hanya berjibaku dengan buku-buku ilmiah yang kadang kala membosankan; meskipun jumlahnya hanya sedikit dan dia pun tipe pembaca yang melahap semua bacaan seperti daging asap.

“Selamat pagi Profesor Jung,” itu suara salah satu koleganya—seorang wanita di penghujung 50-an yang punya rambut bob berwarna hitam pekat. Dia selalu memakai pakaian berwarna senada—hari ini dia mengenakan warna ungu—mungkin menurutnya itu bagus. Untuk sesaat dia mengerutkan kening, mengamati Jaehyun lamat-lamat ketika tangannya meletakkan tas mahal (yang juga berwarna ungu) di atas mejanya sebelum akhirnya berkata seperti ini pada rekannya yang lain. “Lihat ini Profesor Cha, profesor muda kita memotong rambutnya, sekarang dia kelihatan sangat rapih. Kacamata itu juga membuat penampilanmu lebih serius. Jangan sembunyikan wajah tampan itu di balik penampilan urakan lagi, kau bisa jadi contoh yang kurang baik untuk mahasiswamu.”

Jaehyun hanya menganggukan kepala. Itu tidak berarti setuju, sebab sebagai jawaban dia justru mengatakan, “Begitulah. Meskipun aku tidak melihat korelasinya, tapi menjaga penampilan sepertinya bagus juga.” Kata-katanya sedikit membuat dosen senior itu terbelalak, tapi dia tidak benar-benar punya alasan untuk membantah si jenius muda yang tengah bersiap pergi itu. “Sebentar lagi kelasku dimulai, sebaiknya aku bergegas. Selamat beraktivitas Profesor Yoon; pagi ini kau kelihatan sangat keren Profesor Cha!”

Dengan langkah ringan Jaehyun pergi meninggalkan ruang khusus profesor di History Department—bersenandung sambil menenteng tas berisi laptop di tangan kirinya. Ia bukannya kurang menyukai staf pengajar lain, hanya saja paham mereka masih agak berseberangan, terutama dengan para dosen senior yang seringkali menganggapnya kurang kompeten hanya karena ia puluhan tahun lebih muda. Jaehyun tak ingin memberikan penjelasan panjang lebar tentang mengapa dan bagaimana dia bisa menjadi associate professor di usia 28 tahun, itu akan jadi cerita panjang, lagipula pengakuan mereka tak akan berpengaruh banyak pada gelar ataupun pengetahuannya. Selain itu, mereka juga akan tetap banyak bertanya kalaupun diberitahu dirinya masuk universitas pada usia 14 tahun karena terlalu jenius; bahkan mungkin bertanya bagaimana bisa Jaehyun mejadi asisten dosen pada usia 18 tahun dan hanya pulang ke Korea untuk wajib militer.

Orang-orang itu mungkin bakal bertanya juga terkait alasanku kembali ke UK untuk jadi dosen dan peneliti di sana. Rasa tahu mereka tak akan pernah berakhir.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, ia terus-menerus menerima sapaan yang kelewat manis dari beberapa murid, membuat senyumnya selalu tersungging. Ini sedikit berbeda dengan pertemuan pertama, tapi mahasiswa di kelas History of Relationships, Marriage and Family in East Asia hari ini tampaknya jadi lebih rajin. Mata Jaehyun memindai hingga ke baris belakang, mendapati kursi-kursi yang sudah terisi penuh.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now