Chapter Seven

1.3K 186 34
                                    

Iya... ini cepet banget emang. I'm a bit bored and depressed so I wrote a lot in order to relieve it. Selamat membaca~

(Suka banget baca komentar kalian di chapter sebelumnya. Thank you ya 😭😭😭)



“Music expresses that which cannot be said and on which it is impossible to be silent.”
—Victor Hugo—

“Kau mau memandangi ponselmu terus seperti itu?” Baekhyun bertanya dengan nada prihatin. Sudah dua puluh menit sejak ia menangkap basah Rose memandangi ponselnya seperti orang obsesif.

Di sisi lain, orang yang bersangkutan, seolah tak peduli dan masih berbaring di atas matras. Rose tidak kunjung melakukan pemanasan—fokusnya terus tertuju pada ponsel yang tak kunjung menerima notifikasi apapun. “Apa maksudnya ini? Kukira hubungan kami sudah menjadi semakin dekat, tapi si menyebalkan itu malah mengabaikan pesanku” Rose sedang membicarakan Jaehyun; sikap pria itu memunculkan terlalu banyak tanda tanya. “Padahal sudah satu minggu sejak kami menghabiskan malam bersama.”

“Kata-katamu bisa menimbulkan kesalahpahaman besar,” desis Baekhyun pelan. Ia tak habis pikir dengan pola pikir Rose yang ‘unik’. Bodoh sepertinya terlalu kasar. Selain itu, Rose juga tidak bodoh, setidaknya dalam hal lain seperti musik dan belajar.

Rose tidak menggubris perkataan Baekhyun. Ia masih berharap Jaehyun akan membalas lewat fitur pesan biasa alih-alih selalu menghubungi lewat email dengan gaya yang sangat formal. Itu membuatnya tidak nyaman, seolah dirinya sedang memohon perhatian dari pria yang seharusnya dia ‘benci’. Sekarang dia tak ubahnya salah satu haters yang suka cari-cari perhatian.

“Menyebalkan sekali,” desisnya sambil menyerahkan poselnya pada Baekhyun. Ia mulai melakukan peregangan, tidak mau membiarkan pikirannya tenggelam terlalu dalam di tengah kubangan ketidakpastian yang Jaehyun ciptakan. Lagipula apa yang sebenarnya ia cari? Itu tidak seperti Rose dan Jaehyun akan menjadi pasangan atau apapun itu yang sifatnya romantis; pria itu hanya menjadi agak baik dan lebih santai.

Baekhyun, yang duduk bersila sambil memeriksa jadwal untuk satu minggu ke depan, kelihatan sangat fokus dan hanya menoleh saat hembusan napas Rose menjadi semakin keras. Ia menaruh ipad putihnya ke dalam tas, lantas mengamati perempuan itu sambil memangku dagu. “Ada apa ini? Memang apa salahnya dengan email? Bukankah itu sangat unik? Selain itu dia juga mungkin sangat sibuk. Mahasiswa bimbingannya ada banyak; selain itu dia juga tidak hanya mengajar anak-anak S1. Profesor Jung punya sangat banyak tanggung jawab, kau bukan satu-satunya yang harus dia tanggapi. Lagipula kau ini bukan siapa-siapa untuknya.”

Rose melirik instruktur pilatesnya sejenak, memastikan wanita yang sedikit lebih tua dari manajernya itu berdiri agak jauh dan tidak memperhatikannya, kemudian baru melontarkan jawaban yang membuat Baekhyun tertawa. “Kau tahu caranya supaya aku bisa menjadi seseorang yang agak spesial untuk Profesor Jung?”

“Hahaha... kenapa kau mau jadi orang yang spesial untuknya? Jangan lakukan hal bodoh. Sudah kubilang kan, dia punya pacar.” Baekhyun bicara sambil memegangi perut—menahan tawa yang mulai keluar tak terkendali.

“Aku bukan mau jadi pacarnya juga,” sahut Rose dengan ekspresi kesal. “Lagipula dia bukan tipeku. Profesor Jung sepertinya bukan tipe romantis. Aku bahkan masih belum percaya kalau dia punya pacar. Maksudku, aku sudah tiga kali datang ke rumahnya, dan aku belum menemukan tanda-tanda kalau dia terlibat dalam hubungan seperti itu. Tidak ada foto perempuan, tidak ada barang couple, bahkan pacarnya belum pernah datang ke rumahnya.”

The Poem We Cannot ReadWhere stories live. Discover now