PART 1. HALAI BALAI ( TENTANG RISA )

202 27 14
                                    

*1.

(A/n. Isi part ini telah direvisi dengan penambahan tokoh Rania. Tidak mengubah plot.

Mengandung unsur toxic, feeling worthless, tidak untuk ditiru. Bijaklah dalam membaca dan menyikapi.

Sebagian isi part ini fiksi, jika ada kesamaan nama orang, nama perusahaan, nama universitas, tempat, kejadian di dunia nyata itu murni kebetulan.

Tidak bermaksud meremehkan, merendahkan siapapun dan pihak manapun. )
.
.

Indonesia

.
.

Risa ingin pulang. Tapi bukankah ia sudah di rumah? Lalu kemana lagi ia harus pergi? Membawa diri yang lelah dalam pusaran kehendak semua orang yang tak ia hendak. Risa harus pilih jurusan ini, Risa harus begini, Risa harus begitu. Bonekakah Risa bagi mereka? Robotkan Risa? Mesin kehendak mereka? Pernahkah mereka tanya Risa mau apa? Pernahkah mereka bertanya di mana letak bahagia Risa?

Apakah Risa tidak menganggap ini rumah? Sejatinya rumah adalah tempat rebah, melepas segala lelah. Tempat bercanda, tempak berbagi suka dan duka. Apakah sebenarnya keluarga? Tempat berbagi suka dan duka, tempat bercerita segala resah dan lara, tempat di mana saling dukung saat badai menggulung. Namun nyatanya?

Dua puluh dua tahun yang tergerus dan seolah tak terurus. Tungkus lumus menjadi korban kekejian ego tak tak mampu dinego.

Tertatih menghitung hari yang histeri dan halai balai. Ayo mat*! Bisik syetan yang ingin ia mengakhiri diri. Selagi mampu untuk lari mengapa harus mat*?

Tanggalkan nurani!
Ambil belati!
Iris nad*!

Lagi,
Suara di kepalanya menggaung seperti di tebing gunung.

Dttt ... drtt ... drrtt ..

Getar hand phone Risa terus terdengar. Sepenggal nama di sana, Erlangga. Sepenggal nama yang ratusan hari mengisinya dengan mimpi-mimpi. Dan memberi warna pada hidupnya yang buram tanpa warna.

Dulu,
Ia hidup untuk sepenggal nama itu? Tapi kini? Untuk siapa? Untuk apa? Erlangga yang ternyata bukan miliknya?

Sebegitu rapuhkah Risa hingga ia merasa it's over? Saat melihat Erlangga bersama dia? Perempuan itu, yang ternyata adalah ..

" Itu Anindira, Ris, Kekasih Erlangga? Masak kamu tidak tahu! Seluruh kampus tahu kali?"

Marwah saat itu memberti tahu.
Saturasi oksigen Risa serasa lebih cepat, dengan dada yang sesak dan pepat. Gelap dunia. Meski terang benderang. Sunyi bumi. Meski ramai di sana-sini.

Goncang! Meski tak ada gempa bumi. Di disini, di hati, yang halai balai. Getaran di permukaan sanubari akibat pelepasan energi yang secara tiba-tiba. Melepaskan gelombang seismik. Di sini, di kerak benak Risa yang menggelegak.

Air mata Risa meleleh saat serentetan notifikasi Erlangga beruntun menyusul. Mengapa harus ada empati dan simpati yang membuatnya jadi begini? Salah siapa?

"Makanya jadi orang tuh jangan baperan, Ris. Laki orang juga elo harap," omel Marwah ceplas-ceplos seperti biasa kala itu. Baperan?

"Iyalah, apa namanya kalo nggak baperan? Elo ngira perhatian Erlangga lebih. Padahal dia gitu sama semua orang. Baik."

Benarkah? Apa yang membuat Risa begitu baper dengan sikap Erlangga? Karena dalam keluarganya ia tidak mendapatkan itu? Karena dalam lingkar pertemanannya ia tidak dapatkan itu? Karena apa? Risa yang menutup diri? Risa yang membatasi? Ataukah memang tak ada yang berbelas kasih?

Hingga ketika Erlangga datang ia merasa begitu berharga. Begitu indah. Begitu berwarna. Erlangga mengerti apa maunya tanpa ia memintanya, Erlangga mendengarkannya saat ia curhat apa saja. Erlangga selalu menjadi pendengar yang baik. Tanpa menghakiminya, memberi solusi
atas masalahnya dengan cara yang mudah ia cerna.

𝔼𝕊𝕋𝔸𝔽𝔼𝕋 𝕋𝕆𝕏𝕀ℂ ( ℍ𝕚𝕒𝕥𝕦𝕤 )Where stories live. Discover now